Kamis, 25 Februari 2010

PERBANYAKAN TANAMAN ANGGREK PHALAENOPSIS / DORITIS MELALUI TANGKAI BUNGA

Phalaenopsis

Doritis pulcherrima

(Foto : Mas Sulistyono ) 

Oleh : Ir. Herman Wijaya

Banyak tanaman anggrek yang monopodial sangat sulit untuk diperbanyak tanpa melalui silangan induk jantan/betina.

Bila kita perhatikan jenis anggrek phalaenopsis/doritis yang sedang berbunga dimana pada tangkai bunga tersebut terdapat mata tunas, yang bila dikehendaki dapat tumbuh menjadi tanaman yang sempurna.

Metode yang digunakan untuk perbanyakan tanaman anggrek phalaenopsis/doritis melalui tangkai bunga ini dapat digolongkan menjadi 3 bagian.

[1]    Menamam tangkai bunga phalaenopsis/doritis pada media padat yang setiap mata tunasnya dapat tumbuh menjadi satu atau dua tanaman yang sempurna.

[2]    Dengan memberikan hormon pada mata tunas tangkai bunga anggrek phalaenopsis/doritis yang dapat tumbuh menjadi satu, dua atau lebih tanaman yang sempurna.

[3]    Dengan sistem budidaya jaringan ( Tissue Culture ).

Yang akan dibicarakan di sini adalah yang bagian pertama dan kedua tersebut di atas.

Keuntungan-keuntungan dari metode di atas adalah :

[1]    Pengambilan mata tunas dapat dilakukan pada tangkai bunga dimana bunga sudah hampir layu, sehingga dari bahan yang akan dibuang dapat dimanfaatkan.

[2]    Tanaman yang dihasilkan sekwalitas dengan tanaman induknya.

MENANAM TANGKAI BUNGA ANGGREK PHALAENOPSIS/DORITIS PADA MEDIA PADAT.

Pengambilan tangkai bunga :

Hendaknya dipilih yang sehat dan mempunyai mata tunas yang segar ( benjolan-benjolan besar ) sehingga memungkinkan mata tunas tersebut tumbuh.

Tangkai bunga yang akan ditanam dipotong-potong lebih kurang 4 cm yaitu 2 cm dibawah mata tunas dan 2 cm diatas mata tunas, selanjutnya kita sebut explant.

Dari satu tangkai bunga menghasilkan 4 – 7 explant.

Sterilisasi explant :

Sterilisasi pertama dilakukan dengan menggunakan campuran sebagai berikut :

Air steril ( disterilkan dengan menggunakan autoclave lebih kurang 15 menit ).

Clorox 10% ( dapat dibeli di supermarket ).

Liquid detergent 1 – 2 tetes.

Sterilisasi ini dilakukan dengan cara digojog selama 10 menit dan dikerjakan di luar entkas.

Sterilisasi kedua dilakukan dengan menggunakan campuran sebagai berikut :

Air steril ( disterilkan dengan autoclave lebih kurang 15 menit ).

Clorox 5 %.

Liquid detergent 1-2 tetes.

Sterilisasi ini juga dilakukan dengan cara digojog selama 5 menit dan dikerjakan didalam entkas yang steril.

Sterilisasi yang terakhir dilakukan dengan menempatkan explant pada air steril yang sudah disediakan didalam entkas.

Setelah 3 tahap sterilisasi diatas selesai dikerjakan maka dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut :

Explant didalam air steril diambil dengan pincet, dan ditempatkan pada petridish yang sudah disteril.

Dengan menggunakan pisau scapel no. 11 yang steril, dikelupas sisik-sisik yang masih menutupi mata tunas, kemudian dipotong explant diatas menjadi lebih kurang 2 cm, yaitu 1 cm diatas mata tunas dan 1 cm dibawah mata tunas.

Tempatkan explant pada media padat yang sudah disediakan dimana permukaan media agar tetap dibawah mata tunas, ingat jangan sampai terbalik menancapkan explant tersebut.

Media agar :

Media yang digunakan dapat dipakai :

  • Knudson C.
  • Vacin and Went ( VW ).
  • Murashige and Skoog ( MS ).

Yang ditempatkan di dalam erlenmeyer ( 25 cc, 50 cc, 100 cc ) dan diteril dengan autoclave dalam waktu 15 menit.

Pengamatan dan Kesimpulan.

Dalam waktu satu bulan terlihat mata tunas yang tumbuh  dan dalam waktu 4 bulan tanaman tersebut sudah dapat dikeluarkan dari botol dan ditanam diudara terbuka.

Kemungkinan mata tunas dari tangkai bunga dapat tumbuh 60-70% dimana kegagalan-kegagalan tersebut disebabkan oleh :

Sterilisasi yang tidak sempurna sehingga terjadi kontaminasi ( busuk ).

Pemilihan explant yang tidak baik sehingga mata tunas tidak mau tumbuh.

Media padat yang terbaik yang digunakan adalah media padat yang diberi bahan pelengkap pisang dan charcoal karena :

  • Explant yang sudah ditanam dimedia padat tidak perlu diadakan pemindahan kemedia segar lainnya, jadi dari waktu mulai menanam sampai dikeluarkan dari botol.
  • Tanaman kelihatan subur dengan daun dan akar yang segar.

Dari prosedure di atas dapat disimpulkan bahwa prosedure ini bukanlah merupakan prosedur yang paling cepat dan jumlah tanaman yang didapat paling banyak, tetapi hal yang paling pasti bahwa kurang lebih 90% dari mata tunas tumbuh menjadi tanaman.

DENGAN MEMBERIKAN HORMON PADA MATA TUNAS TANGKAI BUNGA ANGGREK PHALAENOPSIS/DORITIS

Berbeda dengan metode pertama diatas dimana diperlukan suatu kondisi yang aseptic ( steril ), biaya mahal, pengetahuan yang cukup sehingga metode pertama ini sangat terbatas digunakan, sebaliknya metode kedua ini tidak diperlukan suatu kondisi aseptic ( steril ), lebih murah, tidak diperlukan pengetahuan yang tinggi.

