Kamis, 28 Januari 2010

PEMANFAATAN SERUM DARAH HEWAN SEBAGAI MEDIA DASAR ALTERNATIF KULTUR JARINGAN ANGGREK

Disusun Oleh :

Eko Agus Suyono (5665/Bi), sekarang sebagai Dosen Kultur Jaringan Fakultas Biologi UGM.

Singgih Tri Wardhana (5513/Bi), sekarang sebagai Dosen Kultur Jaringan FMIPA Universitas Sriwijaya Palembang

Agung Surono  (5555/Bi), sekarang Teknisi dan Sales di Lab. In Vitro CV. Agri Bio Tech Yogyakarta

Telah dipresentasikan pada :

Seminar Akademik Mahasiswa Fakultas Biologi UniversitasGadjah Mada

Pada Tanggal :

14 November 1994

Dengan hasil ditunjuk oleh Team Penilai yang dikoordinatori oleh Drs. Suharyanto, M.Sc untuk mewakili Mahasiswa Fakultas Biologi dalam Seminar Akademik Mahasiswa Kelompok IPTEK.


ABSTRAK

Menurut Katuuk ( 1989 ), budidaya jaringa merupakan suatu tehnik perbanyakan tanaman yang menggunakan sel atau organ atau jaringan tanaman. Sel, organ, atau jaringan tanaman tersebut dikulturkan dalam media tertentu dalam kondisi aseptic. Potongan jaringan atau organ yang dikulturkan ini dinamakan eksplan. Oleh karena kecilnya potongan ini maka tehnik perbanyakan cara ini dinamakan mikropropagasi.

Ide memperbanyak tanaman melalui tehnik budidaya jaringan ini berdasarkan pada prinsip teori sel yang diajukan oleh Schleiden dan Schwann, bahwa tiap-tiap sel mempunyai kemampuan totipotensi dan melakukan seluruh proses hidup. Dari manapun asal sel tersebut jika diletakkan dalam lingkungan yang sesuai, akan dapat tumbuh menjadi tanaman yang sempurna ( Suryowinoto dan Suryowinoto, 1977 ).

Mengingat untuk budidaya jaringan anggrek medium yang baik dipakai selama ini hanya VW dan Knudson C maka perlu dicarikan alternative lain medium untuk budidaya jaringan anggrek. Penggunaan serum darah dapat dijadikan alternative lain tersebut di atas.

Menurut Frandson ( 1981 ) serum darah hewan selain mengandung bahan organic, vitamin, fitohormon, juga unsure-unsur anorganik antara lain : N, P, K, Ca, Mg, Na, Fe, dan Cu. Hal ini didukung oleh pendapat Dukes ( 1955 ) yang menyatakan bahwa komposisi serum darah hewan adalah sangat kompleks antara lain : protein, karbohidrat, substansi nitrogen non protein, substansi anorganik, fitohormon, dan lain-lain. Urine hewan mengandung auksin, sitokinin, dan gibberellin yang merupakan filtrat dari ginjal ( Supriyadi dan Gatot, 1985 ). Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa dalam serum darah hewan juga mengandung senyawa auksin, sitokinin, dan gibberellin.

Berdasarkan kandungan senyawa yang terdapat di dalam serum darah hewan tersebut, dan dengan sejumlah inovasi maka dimungkinkan dapat dibuat suatu medium baru perkecambahan dan medium dasar baru bagi budidaya in vitro ( kultur jaringan ) tanaman anggrek.

BAB. I

PENDAHULUAN

I.1. LATAR BELAKANG

Untuk penelitian ini dipakai anggrek karena nilai ekonominya sangat tinggi, dan perbanyakan baik secara generatif dengan tehnik konvensional baru bisa dilakukan dalam skala kecil karena prosentase perkecambahan yang sangat kecil dan perbanyakan secara vegetatif dengan tehnik konvensional memerlukan banyak tanaman, waktu, dan tempat bila masih melipatgandakan tanaman tersebut secara besar-besaran.

Berdasarkan kesulitan perbanyakan tanaman anggrek secara konvensional baik secara generatif maupun vegetatif maka perlu dicarikan alternative lain. Alternatif tersebut adalah melalui budidaya tumbuhan secara in vitro ( budidaya jaringan ).

Menurut Suryowinoto dan Suryowinoto ( 1977 ), disebutkan bahwa budidaya jaringan sekarang sudah merupakan teknologi bagi beberapatanaman. Budidaya jaringan mampu memperbanyak tanaman secara vegetatif dan besar-besaran. Banyak jenis hybrid tanaman anggrek sudah banyak diperbanyak dengan cara ini.

Salah satu  keberhasilan tehnik budidaya jaringan adalah pemberian nutrisi dalam jumlah dan perbandingan yang sesuai dengan medium budidaya. Medium umumnya terdiri dari garam-garam anorganik yang meliputi unsure hara makro, mikro, dan zat organic yang tidak diketahui secara pasti komposisinya.

Selama ini medium yang sering digunakan untuk budidaya jaringan anggrek adalah VW dan Knudson C ( Suryowinoto dan Suryowinoto, (1977 ) dan Katuuk ( 1989 )). Medium budidaya jaringan Knudson C dapat digunakan untuk medium budidaya jaringan anggrek maupun juga untuk alas makan bagi perkecambahan biji anggrek.

Mengingat untuk budidaya jaringan anggrek medium yang baik dipakai selama ini hanya VW dan Knudson C maka perlu dicarikan medium alternative lain untuk budidaya jaringan anggrek. Penggunaan serum darah dapat dijadikan alternative lain tersebut di atas.

Menurut Frandson ( 1981 ) serum darah hewan selain mengandung bahan organik, vitamin, fitohormon, juga unsure-unsur anorganik antara lain : N, P, K, Ca, Mg, Na, Fe, dan Cu. Hal ini didukung oleh pendapat Dukes ( 1955 ) yang menyatakan bahwa komposisi serum darah hewan adalah sangat kompleks antara lain : protein, karbohidrat, substansi nitrogen non protein, substansi anorganik, fitohormon, dan lain-lain.

Urine hewan mengandung auksin, sitokinin, dan gibberellin yang merupakan filtrate dari ginjal ( Supriyadi dan Gatot, 1985 ), dengan demikian dapat diasumsikan bahwa dalam serum darah hewan juga mengandung senyawa auksin, sitokinin, dan gibberell.

