Agung Surono ; Achmad Himawan
CV. AGRI BIO TECH
Jl Jambon No 605, Gang Batan
Jatimulyo, Kricak, Tegalrejo,
E-mail : agungsurono@yahoo.com, achmadhim@yahoo.com
Telah dipresentasikan pada :
Basic Science Seminar VII
Sabtu, 20 Februari 2010
Ruang MP-1.6 Gedung Fakultas FMIPA Universitas Brawijaya Malang
Jam : 14.00 - 14.30 WIB
Moderator : Dr. Sri Widyarti
ABSTRAK
Pisang (Musa paradisiaca L.) berasal dari hasil silangan alamiah antara Musa acuminata dengan Musa balbisiana, yang kini keturunannya lebih dari ratusan kultivar pisang. Pisang merupakan komoditas hasil pertanian yang memiliki nilai ekonomi tinggi, dan menjadi makanan pokok bagi jutaan penduduk di daerah tropik Afrika. Nilai nutrisi pisang hampir sama dengan kentang kecuali kadar proteinnya yang lebih rendah. Di Indonesia pisang merupakan tanaman buah yang paling banyak dibudidayakan dan dikonsumsi. Di Indonesia dijumpai berbagai macam kultivar pisang, beberapa diantaranya adalah pisang Ambon, Barangan, Raja, Emas, Susu, Kepok dan Tanduk. Dari berbagai macam kultivar pisang tersebut dapat dikelompokkan menjadi 3, yakni pisang meja, pisang rebus ( pisang olahan ) dan pisang hias. Kultivar pisang yang relatif digemari konsumen adalah pisang Ambon, Raja , Barangan, Emas, Susu, Kepok dan Tanduk.
Penelitian-penelitian secara in vitro dalam rangka multiplikasi (perbanyakan) tunas pada beberapa kultivar pisang telah banyak dilakukan. Permasalahan yang dihadapi adalah bagaimana respon eksplan tunas pisang (Musa paradisiaca L. cv. Ambon) bila konsentrasi Benzylaminopurin (BAP) dan Kinetin hanya satu kombinasi saja. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui respon eksplan tunas pisang ( Musa paradisiaca L. cv. Ambon ) bila konsentrasi BAP dan Kinetin hanya satu kombinasi saja.
Penelitian ini menggunakan medium Murashige dan Skoog (MS) instan produk Duchefa, dengan penambahan hormon BAP 9 ppm dan Kinetin 1 ppm. Eksplan yang digunakan adalah tunas pisang ( Musa paradisiaca L. cv. Ambon ). Pengamatan dilakukan pada minggu ke 2, 4, 6, dan 8 setelah tanam. Pengamatan dilakukan secara kualitatif, yaitu ada tidaknya kalus pada eksplan, tumbuh tidaknya tunas, banyaknya tunas yang tumbuh, dan panjang tunas yang terbentuk.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada umumnya kalus yang bersifat remah terbentuk di minggu ke 2 setelah tanam. Tunas tumbuh pada minggu ke 4 setelah tanam. Tunas mengalami proses multiplikasi pada minggu ke 6 setelah tanam. Rata-rata tunas yang terbentuk adalah 3 tunas, dengan panjang rata-rata 3,13 cm.
Kata kunci : Multiplikasi, Pisang, Ambon, Murashige dan Skoog (MS), Benzylaminopurin (BAP), Kinetin
PENDAHULUAN
Tanaman pisang telah ada sejak manusia ada. Namun saat itu pisang masih merupakan tanaman liar yang tidak dibudidayakan, hal ini disebabkan oleh karena manusia pada awal kebudayaan hanya berperan sebagai pengumpul makanan dari alam tanpa perlu untuk menanamnya kembali. Namun setelah kebudayaan pertanian menetap dimulai, pisang termasuk dalam golongan tanaman pertama yang dipelihara ( Suyanti dan Supriyadi, 2008 ).
Di kalangan masyarakat yang tinggal di kawasan Asia Tenggara, diduga pisang telah lama dimanfaatkan terutama bagian tunas dan pelepahnya yang diolah sebagai sayur. Sedangkan pada saat ini bagian-bagian lain dari tanaman pisang pun juga telah dimanfaatkan ( Suyanti dan Supriyadi, 2008 ).