Hormon/lanolin paste diberikan pada setiap mata tunas tangkai bunga, setelah 6 bulan biasanya mata tunas telah tumbuh menjadi tanaman dengan daun dan akar yang sehat, untuk dapat dipisahkan dari induk tanaman dan ditanam sendiri.

Bahan-bahan yang digunakan dan metodenya.

Tangkai bunga phalaenopsis/doritis yang sedang berbunga dipotong bunganya dengan memberikan sisa sebanyak 3 mata tunas bagian terbawah ( dekat dengan tanaman induk ), perlu diketahui biasanya mata tunas yang kelima dari bawah tumbuh menjadi tangkai bunga baru.

Sisik-sisik yang menutupi mata tunas dikelupas dan diberikan hormon/lanolin paste. Paste ini terdiri dari 50 mg/ml trans-Cinamic Acid ( tCA ) dan 5 mg/ml 6-Benzyl Amino Purine ( BAP ) dalam larutan lanolin, sembilan dari sepuluh mata tunas tumbuh menjadi rata-rata 4 tanaman baru tiap mata tunasnya.

R. J. Griesbach telah membuat bermacam-macam konsentrasi hormon dan didapatkan hasil-hasil seperti tabel di bawah ini :

Daftar Kepustakaan :

Robert M Scully, Jr, Stem propagation of phalaenopsis, AOS Bulletin.

R. J. Griesbach, The In Vitro Propagation of phalaenopsis Orchids, AOS Bulletin, Volume 53, Desember 1984.

CARA MUDAH UNTUK MERANGSANG PERTUMBUHAN TUNAS SAMPING ( LATERAL BUD ) PADA DENDROBIUM

Dendrobium victoria-reginae

( Foto : Sulistyono )

Oleh : Prof. Dr. Asmino 

Dengan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dewasa ini, maka dunia peranggrekan tak mau ketinggalan. Berbagai cara yang sukar ataupun yang mudah ditempuh orang untuk memajukan dunia peranggrekan. Meristem culture misalnya, sekarang sudah tidak asing lagi dinegara-negara yang maju dengan segala alat-alatnya yang serba modern. Lagi pula sekarang terdapat bahan auxin yang dapat ditambahkan pada media dasarnya. Bahan tersebut dapat merangsang pertumbuhan maupun pembelahan sel-sel tumbuhan, ada pula bahan yang dapat merangsang pembentukkan akar tanaman ( root hormone ). Dikenal pula bahan yang dapat melipat gandakan jumlah chromosome sel tumbuhan, yaitu colchichine.

Penggunaan colchichine pada media untuk meristem culture Cymbidium telah memberi dampak positif dengan hasil tanaman tetraploid yang mempunyai sifat-sifat yang baik sekali, baik tanamannya maupun bunganya. Akan tetapi bahan-bahan tersebut di atas tidak didapat dinegara kita kalaupun ada harganya masih sangat mahal. Alat-alat yang diperlukan untuk meristem culture juga masih cukup mahal, dan cara kerjanya adalah rumit.

Karangan ini menceritakan percobaan untuk merangsang pertumbuhan beberapa tunas samping pada Dendrobium dengan cara yang mudah dikerjakan dan tidak memerlukan peralatan apapun. Pertumbuhan samping dari mata pseudobulb Dendrobium ternyata dihambat oleh auxin, yaitu suatu bahan yang dapat merangsang pertumbuhan dan pembelahan sel pada tempat yang sedang tumbuh. Pada umumnya auxin dibentuk pada ujung tanaman yang masih muda. Kemudian auxin ini diangkut kearah bawah tanaman, terus ke akarnya.

Ernest Ball dan Joseph Arditti pada World Orchid Conggress di Jerman telah membawakan makalahnya dimana mereka berhasil untuk mengerjakan Clonal propagation dari Dendrobium dengan cara node culture, yaitu menanam potongan-potongan pseudobulb Dendrobium yang sudah dewasa pada media yang diberi suatu bahan yang bekerja sebagai antagonis auxin yaitu trans Cinnamic Acid. Tetapi cara mengerjakannya membutuhkan suatu media dengan ditambahkannya trans Cinnamic Acid yang susah didapat di sini. Lagi pula diperlukan fasilitas tempat kerja dan cara kerja yang serba steril ( suci hama ).

Dari pengamatan sehari-hari didapatkan suatu kenyataan pada Dendrobium beberapa cara untuk membangkitkan tumbuhnya tunas samping yaitu :

[1]    Dengan pemeliharaan dan pemupukan yang baik pada tanaman, dari pseudobulb yang sudah cukup tua, dibawah pseudobulb itu dapat menjadi kering dan dapat dikatakan tak berfungsi lagi, bahkan yang akarnya sudah mati. Kita masih melihat, bahwa di atas pseudobulb yang sudah tua tersebut dari matanya tumbuh suatu tunas samping yang kemudian menjadi tanaman kecil yang berakar yang dapat di tanam sendiri.

[2]    Seringkali dengan sengaja memisahkan secara sempurna pseudobulb yang sudah tua itu dari tanaman induknya, kemudian diletakkan secara mendatar di atas suatu tempat yang lembab dan teduh dengan harapan akan keluar anakan samping dari ujung atas atau pangkal pseudobulb.

[3]    Selanjutnya pseudobulp dipotong secara tidak sempurna, berarti 5 sampai 10 cm dari pangkalnya dan masih meninggalkan sedikit jembatan jaringan antara kedua potongan tersebut. Sesudah itu luka potong dirawat dengan pasta anti fungi, potongan atas dirawat seperti ad. 2 dengan demikian diharapkan akan tumbuh anak samping baik dari ujung pseudobulb ataupun dari pangkalnya.

[4]    Tanaman Dendrobium yang sudah ”hampir mati” digantung dengan ujung pseudobulb kebawah dengan harapan dari pangkalnya akan keluar anakan.