I.2. PERMASALAHAN

Dapatkah serum darah hewan digunakan sebagai medium budidaya jaringan anggrek yang lebih ekonomis dan praktis.

I.3. TUJUAN

Membuat medium untuk budidaya jaringan anggrek yang lebih ekonomis dan praktis dari serum darah hewan.

I.4. HIPOTESA

Serum darah hewan dapat digunakan sebagai medium alternatif budidaya jaringan anggrek.


BAB. II

TINJAUAN PUSTAKA

II. 1. BUDIDAYA JARINGAN

Menurut Katuuk ( 1989 ), budidaya jaringan merupakan suatu tehnik perbanyakan tanaman yang menggunakan sel atau organ atau jaringan tanaman. Sel, organ, dan jaringan tanaman tersebut dikulturkan dalam media tertentu dalam kondisi aseptic. Potongan jaringan atau organ yang dikulturkan ini dinamakan eksplan. Oleh karena kecilnya potongan ini maka tehnik perbanyakan cara ini dinamakan mikropropagasi.

Ide memperbanyak tanaman melalui tehnik budidaya jaringan ini berdasarkan pada prinsip teori sel yang diajukan oleh Schleiden dan Schwann, bahwa riap-tiap sel mempunyai kemampuan totipotensi dan melakukan seluruh proses hidup. Dari manapun asal sel tersebut jika diletakkan dalam lingkungan yang sesuai, akan dapat tumbuh menjadi tanaman yang sempurna ( Suryowinoto dan Suryowinoto, 1977 ).

Bila sel yang berasal dari jaringan yang telah mengalami diferensiasi ditumbuhkan dalam media yang mendukung proliferasi, pertama kali sel akan berubah sifat menjadi meristematis ( Bhojwani dan Razdan, 1983 ). Dan sebagai respon terhadap zat pengatur tumbuh baik eksogenous maupun endogenous, sel akan berkembang menjadi massa yang tidak terorganisir yang disebut kalus ( George dan Sherrington, 1984 )

Menurut Chaplin dalam Street ( 1972 ), kalus biasa terbentuk di tempat irisan, karena jaringan kalus ini merupakan jaringan yang bertujuan untuk menutup luka. Selain itu kalus juga terbentuk pada bagian yang tidak berhubungan dengan media agar, dan tumbuh cepat pada bagian perifer.

Respon pertumbuhan selanjutnya akan diteruskan menuju pembentukan tanaman sempurna ( plantula ). Kemampuan sel untuk membentuk tanaman sempurna, sekalipun sel telah mencapai tahap akhir diferensiasi dalam tubuh tanaman, dikenal sebagai kemampuan totipotensi seluler ( Bhojwani dan Razdan, 1983 ).

II. 2. MEDIA BUDIDAYA

Untuk keberhasilan  budidaya jaringan perlu diperhatikan ketepatan pemberian zat hara dalam media. Hal ini sangat penting sebab perkembangan eksplan hanya tergantung semata-mata pada susunan zat hara yang terlarut dalam media itu ( Katuuk, 1989 ).

Menurut Dodds dan Robert ( 1982 ), komponen-komponen zat hara yang diperlukan adalah sebagai berikut : garam-garam anorganik, vitamin, asam amino, substansi organik kompleks, gula sebagai sumber energi dan zat pengatur tumbuh. Penggunaannya disesuaikan dengan jenis tanaman, jaringan, organ yang akan dikulturkan serta tujuan percobaan.

II. 2. 1. Garam-garam anorganik

Garam-garam anorganik yang diberikan dalam media budidaya jaringan terdiri dari unsur-unsur makronutrien dan mikronutrien.

Unsur makronutrien adalah unsur hara yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah yang cukup besar untuk pertumbuhan. Meliputi unsur : C, H, O, N, P, K, S, Ca, dan Mg. Biasanya nitrogen diberikan dalam bentuk nitrat atau amonium nitrat. Fosfor dalam bentuk KH2PO4. Magnesium dan sulfur dipakai dalam bentuk MgSO4.7H2O, sedangkan potasium dalam bentuk KNO3 dan penambahan CaCl2.2H2O bermaksud untuk menyediakan sumber Ca. Unsur carbon tidak diberikan dalam  bentuk garam anorganik namun didapatkan dari penambahan senyawa gula.

Unsur mikronutrien adalah unsur hara yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah yang sangat sedikit, meskipun demikian tanpa unsur-unsur ini tanaman tidak akan tumbuh normal. Unsur mikro antara lain Fe, Mn, Cu, Zn, B, J, Mo, Co. Unsur-unsur ini adalah komponen protein yang berguna dalam proses metabolisme dan fisiologi tanaman, terutama diperlukan untuk sintesa klorofil dan kelancaran pertumbuhan ( George dan Sherrington, 1984 ).

II. 2. 2. Vitamin

Vitamin menmpunyai fungsi katalitik dalam sistem enzim dan perlukan dalam jumlah kecil. Penambahan ke dalam media bertujuan untuk memacu pertumbuhan jaringan tanaman. Beberapa vitamin yang dapat dipergunakan yaitu thiamin, asam nikotinat, piridoksin ( Gamborg dan Shyluk, 1981 ).

Murashige dan Skoog ( 1962 ) melaporkan bahwa vitamin yang dikombinasikan antara myo-inositol, thiamin, asam nikotinat dan piridoksin kerap digunakan untuk budidaya jaringan dari banyak jenis tanaman ( George dan Sherrington, 1984 ).

II. 2. 3. Asam amino

Kebanyakan jaringan akan tumbuh baik pada media yang mengandung asam amino karena merupakan sumber nitrogen organik yang dpat dipergunakan untuk morfogenesis, menghasilkan energi, berfungsi sebagai prekursor untuk sintesis protein dan biomolekul penting lainnya ( Gamborg dan Shyluk, 1981 ).

Asam amino yang biasanya ditambahkan adalah glisin dan glutamin ( Dixon, 1979 ). Selain itu asparagin, arginin, dan sistein, juga diperlukan ( Dodds dan Robert, 1982 ).

Asam amino tidak penting lagi sebagai komponen media, bila dalam media sudah ada sumber ammonium atau nitrat dari bahan anorganik ( Katuuk, 1989 ).