Pisang merupakan tanaman yang berasal dari Asia Tenggara dan kini tanaman pisang telah menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Buah pisang sangat popular dan disukai oleh semua lapisan masyarakat. Pisang yang dikonsumsi segar sebagai buah meja ini berasal dari persilangan alamiah antara Musa acuminate dengan Musa balbisiana yang kini turunannya dikenal lebih dari ratusan jenis pisang, yaitu pisang meja, pisang rebus ( olahan ), dan pisang hias. Adapun jenis dari pisang meja yang terkenal antara lain ambon kuning, ambon hijau ( ambon lumut ), ambon putih dan Cavendish ( Sunarjono, 2006 ).
Tanaman pisang yang dibudidayakan pada umumnya diploid, triploid dan tetraploid. Buah pisang banyak yang tidak berbiji ( partenokarpi ). Jenis pisang yang dikonsumsi segar ( buah meja ) tidak berbiji oleh karena jumlah kromosomnya berlipat tiga ( 3n ) yang disebut dengan istilah triploid. Sedangkan pisang meja yang berbiji ( diploid ) adalah pisang batu ( klutuk ) dan sedikit biji pisang siem dan kapok ( kapok kuning lebih manis daripada kapok putih ) ( Sunarjono, 2006 ).
Pada umumnya pisang ambon mempunyai daging buah yang lunak, rasa daging buahnya manis dan beraroma kuat. Sebagai buah meja pisang ambon dapat digunakan sebagai makanan pemula pada bayi. Adapun berat tiap tandannya berkisar antara 15 – 25 kg yang terdiri dari 8 – 14 sisir dan setiap sisir terdiri dari 14 – 24 buah pisang. Panjang buahnya antara 15 – 20 cm dengan diameter 3 – 4 cm. Selain dikonsumsi sebagai buah segar, jenis pisang ambon ini sangat cocok untuk diolah menjadi sale pisang, sari buah dan selai ( Suyanti dan Supriyadi, 2008 ).
Untuk varietas unggul pisang yang diajurkan untuk pengembangan dalam budidaya adalah pisang ambon kuning, cavendish, raja bulu, dan barangan ( Sunarjono, 2006 ).
Menurut Suyanti dan Supriyadi ( 2008 ) dan Sunarjono ( 2006 ) tanaman pisang pada umumnya selalu diperbanyak secara vegetatif, yaitu dengan menggunakan anakan ( sucker ) yang tumbuh dari bonggolnya Dengan acara pemisahan anakan ini dari satu induk pisang dapat diperoleh sekitar 5 – 10 anakan pertahun ( Imelda, 1991 ). Sedangkan menurut Cahyono ( 1995 ) untuk memperbanyak bibit pisang dapat juga dilakukan dengan cara membelah-belah bonggol dari tanaman pisang ( sesuai dengan jumlah mata tunas yang ada ), dan setiap potongan itu sering disebut dengan istilah bit. Namun menurut Priyono et al., ( 2000 ) kendala pengadaan bibit unggul secara konvensional adalah sulit mendapatkan bibit yang berkualitas dalam jumlah besar dalam waktu yang singkat. Untuk mengatasi kendala tersebut maka pada saat ini tanaman pisang selain dari anakan juga diperbanyak dengan menggunakan kultur jaringan tanaman.
Salah satu alternatif pengadaan bibit pisang secara vegetatif adalah dengan cara kultur jaringan atau kultur in vitro. Kultur jaringan merupakan suatu tehnik penanaman dengan menggunakan satu bagian kecil dari tubuh tanaman yang biasa disebut dengan eksplan. Eksplan dapat berupa sel, jaringan atau organ tumbuhan. Eksplan ditanam pada media tertentu ( media buatan ), serta dalam kondisi aseptic. Dikarenakan ukuran yang kecil, tehnik ini juga disebut dengan istilah teknik mikropropagasi ( Katuuk, 1989 ).
Dengan teknik kultur tunas pucuk secara in vitro, maka pelipat gandaan tunas dapat dilakukan dengan cepat, sehingga dalam waktu satu tahun bisa dihasilkan puluhan sampai ratusan ribu bibit yang berasal dari satu tunas pucuk. Meskipun demikian, daya multiplikasinya dapat bervariasi tergantung pada jenis atau kultivar ( Vuylsteke dan Lenghe, 1984 ). Dengan demikian, masalah keterbatasan bibit dapat diatasi. Keunggulan lain dari bibit hasil teknik in vitro adalah bersih dari hama dan penyakit yang ditimbulkan oleh cendawan atau bakteri, karena diproduksi secara aseptic ( Imelda, 1991 ).