Tetapi hal sedemikian ini tidaklah selalu memenuhi harapan kita, lagi pula waktu yang diperlukan untuk keluarnya anak samping adalah cukup lama.

Sebetulnya kejadian diatas mempunyai suatu tujuan yang sama, yaitu merangsang tumbuhnya tunas samping pada genus Dendrobium. Tumbuhnya tunas samping pada ad.1 mungkin sekali disebabkan oleh karena berkurangnya kadar auxin pada pseudobulb yang sudah tua, sedangkan pada perlakuan ad. 2 dan ad. 3 kadar auxin menjadi berkurang oleh sebab pseudobulb yang sudah dewasa itu dipisahkan sama sekali atau sebagian dari tanaman yang ada di pot. Sedangkan pada ad. 4 disebabkan oleh karena kadar auxin yang berkurang karena auxin tidak bisa ditranspot ke bagian pangkal bawah sebab auxin sifat transpotnya adalah basipetal yaitu dari atas ke bawah dan tidak bisa sebaliknya.

Karena pada dasarnya hanyalah kadar auxin yang harus direndahkan, maka dicoba memisahkan pseudobulb yang cukup dewasa dari beberapa tanaman Dendrobium. Dengan memisahkan pseudobulb dari tanaman induknya, maka tidak terjadi transport auxin keakar, disamping pseudobulb yang tua sudah berkurang membentuk auxin. Sesudah dibersihkan dan dihilangkan selaput-selaput bekas daun, pseudobulb kemudian diletakkan secara mendatar di atas alas yang terus menerus lembab ( kesed sabut kelapa yang sudah direndam dengan fungicida )  dan ditempatkan pada lokasi yang teduh. Maksud meletakkan pseudobulb mendatar ialah untuk lebih lama mempertahankan cairan siraman rendaman pada seluruh batang.

Batang-batang ini kemudian disiram dengan larutan pupuk daun ( foliar fertilizer ) yang dicampur dengan Triberline dalam 4 liter larutan pupuk daun seperti yang dianjurkan oleh pabriknya.

Triberline adalah larutan yang mengandung Gibberelline A3, mempunyai khasiat untuk menumbuhkan akar dan dikeluarkan oleh Tri Products, Singapure.

Penyemprotan dilakukan seminggu sekali dan sesudah dua bulan telah kelihatan pertumbuhan tunas dari beberapa mata-mata pseudobulb tersebut yang kemudian disusul dengan pertumbuhan akar yang nampak sehat pula. Hasilnya ternyata kira-kira sama dengan hasil yang diuraikan oleh penulis C. J. Goh pada percobaannya merangsang pertumbuhan akar pada Aranda dan untuk menambah pseudobulb baru pada Dendrobium.

 

KEPUSTAKAAN

Ernest A Ball dan Joseph Arditti, 1975, Node culture as of clonal propagation for Dendrobium. Proceeding of the 8th World Orchid Conference Palmongarten Frankfurt, 10th – 17th April. P. 367-371.

Goh, C. J., 1983, Root production in orchids, Malayan orchid Reviuw. 17 : 14-15.

Senin, 22 Februari 2010

MULTIPLIKASI TUNAS PISANG AMBON SECARA IN VITRO DENGAN MENGGUNAKAN MEDIUM MURASHIGE DAN SKOOG DENGAN PENAMBAHAN HORMON BENZYLAMINOPURIN DAN KINETIN


Oleh :

Agung Surono ; Achmad Himawan

CV. AGRI BIO TECH

Jl Jambon No 605, Gang Batan

Jatimulyo, Kricak, Tegalrejo, Yogyakarta 55242

E-mail : agungsurono@yahoo.com, achmadhim@yahoo.com

Telah dipresentasikan pada :

Basic Science Seminar VII

Sabtu, 20 Februari 2010

Ruang MP-1.6 Gedung Fakultas FMIPA Universitas Brawijaya Malang

Jam : 14.00 - 14.30 WIB

Moderator : Dr. Sri Widyarti

ABSTRAK

Pisang (Musa paradisiaca L.) berasal dari hasil silangan alamiah antara Musa acuminata dengan Musa balbisiana, yang kini keturunannya lebih dari ratusan kultivar pisang. Pisang merupakan komoditas hasil pertanian yang memiliki nilai ekonomi tinggi, dan menjadi makanan pokok bagi jutaan penduduk di daerah tropik Afrika. Nilai nutrisi pisang hampir sama dengan kentang kecuali kadar proteinnya yang lebih rendah. Di Indonesia pisang merupakan tanaman buah yang paling banyak dibudidayakan dan dikonsumsi. Di Indonesia dijumpai berbagai macam kultivar pisang, beberapa diantaranya adalah pisang Ambon, Barangan, Raja, Emas, Susu, Kepok dan Tanduk. Dari berbagai macam kultivar pisang tersebut dapat dikelompokkan menjadi 3, yakni pisang meja, pisang rebus ( pisang olahan ) dan pisang hias. Kultivar pisang yang relatif digemari konsumen adalah pisang Ambon, Raja , Barangan, Emas, Susu, Kepok dan Tanduk.

Penelitian-penelitian secara in vitro dalam rangka multiplikasi (perbanyakan) tunas pada beberapa kultivar pisang telah banyak dilakukan. Permasalahan yang dihadapi adalah bagaimana respon eksplan tunas pisang (Musa paradisiaca L. cv. Ambon) bila konsentrasi Benzylaminopurin (BAP) dan Kinetin hanya satu kombinasi saja. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui respon eksplan tunas pisang ( Musa paradisiaca L. cv. Ambon ) bila konsentrasi BAP dan Kinetin hanya satu kombinasi saja.