II. 2. 4. Substansi organik kompleks

Ada beberapa komponen berasal dari bahan hidup yang biasa ditambahkan ke dalam media budidaya. Komponen tersebut antara lain : air kelapa, ekstrak ragi, tomat, pisang, dan lain sebagainya ( Suryowinoto, 1985 ).

Air kelapa sering digunakan untuk mempercepat pertumbuhan kalus atau memudahkan terjadinya regenerasi. Biasanya ditambahkan pada kadar 2 – 15 % ( Gamborg dan Shyluk, 1981 ).

Dari penelitian paling akhir dilaporkan bahwa senyawa yang memiliki sifat mempercepat pertumbuhan dalam air kelapa adalah ribosilzeatin, yang lebih ditegaslkan oleh Standen dan Drewes bahwa ribosilzeatin adalah suatu sitokinin ( Letham, 1974 ).

II. 2. 5. Gula

Gula merupakan bahan kimia organik yang mengandung unsur C, H, dan O. Digunakan sebagai sumber energi di dalam media budidaya jaringan ( George dan Sherrington, 1984 ).

Energi yang diproduksi melalui proses metabolisme gula, digunakan untuk sintesis struktur protoplasmik yang kontinyu dalam multiplikasi sel ( Penso dan Balducci, 1963 ).

Pada tanaman, sukrosa merupakan gula yang biasa dibentuk dalam jaringan daun, diangkut dalam sel-sel floem dan diendapkan dalam jaringan meristematik dan cadangan makanan. Maka dengan mudah dapat dipahami bila sukrosa atau komponen-komponen yang meliputi monosakarida : glukosa dan fruktosa, merupakan sumber energi yang memberikan pertumbuhan terbaik pada kebanyakan budidaya sel tanaman ( Maretzki et al., 1974 ) Konsentrasi untuk sukrosa berkisar 2 – 3 % ( Staba, 1980 ).

II. 2. 6. Zat Pengatur Tumbuh

Zat pengatur tumbuh merupakan senyawa organik yang turut mengatur dan mengkoordinasi proses pertumbuhan dan perkembangan. Biasanya aktif dalam konsentrasi kecil dan diproduksi dalam tubuh tanaman itu sendiri ( endogenous ) ( Wareing dan Phillips, 1976 ).

Dalam budidaya jaringan, proses pertumbuhan dan morfogenesis diatur oleh interaksi antara hormon endogenous dengan zat pengatur tumbuh tanaman yang diberikan ke dalam media ( eksogenous ) ( Katuuk, 1989 ). Umumnya hanya sedikit pertumbuhan yang terjadi tanpa adanya zat pengatur tumbuh. Dengan adanya penambahan zat pengatur tumbuh ke dalam media, akan meningkatkan proses perkembangan jaringan eksplan ( Wareing dan Phillips, 1976 ).

Krishnamoorty ( 1981 ) membagi zat pengatur tumbuh ke dalam 5 kelas yakni : auksin, sitokinin, gibberellin, asam absisat, dan etilen.

Dari semua jenis tersebut auksin dan sitokinin merupakan zat pengatur tumbuh yang paling banyak digunakan ( Gamborg dan Shyluk, 1981 ). Yang termasuk golongan auksin antara lain IAA, NAA, 2,4-D. Sedangkan dari golongan sitokinin adalah kinetin dan BAP. Daya respon yang berbeda terhadap konsentrasi zat pengatur tumbuh ini tergantung pada tipe eksplan dan jenis tanaman ( Pierik, 1987 ).

Auksin dapat menyebabkan perpanjangan sel, pembentangan jaringan, pembentukkan kalus, pembentukkan akar adventif dan menghambat pembentukkan tunas. Sedangkan sitokinin menginduksi pembelahan sel, terutama apabila ditambahkan bersama auksin. Pada konsentrasi tinggi dapat membentuk tunas adventif, namun menghambat pembentukkan akar ( Pierik, 1987 ).

Pemakaian kombinasi auksin dan sitokinin dalam media lebih banyak diperlukan untuk mengatur pertumbuhan dan pembentukkan organ ( Staba, 1980 ). Wareing dan Phillips ( 1976 ) menyatakan bila auksin dan sitokinin diberikan pada waktu bersamaan maka akan menimbulkan terjadinya interaksi, yaitu pengaruh kerjasama yang baik efeknya terhadap pertumbuhan dan perkembangan jaringan dibandingkan bila diberikan satu persatu. Sedangkan menurut Dixon ( 1985 ) produksi kalus dapat pula dirangsang dengan auksin saja. Dan konsentrasi yang tinggi dari auksin tunggal menyebabkan proliferasi sel disertai pembentukkan akar secara spontan.

Derajat organogenesis sangat tergantung pada perbandingan antara sitokinin dan auksin ( Evans, et al., 1981 ). Perbandingan konsentrasi kedua zat pengatur tumbuh ini merupakan faktor penentu bagi bentuk perkembangan yang terjadi  ( Krishnamoorty, 1981 ). Konsentrasi auksin tinggi dengan sitokinin rendah akan menghasilkan pembentukkan kalus, konsentrasi auksin rendah dengan sitokinin yang tinggi menghasilkan morfogenesis tunas, sedangkan auksin tungal atau dengan sitokinin berkadar sangat rendah akan menginisiasi primordial akar ( Evans et al,. 1981 ).

II. 2. 7. Faktor lingkungan

Faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan budidaya jaringan adalah faktor lingkungan. Menurut Gamborg dan Shyluk ( 1981 ), pH merupakan salah satu variabel yang penting. Budidaya jaringan memerlukan pH yang sedikit asam, biasanya optimum berkisar antara 5,5 – 5,8.

Kestabilan pH akan mempengaruhi proses pertumbuhan, hal ini berhubungan dengan ketersediaan unsur hara terlarut yang mudah diserap oleh tanaman. Penambahan chelating agent berupa senyawa Ferri – Na – EDTA sangat diperlukan untuk mempertahankan pH media ( Staba, 1980 ).

II. 3. DARAH HEWAN

Bagi hewan yang masih hidup, darah memiliki peran yang sangat penting untuk kelangsungan hidup, karena darah ikut serta dalam setiap fungsi utama dari tubuh hewan, organ dan dalam setiap jaringan. Selain itu darah berfungsi menangkut nutrisi ke seluruh tubuh, mengangkut O2 dan CO2, membawa hasil akhir metabolisme, dan lain-lain ( Sturkie, 1976 ).