Saat ini teknik perbanyakan tanaman melalui kultur in vitro telah banyak diterapkan pada tanaman pangan industri salah satunya pada tanaman pisang (Musa paradisiaca L.). Para petani penanam pisang sangat menyukai bibit pisang hasil kultur jaringan karena bila dibandingkan dengan bibit asal biji atau anakan biasa, bibit pisang hasil kultur jaringan pertumbuhannya lebih pesat, seragam, dapat disediakan dalam jumlah banyak dengan waktu yang singkat, dan bebas patogen berbahaya ( Avivi dan Ikrarwati, 2004 ).
Dalam kultur jaringan pisang, sampai saat ini yang banyak dikenal adalah kultur dengan eksplan tunas dari bonggol. Sebagai eksplan adalah tunas dari bonggol yang tingginya 5 – 10 cm. dan biasanya kalau eksplannya berupa tunas dari bonggol mengandung bakteri internal seperti Pseudomonas dan Erwinia ( Gunawan, 1995 ).
Pada perbanyakan tanaman hortikultura, dianjurkan melalui tunas aksilair, karena dapat menghasilkan bibit yang true-to-type ( sesuai dengan sifat induknya ). Tunas adventif , terutama yang melalui fase kalus, tidak dianjurkan dalam perbanyakan tanaman hortikultura, kecuali untuk tujuan seleksi dan variasi. Tunas adventif langsung, juga menunjukkan kemungkinan variasi, hanya dalam taraf lebih rendah daripada regenerasi melalui fase kalus ( Gunawan, 1995 ).
Pisang termasuk salah satu jenis tanaman hortikultura. Kultivar pisang yang telah berhasul dikulturkan secara in vitro, antara lain Cavendish ( Matsumoto dan Yamaguchi, 1988; Bhagyalaksmi dan Singh, 1995 ), Dwarf Cavendish ( Vuylsteke dan Langhe, 1984; Banerjee dan Langhe, 1985; Jarret dkk., 1985a; Fitchet dan Winnaar, 1988 ), Ambon ( Hoesen, 1990; Setiyoko, 1995 ), Basrai ( Ganapathi dkk., 1992 ), Maricongo ( Gupta, 1986 ), Poyo ( Mateille dan Foncelle, 1988 ), Saba ( Damasco dan Barba, 1984; Jarret dkk., 1985b ). Dan Willams ( Hamill dkk., 1993 ).
Dari sekian banyak jenis media dasar yang digunakan dalam teknik kultur jaringan, tampaknya media MS (Murashige dan Skoog) mengandung jumlah hara organik yang layak untuk memenuhi kebutuhan banyak jenis sel tanaman dalam kultur (Gunawan, 1990).
Pada kultur in vitro tanaman pisang, ada beberapa macam media dasar yang digunakan. Beberapa contoh resep dasar yang digunakan, yaitu medium dasar Murashige dan Skoog ( MS ) ( Swamy dkk., 1983; Cronauer dan Krikorian, 1984; Alvard dkk., 1993; Setiyoko, 1995 ), media dasar Murashige dan Tucker ( MT ) ( Fitchet dan Winnaar, 1988 ), atau media dasar White ( Ganapathi dkk., 1992 ).