Penelitian ini menggunakan medium Murashige dan Skoog (MS) instan produk Duchefa, dengan penambahan hormon BAP 9 ppm dan Kinetin 1 ppm. Eksplan yang digunakan adalah tunas pisang ( Musa paradisiaca L. cv. Ambon ). Pengamatan dilakukan pada minggu ke 2, 4, 6, dan 8 setelah tanam. Pengamatan dilakukan secara kualitatif, yaitu ada tidaknya kalus pada eksplan, tumbuh tidaknya tunas, banyaknya tunas yang tumbuh, dan panjang tunas yang terbentuk.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada umumnya kalus yang bersifat remah terbentuk di minggu ke 2 setelah tanam. Tunas tumbuh pada minggu ke 4 setelah tanam. Tunas mengalami proses multiplikasi pada minggu ke 6 setelah tanam. Rata-rata tunas yang terbentuk adalah 3 tunas, dengan panjang rata-rata 3,13 cm.

Kata kunci : Multiplikasi, Pisang, Ambon, Murashige dan Skoog (MS), Benzylaminopurin (BAP), Kinetin

PENDAHULUAN

Tanaman pisang telah ada sejak manusia ada. Namun saat itu pisang masih merupakan tanaman liar yang tidak dibudidayakan, hal ini disebabkan oleh karena manusia pada awal kebudayaan hanya berperan sebagai pengumpul makanan dari alam tanpa perlu untuk menanamnya kembali. Namun setelah kebudayaan pertanian menetap dimulai, pisang termasuk dalam golongan tanaman pertama yang dipelihara ( Suyanti dan Supriyadi, 2008 ).

Di kalangan masyarakat yang tinggal di kawasan Asia Tenggara, diduga pisang telah lama dimanfaatkan terutama bagian tunas dan pelepahnya yang diolah sebagai sayur. Sedangkan pada saat ini bagian-bagian lain dari tanaman pisang pun juga telah dimanfaatkan ( Suyanti dan Supriyadi, 2008 ).

Pisang merupakan tanaman yang berasal dari Asia Tenggara dan kini tanaman pisang telah menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Buah pisang sangat popular dan disukai oleh semua lapisan masyarakat. Pisang yang dikonsumsi segar sebagai buah meja ini berasal dari persilangan alamiah antara Musa acuminate dengan Musa balbisiana yang kini turunannya dikenal lebih dari ratusan jenis pisang, yaitu pisang meja, pisang rebus ( olahan ), dan pisang hias. Adapun jenis dari pisang meja yang terkenal antara lain ambon kuning, ambon hijau ( ambon lumut ), ambon putih dan Cavendish ( Sunarjono, 2006 ).

Tanaman pisang yang dibudidayakan pada umumnya diploid, triploid dan tetraploid. Buah pisang banyak yang tidak berbiji ( partenokarpi ). Jenis pisang yang dikonsumsi segar ( buah meja ) tidak berbiji oleh karena jumlah kromosomnya berlipat tiga ( 3n ) yang disebut dengan istilah triploid. Sedangkan pisang meja yang berbiji ( diploid ) adalah pisang batu ( klutuk ) dan sedikit biji pisang siem dan kapok ( kapok kuning lebih manis daripada kapok putih ) ( Sunarjono, 2006 ).

Pada umumnya pisang ambon mempunyai daging buah yang lunak, rasa daging buahnya manis dan beraroma kuat. Sebagai buah meja pisang ambon dapat digunakan sebagai makanan pemula pada bayi. Adapun berat tiap tandannya berkisar antara 15 – 25 kg yang terdiri dari 8 – 14 sisir dan setiap sisir terdiri dari 14 – 24 buah pisang. Panjang buahnya antara 15 – 20 cm dengan diameter 3 – 4 cm. Selain dikonsumsi sebagai buah segar, jenis pisang ambon ini sangat cocok untuk diolah menjadi sale pisang, sari buah dan selai ( Suyanti dan Supriyadi, 2008 ).

Untuk varietas unggul pisang yang diajurkan untuk pengembangan dalam budidaya adalah pisang ambon kuning, cavendish, raja bulu, dan barangan ( Sunarjono, 2006 ).

Menurut Suyanti dan Supriyadi ( 2008 ) dan Sunarjono ( 2006 ) tanaman pisang pada umumnya selalu diperbanyak secara vegetatif, yaitu dengan menggunakan anakan ( sucker ) yang tumbuh dari bonggolnya Dengan acara pemisahan anakan ini dari satu induk pisang dapat diperoleh sekitar 5 – 10 anakan pertahun ( Imelda, 1991 ). Sedangkan menurut Cahyono ( 1995 ) untuk memperbanyak bibit pisang dapat juga dilakukan dengan cara membelah-belah bonggol dari tanaman pisang ( sesuai dengan jumlah mata tunas yang ada ), dan setiap potongan itu sering disebut dengan istilah bit. Namun menurut Priyono et al., ( 2000 ) kendala pengadaan bibit unggul secara konvensional adalah sulit mendapatkan bibit yang berkualitas dalam jumlah besar dalam waktu yang singkat. Untuk mengatasi kendala tersebut maka pada saat ini tanaman pisang selain dari anakan juga diperbanyak dengan menggunakan kultur jaringan tanaman.

Salah satu alternatif pengadaan bibit pisang secara vegetatif adalah dengan cara kultur jaringan atau kultur in vitro. Kultur jaringan merupakan suatu tehnik penanaman dengan menggunakan satu bagian kecil dari tubuh tanaman yang biasa disebut dengan eksplan. Eksplan dapat berupa sel, jaringan atau organ tumbuhan. Eksplan ditanam pada media tertentu ( media buatan ), serta dalam kondisi aseptic. Dikarenakan ukuran yang kecil, tehnik ini juga disebut dengan istilah teknik mikropropagasi ( Katuuk, 1989 ).

Dengan teknik kultur tunas pucuk secara in vitro, maka pelipat gandaan tunas dapat dilakukan dengan cepat, sehingga dalam waktu satu tahun bisa dihasilkan puluhan sampai ratusan ribu bibit yang berasal dari satu tunas pucuk. Meskipun demikian, daya multiplikasinya dapat bervariasi tergantung pada jenis atau kultivar ( Vuylsteke dan Lenghe, 1984 ). Dengan demikian, masalah keterbatasan bibit dapat diatasi. Keunggulan lain dari bibit hasil teknik in vitro adalah bersih dari hama dan penyakit yang ditimbulkan oleh cendawan atau bakteri, karena diproduksi secara aseptic ( Imelda, 1991 ).