Darah merupakan media transportasi metabolisme tubuh, juga alat dalam mengatur temperatur tubuh, pH, konsentrasi elektrolit dan air, pertahanan untuk melawan infeksi dan luka-luka ( Downey, 1976 ).

Dukes ( 1955 ) mengatakan bahwa fungsi darah antara lain : membawa substansi nutrien dari saluran pencernaan menuju ke jaringan-jaringan, transportasi oksigen dari paru-paru menuju ke seluruh jaringan. Sebagai transportasi sekresi pada kelenjar endokrin, membantu pengaturan kandungan air dalam tubuh, membantu menormalkan suhu tubuh karena darah memiliki suhu yang khas, mengatur konsentrasi ion hidrogen dalam tubuh organisme, membantu meningkatkan ketahanan tubuh melawan mikroorganisme.

Menurut Swenson ( 1975 ) dan Phillips ( 1976 ), dalam darah hewan terdapat dua bagian besar yaitu bagian seluler dan bagian ekstra seluler. Bagian darah yang seluler terdiri atas tiga bagian yaitu : eritrosit, leukosit, dan trombosit. Sedangkan bagian darah yang ekstra seluler merupakan cairan darah.

Plasma dan serum menurut Marshall dan Halnan ( 1946 ) bagian darah yang merupakan cairan yang berwarna kekuningan yang jelas terlihat sewaktu sel-sel darah mengendap di dasar tabung. Selanjutnya dijelaskan bahwa volume serum darah dan plasma darah hewan berkisar 35 % - 50 % dari volume darah keseluruhan, tergantung dari jenis hewannya. Tetapi menurut Fradson ( 1981 ) volume serum darah hewan lebih dari 50 % dari volume darah keseluruhan. Untuk memperoleh serum darah dan plasma darah dapat dilakukan dengan cara darah hewan segar dipusingkan dengan kecepatan 3000 kali per menit, selama 30 menit, kemudian serum darah  dan plasma darah dapat dipisahkan dari endapan darahnya ( Dukes, 1955 ). Menurut Marshall et. al. ( 1948 ) darah bila disentrifus akan terpisah menjadi dua fraksi yang berbeda, yaitu elemen-elemen seluler, yang terdiri dari eritrosit, leukosit, trombosit atau keping darah, plasma dan serum yang mengandung air 91 % - 92 %, protein 7 %, elektrolit, glukosa, enzim, dan hormon. Plasma dan serum darah hewan mengandung 92 % air dan 8 protein, lemak, karbohidrat, garam-garam, minyak, dan bermacam-macam hasil metabolisme ( Marshall et. al., 1948 ). Menurut Scalm ( 1976 ) plasma mengandung beberapa senyawa kimia, yaitu air, gas, protein, glukosa, lemak, substansi non protein, nitrogen, enzim, hormon, vitamin, dan pigmen. Protein plasma terdiri dari 90 % air dan 10 % zat padat. Bahan padat ini terdiri dari 7 % berbagai macam protein dan 0,9 % bahan organik, selebihnya adalah bahan anorganik bukan protein ( Frandson, 1981 ). Selanjutnya Frandson mengatakan bahwa bahan padat organik terdiri dari 7 % protein yang meliputi antibodi, fosfolipid kolesterol glukosa, enzim dan hormon, sedangkan bahan anorganik bukan protein terdiri dari Na, Ca, K, Mg, P, J, Fe, Cu, dan HCO3. Hal serupa diungkapkan oleh Dukes ( 1955 ) yang menyatakan bahwa komposisi pada plasma dan serum darah hewan adalah sangat kompleks. Dukes membagi komposisi plasma dan serum darah hewan menjadi 8 bagian, yaitu : air, gas ( oksigen, karbondioksida, nitrogen ), protein ( albumin, globulin, fibrinogen ), glukosa, laktosa, piruvat, lipida ( fat, lecitin, kolesterol ), substansi nitrogen non protein, substansi anorganik ( sodium, potasium, kalsium, magnesium, besi, klorit, sulfat, mangan, kobalt, couper, seng, iodin, dan lain-lain), enzim, hormon, vitamin-vitamin, pigmen, dan lain-lain.

Salah satu hormon yang terkandung dalam serum darah hewan adalah merupakan hormon pertumbuhan. Menurut Dukes ( 1955 ) darah dipompa oleh jantung, menyerap sari-sari makan dari dinding usus halus, beredar keseluruh tubuh, kemudian masuk ke dalam ginjal dan akhirnya kembali lagi ke jantung. Zat-zat yang tidak dibutuhkan oleh tubuh hewan akan disaring oleh ginjal. Salah satu filtrat oleh ginjal adalah urin. Donosastro ( 1973 ) mengatakan bahwa urin ternyata merupakan suatu substansi yang mengandung auksin yang merupakan hormon pertumbuhan pada tanaman. Menurut Supriyadi dan Gatot ( 1985 ) urin mengandung senyawa-senyawa auksin, sitokinin, dan gibberellin, yang merupakan filtrat dari darah oleh ginjal. Hal ini didukung oleh Dwijoseputro ( 1978 ) yang mengatakan bahwa urin hewan, terutama sehabis makan makanan yang berasal dari tumbuhan, mengandung zat pengatur tumbuh. Karena urin mengandung hormon pertumbuhan, sedangkan urin itu sendiri merupakan filtrat dari darah oleh ginjal, maka dapat disimpulkan bahwa dalam serum darah hewan juga mengandung hormon pertumbuhan.

II. 4. ANGGREK

Sudah lama anggrek dipelihara di mana-mana. Hal ini tidak mengherankan karena bunganya memang sangat indah. Begitu indahnya bunga anggrek sehingga telah sejak jaman dahulu di kalangan rakyat dimana-mana timbul rasa kekaguman itu. Disamping warnanya, anggrek mempunyai daya tarik lain, yaitu baunya yang khas. Dengan bau bunga ini serangga yang jauh tempatnya dapat tertarik, dan mendapatkannya untuk menghisap madunya ( Suryowinoto dan Suryowinoto, 1977 ).