Karena untuk mengumpulkan zat-zat kimia bagi pembuatan suatu media kultur jaringan dibutuhkan biaya besar, juga untuk menimbang dan mencampur bahan-bahan tersebut ternyata cukup banyak menyita waktu, belum lagi ditambah kemungkinan terjadi kesalahan dalam mempersiapkan kultur media tersebut, maka sekarang banyak laboratorium yang menggunakan media kultur siap pakai, yang banyak terdapat dalam perdagangan. Beberapa pabrik sekarang menjual campuran dari bahan kimia penyusun media tersebut, dalam bentuk kering atau serbuk. Sebagai hasil dari pengalaman dalam menanam materi tumbuhan yang cukup banyak macamnya, doctor T. Murashige telah membuat sejumlah formulasi dari media untuk propagasi secara in vitro yang memenuhi kebutuhan masa sekarang. Beberapa industri sekarang telah menjual campuran mineral dan zat organic dari Murashige dan media organic, dengan atau tanpa agar. Juga berbagai formulasi Murashige yang dibuat khusus untuk spesies-species yang biasa dipropagasikan telah terdapat dalam perdagangan. Beberapa jenis media kultur jaringan yang lain juga bisa didapatkan. Untuk membuat media kultur dari campuran serbuk yang siap pakai, dilakukan dengan hanya melarutkan dalam sejumlah tertentu air yang kualitasnya memenuhi persyaratan,lalu menyesuaikan pH-nya, memasukkan dalam wadah-wadah, dan kemudian mensterilkan. ( Wetherell, 1982 )
Menurut Wetherell ( 1982 ) peran sitokinin dalam kultur in vitro mempunyai dua peran penting yaitu merangsang pembelahan sel serta pembentukan dan perbanyakan tunas aksilar dan tunas adventif, tetapi kadar sitokinin yang optimum ini dapat menghambat pertumbuhan dan pembentukan akar. Sitokinin alami yang biasa digunakan adalah zeatin ( 4-hydroksi-3-methyl-trans-2-butenylaminopurine) dan 2-iP ( N6-(2-isopentenyl adenine). Sitokinin buatan meliputi BAP / BA ( 6-benzylaminopurine/benzyladenine ) dan kinetin ( 6-furfurylaminopurine ) ( George dan Sherrington, 1984 ). Kinetin adalah kelompok sitokinin yang berfungsi untuk pengaturan pembelahan sel dan morfogenesis. (Sriyanti dan Wijayani, 1994).
Zat pengatur tumbuh yang sering digunakan untuk merangsang terbentuknya tunas pada kultur in vitro tanaman pisang adalah sitokinin ( BAP ). Konsentrasi yang ditambahkan ke dalam medium berkisar antara 0,7 – 10 mgl-1 ( Damasco dan Barba, 1984; Gupta, 1986; Hoesen, 1990; Widayati, 1992; Hamill dkk., 1993 ). Selain itu, ada juga yang menggunakan kinetin dengan konsentrasi antara 0,7 – 5 mgl-1 ( Gupta, 1986; Fitcher dan Winnaar, 1988; Setiyoko, 1995).
Menurut Surono dan Himawan ( 2009 ) media MS + 8 ppm BAP adalah media yang relative paling optimal untuk memacu terbentuknya akar dan tunas pada eksplan tunas apical tumbuhan pisang barangan, pisang panjang, dan pisang koja. Kemudian Barnejee dan De Langle ( 1985 ) telah berhasil melakukan mikropropagasi beberapa kultivar pisang, misalnya Cavendish dan silk, dengan cara mengkulturkan tunas ujung batang pada medium MS yang dimodifikasi. Pertumbuhan plantlet terbaik adalah dalam medium MS yang dimodifikasi dengan suplemen 0,18 ppm IAA dan 2,3 ppm Benzyladenine ( BA ). Mateille dan Foncelle ( 1988 ), berhasil menstimulasi pertumbuhan tunas aksiler / lateral pisang kultivar Poyo untuk menghasilkan BLB ( Bud Like Body ), dengan cara mengkulturkan tunas tersebut dalam medium MS ditambah 20 % sukrosa dan 22.5 µM BA. Daun dan akar dihasilkan melalui subkultur tunas tersebut dalam medium dasar yang sama, dengan suplemen 10 % sukrosa, tanpa pemberian zat pengatur tumbuh.
Meldia dkk ( 1992 ), menggunakan mata tunas pisang emas sebagai eksplan yang ditanam pada mediim MS padat. Pisang emas menunjukkan respon yang cukup baik ( eksplan segar dan ukurannya bertambah besar ), bila ditanam pada medium inisiasi MS dengan penambahan zat pengatur tumbuh IAA 0,1 – 0,2 ppm dan BAP 3,0 – 4,0 ppm. Setelah 4 minggu dilakukan subkultur ke medium multiplikasi MS dengan penambahan BAP 3,0 – 5,0 ppm. Jumlah tunas yang terbentuk per eksplan, berkisar antara 1,53 – 3,33. Dari penelitian tersebut terlihat bahwa bila konsentrasi BAP semakin meningkat maka jumlah tunas yang terbentuk juga meningkat. Kemudian menurut Avivi dan Ikrarwati ( 2004 ) pada kultur pisang Abaca, pemberian BAP 5 ppm memberi hasil terbaik dengan rata-rata 8,6 tunas mikro per eksplan dan tinggi rata-rata 2,49 cm. Sedangkan untuk induksi tunas dengan media kinetin jumlah tunas terbaik diperoleh pada konsentrasi 7 ppm dengan menghasilkan rata-rata 8,4 tunas mikro per eksplan.