Saat ini teknik perbanyakan tanaman melalui kultur in vitro telah banyak diterapkan pada tanaman pangan industri salah satunya pada tanaman pisang (Musa paradisiaca L.). Para petani penanam pisang sangat menyukai bibit pisang hasil kultur jaringan karena bila dibandingkan dengan bibit asal biji atau anakan biasa, bibit pisang hasil kultur jaringan pertumbuhannya lebih pesat, seragam, dapat disediakan dalam jumlah banyak dengan waktu yang singkat, dan bebas patogen berbahaya ( Avivi dan Ikrarwati, 2004 ).

Dalam kultur jaringan pisang, sampai saat ini yang banyak dikenal adalah kultur dengan eksplan tunas dari bonggol. Sebagai eksplan adalah tunas dari bonggol yang tingginya 5 – 10 cm. dan biasanya kalau eksplannya berupa tunas dari bonggol mengandung bakteri internal seperti Pseudomonas dan Erwinia ( Gunawan, 1995 ).

Pada perbanyakan tanaman hortikultura, dianjurkan melalui tunas aksilair, karena dapat menghasilkan bibit yang true-to-type ( sesuai dengan sifat induknya ). Tunas adventif , terutama yang melalui fase kalus, tidak dianjurkan dalam perbanyakan tanaman hortikultura, kecuali untuk tujuan seleksi dan variasi. Tunas adventif langsung, juga menunjukkan kemungkinan variasi, hanya dalam taraf lebih rendah daripada regenerasi melalui fase kalus ( Gunawan, 1995 ).

Pisang termasuk salah satu jenis tanaman hortikultura. Kultivar pisang yang telah berhasul dikulturkan secara in vitro, antara lain Cavendish ( Matsumoto dan Yamaguchi, 1988; Bhagyalaksmi dan Singh, 1995 ), Dwarf Cavendish ( Vuylsteke dan Langhe, 1984; Banerjee dan Langhe, 1985; Jarret dkk., 1985a; Fitchet dan Winnaar, 1988 ), Ambon ( Hoesen, 1990; Setiyoko, 1995 ), Basrai ( Ganapathi dkk., 1992 ), Maricongo ( Gupta, 1986 ), Poyo ( Mateille dan Foncelle, 1988 ), Saba ( Damasco dan Barba, 1984; Jarret dkk., 1985b ). Dan Willams ( Hamill dkk., 1993 ).

Dari sekian banyak jenis media dasar yang digunakan dalam teknik kultur jaringan, tampaknya media MS (Murashige dan Skoog) mengandung jumlah hara organik yang layak untuk memenuhi kebutuhan banyak jenis sel tanaman dalam kultur (Gunawan, 1990).

Pada kultur in vitro tanaman pisang, ada beberapa macam media dasar yang digunakan. Beberapa contoh resep dasar yang digunakan, yaitu medium dasar Murashige dan Skoog ( MS ) ( Swamy dkk., 1983; Cronauer dan Krikorian, 1984; Alvard dkk., 1993; Setiyoko, 1995 ), media dasar Murashige dan Tucker ( MT ) ( Fitchet dan Winnaar, 1988 ), atau media dasar White ( Ganapathi dkk., 1992 ).

Karena untuk mengumpulkan zat-zat kimia bagi pembuatan suatu media kultur jaringan dibutuhkan biaya besar, juga untuk menimbang dan mencampur bahan-bahan tersebut ternyata cukup banyak menyita waktu, belum lagi ditambah kemungkinan terjadi kesalahan dalam mempersiapkan kultur media tersebut, maka sekarang banyak laboratorium yang menggunakan media kultur siap pakai, yang banyak terdapat dalam perdagangan. Beberapa pabrik sekarang menjual campuran dari bahan kimia penyusun media tersebut, dalam bentuk kering atau serbuk. Sebagai hasil dari pengalaman dalam menanam materi tumbuhan yang cukup banyak macamnya, doctor T. Murashige telah membuat sejumlah formulasi dari media untuk propagasi secara in vitro yang memenuhi kebutuhan masa sekarang. Beberapa industri sekarang telah menjual campuran mineral dan zat organic dari Murashige dan media organic, dengan atau tanpa agar. Juga berbagai formulasi Murashige yang dibuat khusus untuk spesies-species yang biasa dipropagasikan telah terdapat dalam perdagangan. Beberapa jenis media kultur jaringan yang lain juga bisa didapatkan. Untuk membuat media kultur dari campuran serbuk yang siap pakai, dilakukan dengan hanya melarutkan dalam sejumlah tertentu air yang kualitasnya memenuhi persyaratan,lalu menyesuaikan pH-nya, memasukkan dalam wadah-wadah, dan kemudian mensterilkan. ( Wetherell, 1982 )

Menurut Wetherell ( 1982 ) peran sitokinin dalam kultur in vitro mempunyai dua peran penting yaitu merangsang pembelahan sel serta pembentukan dan perbanyakan tunas aksilar dan tunas adventif, tetapi kadar sitokinin yang optimum ini dapat menghambat pertumbuhan dan pembentukan akar. Sitokinin alami yang biasa digunakan adalah zeatin ( 4-hydroksi-3-methyl-trans-2-butenylaminopurine) dan 2-iP ( N6-(2-isopentenyl adenine). Sitokinin buatan meliputi BAP / BA ( 6-benzylaminopurine/benzyladenine ) dan kinetin ( 6-furfurylaminopurine ) ( George dan Sherrington, 1984 ). Kinetin adalah kelompok sitokinin yang berfungsi untuk pengaturan pembelahan sel dan morfogenesis. (Sriyanti dan Wijayani, 1994).