Vanda limbata

Foto : Sulistyono

Melihat perkembangan peranggrekan di Indonesia dewasa ini diharapkan Indonesia akan menjadi negara anggrek, dengan melihat banyaknya jenis anggrek yang terdapat di Indonesia ( Suryowinoto dan Suryowinoto, 1977 ).

Tissue culture sekarang sudah merupakan teknologi bagi beberapa jenis tanaman, khususnya tanaman anggrek. Tidak dapat disangkal lagi bahwa tissue culture mampu memperbanyak tanaman secara vegetatif dan besar-besaran. Banyak jenis hibrid tanaman anggrek sudah dapat diperbanyak dengan cara ini ( Suryowinoto dan Suryowinoto, 1977 ).

BAB. III. 

METODOLOGI PENELITIAN

III. 1. BAHAN 

  1. Serum darah..................................................600 ml
  2. Ca3(PO4)2.................................................... 0,2 gr
  3. Mg.SO4.7H2O...............................................0,25 gr
  4. (NH4)2SO4................................................... 0,5 gr
  5. Ferri tartrat...............................................0,028 gr
  6. Na2EDTA.................................................0,0378 gr
  7. Mikro MS................................................ 0,0378 gr
  8. Air kelapa...................................................150 ml
  9. Sukrosa........................................................20 gr
  10. Agar.............................................................6 gr
  11. Hormon.........................................tergantung tujuan

 III. 2. ALAT

  1. Autoclaf
  2. Erlenmeyer
  3. Gelas mutiara
  4. Sentrifuse
  5. Jarum suntik
  6. Millipore membran bila perlu
  7. Lampu spritus
  8. Laminar air flow
  9. Kapas
  10. Aluminium foil
  11. Kertas sampul
  12. Botol
  13. Kertas pH
  14. Termometer
  15. Neraca analitik
  16. Gelas ukur
  17. Spatula

 III. 3. CARA KERJA

  1. Ditimbang dan ukur semua bahan non serum darah kemudian larutkan dalam air pada gelas erlenmeyer 1000 ml sampai volume 400 ml.
  2. Dipanaskan dan diaduk agar homogen
  3. Disterilisasi dalam autoclaf pada suhu 121ºC dengan tekanan 1 atm selama 15 menit.
  4. Diambil dan dibiarkan sampai suhu 26ºC.
  5. Di dalam laminar air flow, serum darah dimasukkan ke dalam larutan kemudian diaduk sampai homogen dan dituangkan dalam botol-botol dan ditutup dengan aluminium foil.
  6. Media siap untuk ditanami eksplan.

BAB. IV

PEMBAHASAN

Orang telah berusaha untuk mengerti lebih banyak lagi dan berusaha untuk dapat menanam tanaman anggrek ini secara teratur sejak mereka mengenal anggrek. Pada saat ini telah timbul penggemar anggrek dimana-mana, bagaikan jamur di musim penghujan, baik penggemar-penggemar yang bertujuan untuk memperdagangkannya maupun yang bertujuan sebagai hobi saja.

Penggemar anggrek yang dengan tekun mempelajari, memelihara serta mengadakan penelitian-penelitian tahu akan nilai hasil karyanya itu. Betapa bangganya seorang apabila hasil dari suatu percobaannya berhasil.

Alasan penulis untuk membuat medium yang bisa digunakan untuk perkecambahan biji anggrek maupun untuk medium budidaya jaringan anggrek adalah oleh karena biji anggrek itu tidak sama dengan biji tanaman-tanaman berkeping satu ( monokotil ) atau berkeping dua ( dikotil ). Pada tanaman berkeping satu ( monokotil ) atau berkeping dua ( dikotil ) ini bijinya memiliki lembaga atau tunas  yang berguna untuk tumbuh. Selain itu juga mempunyai endosperm sebagai cadangan makanan bagi tunas untuk tumbuh. Sedangkan pada biji anggrek tidak mempunyai lembaga atau tunas serta tidak mempunyai endosperm sebagai cadangan makanan untuk tumbuh. Yang tampak pada biji anggrek adalah protokorm, yaitu sel pada anggrek dimana akar, tunas, dan batangnya tidak dapat dibedakan. Protokorm hanya merupakan jaringan, tetapi dapat tumbuh sebagai kecambah. Oleh karena pada biji anggrek tidak mempunyai endosperm sebagai cadangan makanan untuk tumbuh maka prosentase perkecambahan biji anggrek sangatlah kecil sekali. Untuk memperbesar prosentase perkecambahan biji anggrek perlu dibuatkan alas makanan untuk perkecambahan biji anggrek.

Selain itu pula, oleh karena pada perkembangbiakan tanaman anggrek baik secara generatif maupun secara vegetatif  yang konvensional tidak dapat menghasilkan individu anggrek secara besar-besaran. Dan untuk memperoleh individu anggrek dilakukan dengan cara budidaya jaringan. Maka di sini perlu juga dibuatkan medium yang selain dapat digunakan sebagai alas makanan untuk perkecambahan biji anggrek, juga dapat digunakan sebagai medium untuk budidaya jaringan. Dari sinilah maka penulis berinisiatif untuk melakukan percobaan membuat medium yang bisa untuk perkecambahan biji anggrek dan medium budidaya jaringan anggrek.

Sementara ini medium budidaya jaringan anggrek maupun medium perkecambahan anggrek adalah VW dan Knudson C, maka tidak ada salahnya dibuat suatu medium baru hasil inovasi bahan yang semula terbuang yang sering ditemukan di sekitar lingkungan kita.

Medium tersebut mengandung serum darah hewan sebagai sumber nutrien utama ( makro nutrien ). Dari makro nutrien ini nantinya dikombinasikan dengan mikronutrien dari medium MS. Hal ini sama halnya dengan medium Knudson yang sama-sama menggunakan mikronutrien MS akan tetapi dengan susunan makronutrien yang berbeda.

Dipilih serum darah sebagai sumber makronutrien, karena di dalam serum darah terdapat senyawa-senyawa makronutrien dalam jumlah yang cukup besar, pada volume tertentu prosentasenya mendekati prosentase susunan mikronutrien pada medium Knudson C.

Di samping itu dalam serum darah terdapat sejumlah hormon seperti auksin, sitokinin, dan gibberellin yang sangat dibutuhkan dalam pertumbuhan eksplan.

Meskipun demikian masih diperlukan adanya tambahan hormon atau zat pengatur tumbuh dari luar dengan prosentase yang disesuaikan dengan tujuan eksplan tersebut dikulturkan.