TUJUAN
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui respon eksplan tunas pisang ( Musa paradisiaca L. cv. Ambon ) bila konsentrasi BAP dan Kinetin hanya satu kombinasi.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur In Vitro, CV. Agri Bio Tech, Yogyakarta. Pelaksanaan penelitian lebih kurang selama 3 bulan , dimulai dari bulan September 2009 sampai dengan Desember 2009.
Pisang yang digunakan untuk penelitian ini adalah pisang ambon ( Musa paradisiaca L. cv. Ambon ) yang diambil dari kebun milik CV. Agri Bio Tech, di kampung Jambon Sleman. Bahan yang digunakan untuk eksplan adalah tunas yang sedang tumbuh dari bonggol tumbuhan pisang, dengan diameter antara 5 – 10 cm. Sedangkan medium yang digunakan adalah medium dasar MS (Murashige dan Skoog, 1962) siap pakai buatan Duchefa Biochemie, Belanda. Gula yang ditambahkan adalah gula biasa yang banyak dijual di pasaran umum. Agar yang dipakai adalah agar biasa yang banyak dijual di pasaran umum. Hormon yang diitambahkan adalah BAP 9 ppm dan kinetin. 1 ppm. Medium diatur pH-nya kurang lebih 5,8. Medium dimasukkan ke dalam botol-botol kultur dan disterilkan menggunakan autoclave. (121 ºC, 15 menit).
Tunas tumbuhan pisang dicuci dan disikat sampai bersih dan bagian luar yang kering dan kotor dibuang. Setelah itu direndam dalam air sabun selama 15 menit dan setelah lima belas menit kemudian air sabun dibuang lalu dibilas dengan air mengalir selama 15 menit. Kemudian diambil dan ditiriskan. Kemudian selanjutnya eksplan yang berupa tunas dari bonggol pisang dilakukan sterilisasi dengan cara pembakaran sebanyak tiga kali. Setelah itu eksplan di bawa ke dalam laminar air flow, lalu tunas dari bonggol pisang tersebut diletakkan dalam cawan petri, lalu dikupas lagi dengan menggunakan scalpel hingga diameter bagian dasarnya berukuran 1 - 1,5 cm. Eksplan dipegang dengan menggunakan pinset dan ditanam dalam botol kultur. Satu botol kultur berisi 1 eksplan. Untuk tiap perlakuan menggunakan 5 ulangan. Botol kultur dipelihara dalam ruang kultur, dan diberi penyinaran dengan lampu TL 40 watt secara kontinyu selama 8 jam sehari, pada suhu 26 °C. Penggantian medium dilakukan apabila terjadi pencoklatan pada medium. Pengamatan dilakukan pada minggu ke 2, 4, 6, dan 8 setelah tanam. Pengamatan dilakukan secara kualitatif, yaitu ada tidaknya kalus pada eksplan, tumbuh tidaknya tunas, banyaknya tunas yang tumbuh, dan panjang tunas yang terbentuk.