Zat pengatur tumbuh yang sering digunakan untuk merangsang terbentuknya tunas pada kultur in vitro tanaman pisang adalah sitokinin ( BAP ). Konsentrasi yang ditambahkan ke dalam medium berkisar antara 0,7 – 10 mgl-1 ( Damasco dan Barba, 1984; Gupta, 1986; Hoesen, 1990; Widayati, 1992; Hamill dkk., 1993 ). Selain itu, ada juga yang menggunakan kinetin dengan konsentrasi antara 0,7 – 5 mgl-1 ( Gupta, 1986; Fitcher dan Winnaar, 1988; Setiyoko, 1995).

Menurut Surono dan Himawan ( 2009 ) media MS + 8 ppm BAP adalah media yang relative paling optimal untuk memacu terbentuknya akar dan tunas pada eksplan tunas apical tumbuhan pisang barangan, pisang panjang, dan pisang koja. Kemudian Barnejee dan De Langle ( 1985 ) telah berhasil melakukan mikropropagasi beberapa kultivar pisang, misalnya Cavendish dan silk, dengan cara mengkulturkan tunas ujung batang pada medium MS yang dimodifikasi. Pertumbuhan plantlet terbaik adalah dalam medium MS yang dimodifikasi dengan suplemen 0,18 ppm IAA dan 2,3 ppm Benzyladenine ( BA ). Mateille dan Foncelle ( 1988 ), berhasil menstimulasi pertumbuhan tunas aksiler / lateral pisang kultivar Poyo untuk menghasilkan BLB ( Bud Like Body ), dengan cara mengkulturkan tunas tersebut dalam medium MS ditambah 20 % sukrosa dan 22.5 µM BA. Daun dan akar dihasilkan melalui subkultur tunas tersebut dalam medium dasar yang sama, dengan suplemen 10 % sukrosa, tanpa pemberian zat pengatur tumbuh.

Meldia dkk ( 1992 ), menggunakan mata tunas pisang emas sebagai eksplan yang ditanam pada mediim MS padat. Pisang emas menunjukkan respon yang cukup baik ( eksplan segar dan ukurannya bertambah besar ), bila ditanam pada medium inisiasi MS dengan penambahan zat pengatur tumbuh IAA 0,1 – 0,2 ppm dan BAP 3,0 – 4,0 ppm. Setelah 4 minggu dilakukan subkultur ke medium multiplikasi MS dengan penambahan BAP 3,0 – 5,0 ppm. Jumlah tunas yang terbentuk per eksplan, berkisar antara 1,53 – 3,33. Dari penelitian tersebut terlihat bahwa bila konsentrasi BAP semakin meningkat maka jumlah tunas yang terbentuk juga meningkat. Kemudian menurut Avivi dan Ikrarwati ( 2004 ) pada kultur pisang Abaca, pemberian BAP 5 ppm memberi hasil terbaik dengan rata-rata 8,6 tunas mikro per eksplan dan tinggi rata-rata 2,49 cm. Sedangkan untuk induksi tunas dengan media kinetin jumlah tunas terbaik diperoleh pada konsentrasi 7 ppm dengan menghasilkan rata-rata 8,4 tunas mikro per eksplan.

TUJUAN

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui respon eksplan tunas pisang ( Musa paradisiaca L. cv. Ambon ) bila konsentrasi BAP dan Kinetin hanya satu kombinasi.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur In Vitro, CV. Agri Bio Tech, Yogyakarta. Pelaksanaan penelitian lebih kurang selama 3 bulan , dimulai dari bulan September 2009 sampai dengan Desember 2009.

Pisang yang digunakan untuk penelitian ini adalah pisang ambon ( Musa paradisiaca L. cv. Ambon ) yang diambil dari kebun milik CV. Agri Bio Tech, di kampung Jambon Sleman. Bahan yang digunakan untuk eksplan adalah tunas yang sedang tumbuh dari bonggol tumbuhan pisang, dengan diameter antara 5 – 10 cm. Sedangkan medium yang digunakan adalah medium dasar MS (Murashige dan Skoog, 1962) siap pakai buatan Duchefa Biochemie, Belanda. Gula yang ditambahkan adalah gula biasa yang banyak dijual di pasaran umum. Agar yang dipakai adalah agar biasa yang banyak dijual di pasaran umum. Hormon yang diitambahkan adalah BAP 9 ppm dan kinetin. 1 ppm. Medium diatur pH-nya kurang lebih 5,8. Medium dimasukkan ke dalam botol-botol kultur dan disterilkan menggunakan autoclave. (121 ºC, 15 menit).

Tunas tumbuhan pisang dicuci dan disikat sampai bersih dan bagian luar yang kering dan kotor dibuang. Setelah itu direndam dalam air sabun selama 15 menit dan setelah lima belas menit kemudian air sabun dibuang lalu dibilas dengan air mengalir selama 15 menit. Kemudian diambil dan ditiriskan. Kemudian selanjutnya eksplan yang berupa tunas dari bonggol pisang dilakukan sterilisasi dengan cara pembakaran sebanyak tiga kali. Setelah itu eksplan di bawa ke dalam laminar air flow, lalu tunas dari bonggol pisang tersebut diletakkan dalam cawan petri, lalu dikupas lagi dengan menggunakan scalpel hingga diameter bagian dasarnya berukuran 1 - 1,5 cm. Eksplan dipegang dengan menggunakan pinset dan ditanam dalam botol kultur. Satu botol kultur berisi 1 eksplan. Untuk tiap perlakuan menggunakan 5 ulangan. Botol kultur dipelihara dalam ruang kultur, dan diberi penyinaran dengan lampu TL 40 watt secara kontinyu selama 8 jam sehari, pada suhu 26 °C. Penggantian medium dilakukan apabila terjadi pencoklatan pada medium. Pengamatan dilakukan pada minggu ke 2, 4, 6, dan 8 setelah tanam. Pengamatan dilakukan secara kualitatif, yaitu ada tidaknya kalus pada eksplan, tumbuh tidaknya tunas, banyaknya tunas yang tumbuh, dan panjang tunas yang terbentuk.