Substansi lainnya yang diperlukan untuk pertumbuhan eksplan juga sama dengan yang diperlukan pada medium-mediumlainnya. Seperti vitamin, sumber gula ( energi ) dan Na-EDTA sebagai larutan buffer serta asam dan basa sebagai pengatur pH medium. Penambahan air kelapa dn substansi organik lainnya juga ada baiknya sebagai sumber bahan organik yang ditambahkan dari luar, disamping air kelapa itu sendiri diduga juga mengandung sitokinin.

Dalam pembuatan medium ini juga diperhatikan masalah sterilisasi bahan, terutama serum darahnya sendiri yang sangat peka terhadap panas yang tinggi. Maka serum darah hewan ini pada pembuatan medium ditambahkan setelah senyawa-senyawa non makronutrien disterilisasi pada autoclaf dan suhu diturunkan sampai dengan 56ºC. Dengan demikian pada suhu tersebut unsur-unsur pada serum darah diharapkan tidak rusak. Cara ini hampir sama dengan yang diterapkan pada pembuatan medium agar darah sebagai medium pertumbuhan mikrobia.

Adapun faktor-faktor lingkungan lain seperti intensitas, cahaya, suhu, kelembaban dan lain sebagainya dapat diatur seperti pada proses kultur jaringan biasa, sesuai dengan tujuan penelitian dan sifat serta jenis eksplan.

BAB. V

KESIMPULAN

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa :

Serum darah sangat mungkin digunakan sebagai media alternatif kultur jaringan anggrek.

BAB. VI

DAFTAR PUSTAKA

Bhojwani, S. S. Dan M. K. Razdan, 1983, Development in Crop Science, Plant Tissue Culture : Teory and Practice, Science Publishing Co. Inc., Amsterdam, Oxford, New York, Tokyo.

Danoesastro, H., 1973, Zat Pengatur Tumbuh dalam Pertanian, Yayasan Pembina Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Dixon, R. A., 1985, Plant Cell Culture : A Practical Approach., IRL Press Limited, Oxford, Washington DC.

Downey, R. S., 1976, The Blood, W. B. Saunders Company, Phyladelphia, Toronto.

Dukes, H., 1955, The Physiology of Domestic Animal, Comstock Publishing Associates, Ithaca, London.

Dwidjoseputro, D., 1983, Pengantar Fisiologi Tumbuhan, PT. Gramedia, Jakarta.

Doods, J. H. and L. W. Robert, 1982, Experiment in Plant Tissue Culture, Cambridge University Press, London.

Evans, D. A., W. R. Sharp. and C. E. Flick, 1981, Growth and Behavior of Cell Culture : Embriogenesis and Organogenesis. Dalam Thorpe, T. A., Plant Tissue Culture, Methodes and Applications in Agriculture Academic Press, New York.

Frandson, R. D., 1981, Anatomy and Physiology of Farm Animals, Edisi III, Lea and Febiger, Phyladelphia.

Gamborg, O. L. and J. P. Shyluk, 1981, Nutrition Media and Charactristics of Plant Cell and Tissue Culture dalam Thorpe, Plant Tissue Culture, Methodes and Applications in Agriculture Academic Press, New York.

George, E. F. and P. D. Sherrington, 1984, Plants Propagation by Tissue Culture, Handbook and Directory of Comercial Laboratories, Eugenetics Ltd., England.

Katuuk, J. R. P., 1989, Teknik Kultur Jaringan dalam Mikropropagasi Tanaman, Dep. P dan K, Jakarta.

Krisnamoorty, H. N., 1981, Plant Growth Substances, Tata Mc Graw Hill Publishing Co. Ltd., New Delhi.

Letham, D. S., 1984, Regulators of Cell Division in Plant Tissue XX, The Cytokinin of Coconut Milk. Physiology of Plant.

Maretzky, A. M. Thom and L. G. Nickell, 1974, Utilization and Metabolism of Carbohydrats in Cell and Callus Cultures dalam Street, H. E., Tissue Culture and Plant Sciece, Academic Press, London.

Marshall, F. H. And E. T. Halnan, 1948, Physiology of Farm Animal, Cambridge at The University Press.

Penso, G. and D. Balducci, 1963, Tissue Cultures in Biological Research, Elsevier Publishing Company, Amsterdam.

Phillips, J. W., 1976, Veterinary Physiology, W. B. Saunders Company, Phyladelphia, Toronto.

Pierik, R. L. M., 1987, In Vitro Culture of Higher Plants, Martinus Nijhoff Publisher, Doldrecht, Netherlands.

Schalm, O. W., N. C. Jain, E. J. Carrol, 1975, Veterinary Hematology, Phyladelphia.

Staba, E. J., 1980, Plant Tissue Culture as a Source of Biochemicals, CRC Press Inc. Baca Raton, Florida.

Street, H. E., 1972, Plant Tissue and Cell Culture, Blackwell Scientific Publication, London.

Sturkie, P. D., 1976, Avian Physiology, Edisi III, W. B. Saunders Company, New York, Heidelberg, Berlin.

Supriyadi dan Gatot, 1985, Analisa Kualitatif IAA, Kinetin, Gibberellin pada Urine Babi, Kambing, Sapi, BPP Jember.

Swenson, M. J., 1975, Dukes Physiology of Domestic Animal, Edisi VIII, Constock Publishing Associates A Division of Cornell University Press, Ithaca, London.

Suryowinoto, M., 1985, Budidaya Jaringan dan Manfaatnya, Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta.

Wareing, P. F. and I. D. J. Phillips, 1976, The Control of Growth and Differentiation in Plants, Pergamon Press, Oxford.