HASIL
Setelah dilakukan pengamatan ada tidaknya kalus pada eksplan, tumbuh tidaknya tunas, banyaknya tunas yang tumbuh, dan panjang tunas yang terbentuk maka hasilnya bisa dilihat pada tabel 1 sampai dengan tabel 4 di bawah ini :
Tabel 1. Pengamatan pembentukan kalus pada eksplan
Keterangan :
+ = terbentuk kalus
- = tidak terbentuk kalus
Tabel 2.Pengamatan pembentukan tunas pada eksplan
Keterangan :
+ = sudah terbentuk tunas
- = belum terbentuk tunas
Tabel 3.Pengamatan jumlah tunas yang terbentuk pada eksplan
Keterangan :
- = belum terbentuk tunas
Tabel 4.Pengamatan panjang tunas yang terbentuk pada eksplan ( dalam cm )
Pada medium MS yang ditambahkan BAP 9 ppm dan Kinetin 1 ppm memperlihatkan hasil yang bagus, yaitu respon pertumbuhan yang dimulai dengan terbentuknya kalus pada bagian bekas irisan luka di minggu ke dua setelah penanaman eksplan. Hal ini terjadi hampir pada seluruh eksplan yang ditanam. Adapun warna kalus yang terbentuk adalah putih kekuningan dan sifat kalus yang terjadi adalah remah. George dan Sherrington ( 1984 ) menyebutkan bahwa keseimbangan dan interaksi antara auksin dan sitokinin, juga bisa menyebabkan pembentukkan kalus. Demikian juga dengan keseimbangan dan interaksi antara antara zat pengatur tumbuh endogen dan eksogen . Di duga penambahan BAP dan Kinetin mempengaruhi terbentuknya kalus pada eksplan tunas apikal pisang.
Foto. 1. Gambar kalus yang terbentuk pada minggu kedua
Pada pengamatan minggu ke empat setelah penanaman terlihat eksplan sudah mulai membentuk tunas. Pembentukkan tunas ini dimungkinkan karena adanya kandungan sitokinin yang tinggi pada media penanaman eksplan (BAP 9 ppm dan kinetin 1 ppm). Fungsi sitokinin adalah merangsang pembentukan dan perbanyakan tunas aksilar. BAP dan kinetin merupakan zat pengatur tumbuh dari golongan sitokinin, maka proses pembentukan dan perbanyakan tunas dapat berjalan. Pada minggu ke empat, rata-rata tunas yang terbentuk adalah satu tunas dengan rerata panjang tunas 0,5 cm.
Foto. 2. Gambar tunas yang terbentuk pada minggu keempat
Pada minggu keenam setelah penanaman, terjadi penambahan jumlah tunas yang terbentuk, yaitu rerata jumlah tunas yang terbentuk 1,8 tunas dengan panjang rerata tunas yang terbentuk 1,63 cm. Adanya penambahan rerata jumlah tunas yang terbentuk dan rerata panjang tunas yang terbentuk ini menunjukkan adanya pengaruh hormon BAP dan kinetin.
Foto. 3. Gambar multiplikasi tunas yang terbentuk pada minggu keenam
Proses penambahan jumlah dan panjang tunas yang terjadi tidak berhenti di minggu ke enam saja akan tetapi terus berjalan sampai ke minggu ke delapan. Jumlah tunas yang terbentuk maupun panjang tunas yang terbentuk juga semakin bertambah, yaitu rerata tunas yang terbentuk 3 tunas dengan rerata tunas yang terbentuk 3,13 cm. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh zat pengatur tumbuh baik BAP maupun sitokinin masih berjalan.
Foto. 4. Gambar multiplikasi dan pemanjangan tunas yang terbentuk pada minggu kedelapan
Dari pengamatan minggu kedua sampai dengan minggu ke delapan, eksplan baru menunjukkan proses pembentukan, multiplikasi, dan pemanjangan tunas, namun eksplan belum membentuk akar. Hal ini disebabkan dalam media kultur hanya terdapat zat pengatur tumbuh BAP dan kinetin dimana keduanya merupakan zat pengatur tumbuh dari golongan sitokinin yang merangsang pembelahan sel, pembentukan serta perbanyakan tunas aksilar, akan tetapi menghambat proses pembentukan dan pemanjangan akar. Diduga kandungan auksin endogen yang terdapat di dalam eksplan belum cukup untuk merangsang terjadinya pembentukkan akar.
KESIMPULAN
Eksplan tunas pisang ( Musa paradisiaca L. cv. Ambon ) yang ditanam pada media MS + BAP 9 ppm dan Kinetin 1 ppm menunjukkan respon pembentukan tunas dan multiplikasi tunas. Jumlah rerata tunas yang terbentuk adalah 3 tunas dengan rerata panjang tunas 3,13 cm.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Alvard, D., F. Cote and C Teisson, 1993, Comparison of Methodes of Liquid Medium Culture for Banana Micropropagation, Plant Cell, Tissue and Organ Cult., 32, 55 – 60.
[2] Avivi, S. dan Ikrarwati, 2004, Mikropropagasi Pisang Abaca ( Musa textillis, Nee ) melalui teknik Kultur Jaringan, Ilmu Pertanian Vol. II No. 2, 27 – 34.