HASIL

Setelah dilakukan pengamatan ada tidaknya kalus pada eksplan, tumbuh tidaknya tunas, banyaknya tunas yang tumbuh, dan panjang tunas yang terbentuk maka hasilnya bisa dilihat pada tabel 1 sampai dengan tabel 4 di bawah ini :

Tabel 1. Pengamatan pembentukan kalus pada eksplan

Keterangan :

+ = terbentuk kalus

- = tidak terbentuk kalus

Tabel 2.Pengamatan pembentukan tunas pada eksplan

Keterangan :

+ = sudah terbentuk tunas

- = belum terbentuk tunas

Tabel 3.Pengamatan jumlah tunas yang terbentuk pada eksplan

Keterangan :

- = belum terbentuk tunas

Tabel 4.Pengamatan panjang tunas yang terbentuk pada eksplan ( dalam cm )


Pada medium MS yang ditambahkan BAP 9 ppm dan Kinetin 1 ppm memperlihatkan hasil yang bagus, yaitu respon pertumbuhan yang dimulai dengan terbentuknya kalus pada bagian bekas irisan luka di minggu ke dua setelah penanaman eksplan. Hal ini terjadi hampir pada seluruh eksplan yang ditanam. Adapun warna kalus yang terbentuk adalah putih kekuningan dan sifat kalus yang terjadi adalah remah. George dan Sherrington ( 1984 ) menyebutkan bahwa keseimbangan dan interaksi antara auksin dan sitokinin, juga bisa menyebabkan pembentukkan kalus. Demikian juga dengan keseimbangan dan interaksi antara antara zat pengatur tumbuh endogen dan eksogen . Di duga penambahan BAP dan Kinetin mempengaruhi terbentuknya kalus pada eksplan tunas apikal pisang.


Foto. 1. Gambar kalus yang terbentuk pada minggu kedua

Pada pengamatan minggu ke empat setelah penanaman terlihat eksplan sudah mulai membentuk tunas. Pembentukkan tunas ini dimungkinkan karena adanya kandungan sitokinin yang tinggi pada media penanaman eksplan (BAP 9 ppm dan kinetin 1 ppm). Fungsi sitokinin adalah merangsang pembentukan dan perbanyakan tunas aksilar. BAP dan kinetin merupakan zat pengatur tumbuh dari golongan sitokinin, maka proses pembentukan dan perbanyakan tunas dapat berjalan. Pada minggu ke empat, rata-rata tunas yang terbentuk adalah satu tunas dengan rerata panjang tunas 0,5 cm.


Foto. 2. Gambar tunas yang terbentuk pada minggu keempat

Pada minggu keenam setelah penanaman, terjadi penambahan jumlah tunas yang terbentuk, yaitu rerata jumlah tunas yang terbentuk 1,8 tunas dengan panjang rerata tunas yang terbentuk 1,63 cm. Adanya penambahan rerata jumlah tunas yang terbentuk dan rerata panjang tunas yang terbentuk ini menunjukkan adanya pengaruh hormon BAP dan kinetin.


Foto. 3. Gambar multiplikasi tunas yang terbentuk pada minggu keenam

Proses penambahan jumlah dan panjang tunas yang terjadi tidak berhenti di minggu ke enam saja akan tetapi terus berjalan sampai ke minggu ke delapan. Jumlah tunas yang terbentuk maupun panjang tunas yang terbentuk juga semakin bertambah, yaitu rerata tunas yang terbentuk 3 tunas dengan rerata tunas yang terbentuk 3,13 cm. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh zat pengatur tumbuh baik BAP maupun sitokinin masih berjalan.


Foto. 4. Gambar multiplikasi dan pemanjangan tunas yang terbentuk pada minggu kedelapan

Dari pengamatan minggu kedua sampai dengan minggu ke delapan, eksplan baru menunjukkan proses pembentukan, multiplikasi, dan pemanjangan tunas, namun eksplan belum membentuk akar. Hal ini disebabkan dalam media kultur hanya terdapat zat pengatur tumbuh BAP dan kinetin dimana keduanya merupakan zat pengatur tumbuh dari golongan sitokinin yang merangsang pembelahan sel, pembentukan serta perbanyakan tunas aksilar, akan tetapi menghambat proses pembentukan dan pemanjangan akar. Diduga kandungan auksin endogen yang terdapat di dalam eksplan belum cukup untuk merangsang terjadinya pembentukkan akar.

KESIMPULAN

Eksplan tunas pisang ( Musa paradisiaca L. cv. Ambon ) yang ditanam pada media MS + BAP 9 ppm dan Kinetin 1 ppm menunjukkan respon pembentukan tunas dan multiplikasi tunas. Jumlah rerata tunas yang terbentuk adalah 3 tunas dengan rerata panjang tunas 3,13 cm.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Alvard, D., F. Cote and C Teisson, 1993, Comparison of Methodes of Liquid Medium Culture for Banana Micropropagation, Plant Cell, Tissue and Organ Cult., 32, 55 – 60.

[2] Avivi, S. dan Ikrarwati, 2004, Mikropropagasi Pisang Abaca ( Musa textillis, Nee ) melalui teknik Kultur Jaringan, Ilmu Pertanian Vol. II No. 2, 27 – 34.

[3] Banerjee, N. and E. De Langhe., 1985, A Tissue Culture Technique for Rapid Clonal Propagation and Storage Under Minimal Growth Condition of Musa, Plant Cell Reports, 4, 351 – 354.

[4] Bhagyalakshmi and N. S. Singh, 1995, Role of Liquid Versus Agar-gelled Media in Mass Propagation and Ex Vitro Survival in Bananas, Plant Cell, Tissue and Organ Cult, 41, 71 – 73.

[5] Cahyono, B., 1995, Pisang, Budidaya dan Analisis Usahatani Cetakan Pertama, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

[6] Cronauer, S. S. and A. D. Krikorian, 1984, Multiplication of Musa from Excised Stem Tips, Ann. Bot., 53, 321 – 328.