Lampiran 1. Hasil analisa laboratorium serum darah hewan



Rabu, 13 Januari 2010

BEBERAPA ZAT TUMBUH YANG MEMPERCEPAT PEMBENTUKAN KALUS

Naskah Tugas Penunjang Skripsi Mata Kuliah Fitohormon

Disusun oleh :
Nama : Agung Surono
N.I.M : 90/74941/Bi/05555

UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
1995

Daftar Istilah :
2,4-D : 2,4 dichlorophenoxy acetic acid
2,4,5-T : 2,4,5 trichlorophenoxy acetic acid
2Cl-4PU : 2 chloro 4 phenylurea
2,6Cl-4PU : 2,6 chloro 4 phenylurea
BA : Benzyl adenin
BAP : Benzyl amino purin
GA3 : Gibberellic Acid 3
IAA : Indole Acetic Acid
IBA : Indole Butiric Acid
IPA : Isopentenyl adenosine
NAA : Naphtalene acetic acid
pCPA : p- chlorophenoxy acetic acid

BAB. I.
PENDAHULUAN

Budidaya in vitro ( Kultur Jaringan ) merupakan salah satu tehnik perbanyakan tanaman yang menggunakan sel atau organ atau jaringan tanaman dan dikulturkan pada medium tertentu dalam kondisi aseptik. Potongan jaringan atau organ yang dikulturkan ini dinamakan eksplan. Oleh karena kecilnya potongan ini maka tehnik perbanyakan tanaman cara ini dinamakan mikropropagasi ( Katuuk, 1989 ).
Ide memperbanyak tanaman melalui tehnik budidaya aseptik ini didasarkan pada prinsip teori sel yang dikemukakan oleh Schleiden dan Schwann, bahwa tiap-tiap sel mempunyai kemampuan totipotensi dan melakukan seluruh proses hidup. Dari manapun asal sel tersebut jika diletakkan pada lingkungan yang sesuai, akan dapat tumbuh menjadi tanaman yang sempurna ( Suryowinoto dan Suryowinoto, 1977 ).
Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan budidaya in vitro adalah pemberian zat pengatur tumbuh ke dalam medium. Katuuk ( 1989 ) menuliskan bahwa pertumbuhan serta morfogenesis jaringan yang dikulturkan diatur oleh interaksi serta keseimbangan antara zat pengatur tumbuh yang diberikan ke dalam medium ( eksogenous ), serta hormon endogenous.
George and Sherington ( 1984 ) mengenal zat tumbuh ke dalam beberapa kelas, yaitu : auksin, sitokinin, gibberellin, etilen, dan absisin.
Dua kelas pertama dari penyusun di atas sangat penting untuk mengatur pertumbuhan dan morfogenesis pada jaringan tanaman dan kultur organ (George and Sherington, 1984 ).
Auksin, sitokinin, dan gibberellin, menurut Wetherell ( 1988 ) sering digunakan dalam budidaya in vitro, karena mempunyai kemampuan untuk merangsang pertumbuhan eksplan dan mempengaruhi pertumbuhan akar.

BAB. II
TINJAUAN PUSTAKA

II. 1. KALUS

Kerapkali dijumpai bahwa kulit batang yang masih muda, kalau dilukai akan terjadi jaringan penutup luka. Jaringan yang meristematis ini dikenal dengan nama kalus. Kalau merupakan salah satu wujud dari dediferensiasi ( Suryowinoto, 1990 ).
Menurut Katuuk ( 1989 ), kalus adalah jaringan yang tidak berbentuk serta tidak terorganisasi. Jaringan ini adalah hasil pembelahan sel yang berpotensi tinggi untuk terus menerus membelah diri. Sedangkan Wetherell ( 1988 ) mendefinisikan kalus sebagai pertumbuhan sel yang belum terdiferensiasi, membentuk tumor sebagai akibat pengaruh auksin dan sitokinin yang tinggi.
Dalam kultur jaringan, kalus terbentuk disebabkan oleh luka atau irisan eksplan sebagai respon terhadap hormon baik eksogen maupun endogen ( Katuuk, 1989 ).
Dalam budidaya in vitro atau kultur jaringan, menginduksi terbentuknya kalus merupakan salah satu langkah yang penting. Setelah itu diusahakan merangsang agar terjasi diferensiasi, terjadi akar dan tunas ( Suryowinoto, 1990 ).

II. 2. AUKSIN

Auksin merupakan hormon yang diproduksi secara alamiah dalam tumbuh tanaman ( Katuuk, 1989 ). Auksin banyak digunakan dalam kerja mikropropagasi dan bekerja sama dengan medium makanan ( nutrien ) untuk memelihara pertumbuhan kalus, suspensi sel atau organ ( seperti meristem, tunas dan ujung akar ) dan mengatur morfogenesis terutama berkonjugasi dengan sitokinin. Auksin juga mengontrol proses variasi khusus seperti pertumbuhan sel dan pembentangan sel (George and Sherington, 1984 ).
Menurut Koeffli, Thimann, dan Went ( 1966 ), aktivitas auksin ditentukan oleh :
a. Adanya struktur cincin yang tidak jenuh.
b. Adanya rantai keasaman.
c. Pemisahan carboxyl group ( - COOH ) dari struktur cincin.
d. Adanya pengaturan ruangan antara struktur cincin dengan rantai keasaman.
( Abidin, 1985 ).
Peran auksin dalam kultur jaringan menurut Katuuk ( 1989 ), Abidin ( 1985 ), dan George and Sherington (1984 ) adalah sebagai berikut :
a. Merangsang pertumbuhan kalus.
b. Merangsang pembesaran sel.
c. Merangsang pertumbuhan akar.
d. Mengatur morfogenesis.
Auksin alamiah yang ditemukan di dalam eksplan tergantung dari tanaman induk sumber eksplan ( Cassels, 1975 dalam George and Sherington, 1984 ).
Auksin digunakan untuk menginduksi pembelahan sel dan pembentukan kalus. Senyawa yang sangat sering digunakan serta sangat efektik adalah 2,4 D. Auksin yang lain yang digunakan meliputi NAA, IAA, IBA, dan pCPA, MCPA, 2,4,5-T, dicamba, dan picloram ( Thorpe, 1981; George and Sherington, 1984 ).
IAA meninduksi pembelahan sel, tetapi senyawa ini tidak stabil dan dapat diuraikan oleh enzim yang dibebaskan oleh sel. IBA juga merupakan auksin yang ampuh untuk kultur jaringan. Baik 2,4-D maupun NAA amat lambat diuraikan oleh sel tumbuhan, dan stabil pada pemanasan dengan autoklaf ( Wetter dan Constabel, 1991 ).
Untuk menginduksi kalus dari tanaman yang berdaun lebar, 2,4-D yang sering digunakan adalah pada konsentrasi 4,5 – 13,6 μM ( 1,0 – 3,0 mg/l ). Tetapi Mok dan Mok ( 1977 ) mendapatkan bahwa laju pertumbuhan dari kalus pada beberapa spesies dan varietas dari Phaseolus lebih besar bila menggunakan picloram daripada 2,4-D. Picloram aktif pada konsentrasi rendah dengan perbedaan konsentrasi yang besar ( George and Sherington, 1984 ).
Menginduksi kalus dari tanaman monokotil lebih sulit ( sebagian rumput-rumputan dan sereal ), konsentrasi 2,4-D yang sering digunakan adalah 9,0 – 45,2 μM ( 2,0 – 10,0 mg/l ) (George and Sherington, 1984 ).