[3] Banerjee, N. and E. De Langhe., 1985, A Tissue Culture Technique for Rapid Clonal Propagation and Storage Under Minimal Growth Condition of Musa, Plant Cell Reports, 4, 351 – 354.
[4] Bhagyalakshmi and N. S. Singh, 1995, Role of Liquid Versus Agar-gelled Media in Mass Propagation and Ex Vitro Survival in Bananas, Plant Cell, Tissue and Organ Cult, 41, 71 – 73.
[5] Cahyono, B., 1995, Pisang, Budidaya dan Analisis Usahatani Cetakan Pertama, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
[6] Cronauer, S. S. and A. D. Krikorian, 1984, Multiplication of Musa from Excised Stem Tips, Ann. Bot., 53, 321 – 328.
[7] Damasco, O. P. and R. C. Barba, 1984, In Vitro Culture of Saba Banana [ Musa sp. cv. Saba ( BBB ) ] Phil. Agr., 67, 351 – 358.
[8] Fitchet, M. and W. D. Winnaar, 1988, Effect of Sterillants and Nutrient Media on the Establishment of Shoot Tips of Two Banana Cultivars in Culture, Subtropika 9(3), 12 – 16.
[9] Ganapathi, T. R., P. Suprasanna, V. A. Bapat and P. S. Rao, 1992, Propagation of Banana Through Encapsulated Shoot Tips, Plant Cell Rep., 11, 571 – 575.
[10] George, E. F. and P. D. Sherrington., 1984, Plant Propagation by Tissue Culture, Handbook and Directory of Commercial Laboratories, Exegetic Ltd. England, 184-330.
[11] Gunawan, L.W., 1990, Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Laboratorium Kultur Jaringan, Pusat Antar Universitas (PAU) Bioteknologi. IPB,
[12] Gunawan, L. W., 1995, Teknik Kultur In Vitro Dalam Hortikultura, Cetakan I, PT. Penebar Swadaya, Jakarta, 35, 87.
[13] Gupta, P. P., 1986, Eradication of Mosaic Disease and Rapid Clonal Multiplication of Bananas and Plantains Through Meristem Tip Culture, Plant Cell, Tissue and Organ Cult., 6, 33 – 39.
[14] Hamill, S. D, S. L. Sharrock and M. K. Smith, 1993, Comparison of Decontamination Methods Used In Initiation of Banana Tissue Cultures from Field-Collected Suckers, Plant Cell, Tissue and Organ Cult, 33, 343 – 346.
[15] Hoesen, D. S. H., 1990, Pemberian Zat Pengatur Tumbuh Adenin Dan Benzyl Aminopurine Pada Perbanyakan Tanaman Pisang ( Musa sp ) Kultivar Ambon, Raja Bulu, dan Tanduk Secara In Vitro, Prosiding Seminar Biologi Dasar I, Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi, LIPI, Bogor, 43 – 48.
[16] Imelda, M., 1991, Penerapan Teknologi In Vitro Dalam Penyediaan Bibit Pisang, dalam Prosiding Seminar Bioteknologi Perkebunan dan Lokakarya Biopolimer Untuk Industri, PAU Bioteknologi IPB, Bogor, 72 – 76.
[17] Jarret, R. L., J. B. Fisher and R. E. Litz, 1985a, Organ Formation in Musa Tissue Cultures, J. Plant Physiol, 121, 123 – 130.
[18] Jarret, R. L., W. Rodriguez and R. Fernandez, 1985b, Evaluation, Tissue Culture Propagation, and Dissemination of ‘Saba’ and’Pelipita’ Plantains In Costa Rica, Sci. Hort., 25, 137 – 147.
[19] Katuuk, J. R. P., 1989, Teknik Kultur Jaringan Dalam Mikropropagasi Tanaman, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Perguruan Tinggi, Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, Jakarta, 3 - 6.
[20] Mateille, T. and Foncelle, B., 1988. Micropropagation of Musa AAA cv Poyo in The Ivory Coast, Tropical Agricultural (Trinidad), 65, 325 - 328.
[21] Matsumoto, K. and H. Yamaguchi, 1989, Nonwogen Materials as a Supporting Agent for In Vitro Culture of Banana Protocorm-Like Bodies, Trop. Agric. ( Trinidad ) 66 ( 1 ), 8 – 10.