[7] Damasco, O. P. and R. C. Barba, 1984, In Vitro Culture of Saba Banana [ Musa sp. cv. Saba ( BBB ) ] Phil. Agr., 67, 351 – 358.

[8] Fitchet, M. and W. D. Winnaar, 1988, Effect of Sterillants and Nutrient Media on the Establishment of Shoot Tips of Two Banana Cultivars in Culture, Subtropika 9(3), 12 – 16.

[9] Ganapathi, T. R., P. Suprasanna, V. A. Bapat and P. S. Rao, 1992, Propagation of Banana Through Encapsulated Shoot Tips, Plant Cell Rep., 11, 571 – 575.

[10] George, E. F. and P. D. Sherrington., 1984, Plant Propagation by Tissue Culture, Handbook and Directory of Commercial Laboratories, Exegetic Ltd. England, 184-330.

[11] Gunawan, L.W., 1990, Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Laboratorium Kultur Jaringan, Pusat Antar Universitas (PAU) Bioteknologi. IPB, Bogor, 304

[12] Gunawan, L. W., 1995, Teknik Kultur In Vitro Dalam Hortikultura, Cetakan I, PT. Penebar Swadaya, Jakarta, 35, 87.

[13] Gupta, P. P., 1986, Eradication of Mosaic Disease and Rapid Clonal Multiplication of Bananas and Plantains Through Meristem Tip Culture, Plant Cell, Tissue and Organ Cult., 6, 33 – 39.

[14] Hamill, S. D, S. L. Sharrock and M. K. Smith, 1993, Comparison of Decontamination Methods Used In Initiation of Banana Tissue Cultures from Field-Collected Suckers, Plant Cell, Tissue and Organ Cult, 33, 343 – 346.

[15] Hoesen, D. S. H., 1990, Pemberian Zat Pengatur Tumbuh Adenin Dan Benzyl Aminopurine Pada Perbanyakan Tanaman Pisang ( Musa sp ) Kultivar Ambon, Raja Bulu, dan Tanduk Secara In Vitro, Prosiding Seminar Biologi Dasar I, Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi, LIPI, Bogor, 43 – 48.

[16] Imelda, M., 1991, Penerapan Teknologi In Vitro Dalam Penyediaan Bibit Pisang, dalam Prosiding Seminar Bioteknologi Perkebunan dan Lokakarya Biopolimer Untuk Industri, PAU Bioteknologi IPB, Bogor, 72 – 76.

[17] Jarret, R. L., J. B. Fisher and R. E. Litz, 1985a, Organ Formation in Musa Tissue Cultures, J. Plant Physiol, 121, 123 – 130.

[18] Jarret, R. L., W. Rodriguez and R. Fernandez, 1985b, Evaluation, Tissue Culture Propagation, and Dissemination of ‘Saba’ and’Pelipita’ Plantains In Costa Rica, Sci. Hort., 25, 137 – 147.

[19] Katuuk, J. R. P., 1989, Teknik Kultur Jaringan Dalam Mikropropagasi Tanaman, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Perguruan Tinggi, Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, Jakarta, 3 - 6.

[20] Mateille, T. and Foncelle, B., 1988. Micropropagation of Musa AAA cv Poyo in The Ivory Coast, Tropical Agricultural (Trinidad), 65, 325 - 328.

[21] Matsumoto, K. and H. Yamaguchi, 1989, Nonwogen Materials as a Supporting Agent for In Vitro Culture of Banana Protocorm-Like Bodies, Trop. Agric. ( Trinidad ) 66 ( 1 ), 8 – 10.

[22] Meldia, Y., Winarno, M., dan Sunyoto., 1992, Pengaruh IAA dan BAP Terhadap Inisiasi dan Multiplikasi Tunas Pada Beberapa Varietas Pisang Secara In Vitro, Penelitian Hortikultura, 5, 23 - 31.

[23] Priyono, D. Suhandi, dan Matsaleh., 2000, Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh IAA dan 2-IP pada Kultur Jaringan Bakal Buah Pisang, Jurnal Hortikultura. 10 (3) , 183 – 190.

[24] Setiyoko, B., 1995, Kultur Meristem Tanaman Pisang ( Musa paradisiacal L. ) Kultivar Ambon Untuk Memperoleh Tanaman Yang Bebas Dari Cucumber Mosaic Virus, Skripsi, Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta.

[25] Sriyanti, D.P. dan A.Wijayani, 1994, Teknik Kultur Jaringan, Yayasan Kansius. Yogyakarta, 18, 54, 57, 63, 67, 69, 82-83.

[26] Sunarjono, H. Drs., 2006, Berkebun 21 Jenis Tanaman Buah, Penebar Swadaya, Jakarta, 66 - 67.

[27] Surono, A. dan A. Himawan, 2009, Perbanyakan Tiga Kultivar Pisang ( Musa paradisiaca L. ) Menggunakan Medium Murashige dan Skoog (MS) Instan dan Variasi Hormon Benzylaminopuryn ( BAP ), dalam Prosiding Bioteknologi Seminar Nasional Biologi XX dan Kongres Perhimpunan Biologi Indonesia XIV, UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang, 44 - 49.

[28] Suyanti dan A. Supriyadi, 2008, Pisang, Budidaya, Pengolahan, dan Prospek Pasar, Edisi revisi, Penebar Swadaya, Jakarta, 37, 53 – 56.

[29] Swamy, D. R., S. Rao dan E. K. Chacko, 1983, Tissue Culture Propagation Of Banana, Scientica Hortic., 18, 247 – 252.

[30] Vuysteke, D. & E. D. Langhe, 1984, Feasibility of in vitro propagation of bananas and plantains. Trop. Agric. ( Trinidad ) 62(4): 323 – 328.

[31] Wetherel, D. F., 1982, Pengantar Propagasi Tanaman Secara In Vitro, Avery Publishing Group Inc, New Jersey, 51.

[32] Widayati, E., 1992, Laporan Latihan Kultur Jaringan Pisang di Los Banos dan Davao, Philipina, Sub Balai Penelitian Holtikultura, Malang, 6.