II. 3. SITOKININ
Bentuk dasar dari sitokinin adalah ” adenin” ( 6-amino purine ) seperti yang digambarkan dalam bentuk rumus bangun seperti di bawah ini :









Adenin merupakan bentuk dasar yang menentukan terhadap aktivitas sitokinin. Di dalam senyawa sitokinin, panjang rantai dan hadirnya suatu ikatan rangkap dalam rantai tersebut, akan meningkatkan aktivitas zat pengatur tumbuh ini ( Wereing dan Phillipe, 1970 dalam Abidin, 1985 ).
Beberapa sitokinin terjadi di dalam sel-sel dari semua organisma, tetapi aktivitas hormon diketahui hanya pada tumbuhan ( Thorpe, 1981 ).
Kinetin telah secara luas digunakan untuk inisiasi dan memelihara pertumbuhan dalam kultur tunas tembakau ( Street, 1972 ). Kinetin atau benzil adenin kadang-kadang dibutuhkan bersama 2,4-D dan NAA untuk mendapatkan pembentukkan kalus yang baik ( Wetter dan Constabel, 1991 ).
Urea seperti 1,3-diphenylurea tidak umum digunakan untuk pengatur tumbuh pada kultur jaringan, tetapi Butenko et al ( 1972 ) menemukan 2 mg/l 1,3-diphenylurea memudahkan organogenesis pada kultur kalus gula bit. Baru-baru ini beberapa N-pyridyl-N'-phenylurea telah ditemukan lebih aktif daripada purin seperti BAP atau zeatin dalam memacu pertumbuhan kalus dan morfogenesis pada tembakau dan beberapa macam tumbuhan yang lain ( George and Sherington, 1984 ).
Dua senyawa yang lebih aktif pada seri ini adalah :
2Cl-4PU dan 2,6Cl-4PU. Phenylurea yang berguna yang lain adalah thidiazuron yang mempunyai persamaan dilaporkan lebih aktif dalam memacu pertumbuhan dari kalus Phaseolus lunatum ( George and Sherington, 1984 ).

 Efek perbandingan pemberian auksin dan sitokinin pada eksplan
 yang ditanam secara kultur jaringan tumbuhan

II. 3. GIBERELLIN
Rove dan Weaver dalam Abidin ( 1985 ) menyatakan bahwa gibberellin merupakan senyawa yang mengandung ”Gibban skeleton” dan perbedaan utama pada gibberellin adalah :
a. Beberapa Gibberellin mempunyai 19 buah atom karbon dan lainnya mempunyai 20 buah atom karbon .
b. Hydroxyl group berada dalam posisi 3 dan 13.
Semua gibberellin dengan 19 atom karbon adalah asam monokarbonat yang mempunyai gugus –COOH pada posisi 7 ( Abidin, 1985 ).
Kultur jaringan tanaman umumnya dapat menyebabkan pertumbuhan dan diferensiasi tanpa gibberellin, walaupun asam gibberellik mungkin menjadi bahan penting dari medium untuk budidaya sel-sel pada kepadatan yang rendah ( Stuart dan Street, 1971 ). Ketika GA3 ditambahkan ke medium kultur, sering menhasilkan akibat yang sama alamiahnya dengan auksin ( George and Sherington, 1984 ).
Konsentrasi tinggi dari GA3 ( lebih dari 5 x 10-6 M; 1 – 8 mg/l ) menyebabkan pertumbuhan dari sel-sel kalus dalam kombinasi dengan auksin dan ukuran sitokinin yang rendah ( Engelke et al, 1973 dalam George and Sherington, 1984 ).
Semua faktor pertumbuhan yang mungkin gibberellin, dihasilkan oleh embrio yang sedang berkembang dari beberapa spesies dan harus dipindahkan ke jaringan endosperm sebelum jaringan endosperm mengalami poliferasi untuk membentuk kalus pada kultur ( George and Sherington, 1984 ).


BAB. III
KESIMPULAN

Berdasarkan dari uraian di depan, maka dapat disimpulkan bahwa :
a. Golongan zat pengatur tumbuh yang dapat memacu pembentukkan kalus secara in vitro
    adalah auksin, sitokinin, dan gibberellin.
b. Dari masing-masing golongan zat pengatur tumbuh di atas, yang paling sering digunakan
    untuk memacu pembentukkan kalus secara in vitro adalah 2,4-D, kinetin dan GA3.


DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z., 1985, Dasar-dasar Pengetahuan tentang Zat Pengatur Tumbuh, Penerbit Angkasa, Bandung, hal : 11 – 56.
George, E. F. And Sherrington, P. D., 1984, Plant Propagation by Tissue Culture, Exergetice Ltd, England, pp. 284 – 309.
Katuuk, R. P. J., 1989, Tehnik Kultur Jaringan dalam Mikropropagasi Tanaman, Departemen P dan K,  Jakarta, hal : 45 -64.
Suryowinoto, S. M., dan M. Suryowinoto, 1977, Perbanyakan Vegetatif pada anggrek, Penerbit Yayasan Kanisius, Yogyakarta, hal : 57.
Suryowinoto, M., 1990, Petunjuk Laboratorium Pemuliaan Tanaman secara In Vitro, Yogyakarta, hal : 38.
Thorpe, A. T., 1981, Plant Tissue Culture Methode and Application in Agriculture, Academic Press Inc, Orlando Florida, pp. 25.
Wetherell, D. F., 1988, Pengantar Propagasi Tanaman secara In Vitro, terjemahan oleh Dra. Koen Sumardiyah, S. U., Apt., IKIP Semarang Press, Semarang, hal : 15, 48-49.
Wetter, L. R., and Constabel, F., 1991, Metode Kultur Jaringan Tanaman, Penerbit ITB, Bandung, hal : 3.