[22] Meldia, Y., Winarno, M., dan Sunyoto., 1992, Pengaruh IAA dan BAP Terhadap Inisiasi dan Multiplikasi Tunas Pada Beberapa Varietas Pisang Secara In Vitro, Penelitian Hortikultura, 5, 23 - 31.
[23] Priyono, D. Suhandi, dan Matsaleh., 2000, Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh IAA dan 2-IP pada Kultur Jaringan Bakal Buah Pisang, Jurnal Hortikultura. 10 (3) , 183 – 190.
[24] Setiyoko, B., 1995, Kultur Meristem Tanaman Pisang ( Musa paradisiacal L. ) Kultivar Ambon Untuk Memperoleh Tanaman Yang Bebas Dari Cucumber Mosaic Virus, Skripsi, Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta.
[25] Sriyanti, D.P. dan A.Wijayani, 1994, Teknik Kultur Jaringan, Yayasan Kansius.
[26] Sunarjono, H. Drs., 2006, Berkebun 21 Jenis Tanaman Buah, Penebar Swadaya, Jakarta, 66 - 67.
[27] Surono, A. dan A. Himawan, 2009, Perbanyakan Tiga Kultivar Pisang ( Musa paradisiaca L. ) Menggunakan Medium Murashige dan Skoog (MS) Instan dan Variasi Hormon Benzylaminopuryn ( BAP ), dalam Prosiding Bioteknologi Seminar Nasional Biologi XX dan Kongres Perhimpunan Biologi Indonesia XIV, UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang, 44 - 49.
[28] Suyanti dan A. Supriyadi, 2008, Pisang, Budidaya, Pengolahan, dan Prospek Pasar, Edisi revisi, Penebar Swadaya, Jakarta, 37, 53 – 56.
[29] Swamy, D. R., S. Rao dan E. K. Chacko, 1983, Tissue Culture Propagation Of Banana, Scientica Hortic., 18, 247 – 252.
[30] Vuysteke, D. & E. D. Langhe, 1984, Feasibility of in vitro propagation of bananas and plantains. Trop. Agric. ( Trinidad ) 62(4): 323 – 328.
[31] Wetherel, D. F., 1982, Pengantar Propagasi Tanaman Secara In Vitro, Avery Publishing Group Inc, New Jersey, 51.
[32] Widayati, E., 1992, Laporan Latihan Kultur Jaringan Pisang di Los Banos dan Davao, Philipina, Sub Balai Penelitian Holtikultura, Malang, 6.
pak itu kalusnya coklat tapi ternyata hidup...kenapa bisa gitu pak?
BalasHapusEksplan diambil dari batang pisang (bonggol pisang) di mana bonggol ini banyak mengeluarkan zat tanin sehingga eksplan menjadi berwarna kecoklatan.
BalasHapusJadi kalau kalus tampak coklat sebenarnya tidak masalah asal masih segar, dan tidak terkontaminasi jamur atau bakteri.
Tapi kalau diamati lebih lanjut tampak bahwa warna kecoklatan hanya terjadi di bagian luar ekplan sedangkan bagian dalamnya berwarna kehijauan sehingga hal ini menunjukkan bahwa eksplan bisa melakukan proses fotosintesis dan hasilnya pada bagian luar tampak tumbuhnya kalus yang berwarna putih dan kalus ini biasanya tumbuh di bagian bekas potongan luka (hal ini sesuai dengan fungsi kalus sebagai jaringan penutup luka).
Pada umumnya pencoklatan pada eksplan akan berakibat pula dengan terjadinya pencoklatan pada media hal ini karena senyawa tanin tersebut merembes ke media dan pada umumnya kalau media tidak ada zat anti oksidannya maka media juga akan menjadi coklat. Dan untuk kultur pisang andai saja medianya tidak ada anti oksidan maka ketika media menjadi coklat (mengalami browning) maka eksplan dipindah ke media yang baru sampai dengan media tidak mengalami pencoklatan lagi. Atau bisa juga dengan menambahkan anti oksidan yang berupa asam ascorbat atau dengan menambahkan arang aktif ke dalam media. Akan tetapi pada media instan yang kita gunakan untuk penanaman pisang ini tidak mengalami pencoklatan walaupun kita tanpa menambahkan asam ascorbat atau arang aktif.