Senin, 22 Februari 2010

MULTIPLIKASI TUNAS PISANG AMBON SECARA IN VITRO DENGAN MENGGUNAKAN MEDIUM MURASHIGE DAN SKOOG DENGAN PENAMBAHAN HORMON BENZYLAMINOPURIN DAN KINETIN


Oleh :

Agung Surono ; Achmad Himawan

CV. AGRI BIO TECH

Jl Jambon No 605, Gang Batan

Jatimulyo, Kricak, Tegalrejo, Yogyakarta 55242

E-mail : agungsurono@yahoo.com, achmadhim@yahoo.com

Telah dipresentasikan pada :

Basic Science Seminar VII

Sabtu, 20 Februari 2010

Ruang MP-1.6 Gedung Fakultas FMIPA Universitas Brawijaya Malang

Jam : 14.00 - 14.30 WIB

Moderator : Dr. Sri Widyarti

ABSTRAK

Pisang (Musa paradisiaca L.) berasal dari hasil silangan alamiah antara Musa acuminata dengan Musa balbisiana, yang kini keturunannya lebih dari ratusan kultivar pisang. Pisang merupakan komoditas hasil pertanian yang memiliki nilai ekonomi tinggi, dan menjadi makanan pokok bagi jutaan penduduk di daerah tropik Afrika. Nilai nutrisi pisang hampir sama dengan kentang kecuali kadar proteinnya yang lebih rendah. Di Indonesia pisang merupakan tanaman buah yang paling banyak dibudidayakan dan dikonsumsi. Di Indonesia dijumpai berbagai macam kultivar pisang, beberapa diantaranya adalah pisang Ambon, Barangan, Raja, Emas, Susu, Kepok dan Tanduk. Dari berbagai macam kultivar pisang tersebut dapat dikelompokkan menjadi 3, yakni pisang meja, pisang rebus ( pisang olahan ) dan pisang hias. Kultivar pisang yang relatif digemari konsumen adalah pisang Ambon, Raja , Barangan, Emas, Susu, Kepok dan Tanduk.

Penelitian-penelitian secara in vitro dalam rangka multiplikasi (perbanyakan) tunas pada beberapa kultivar pisang telah banyak dilakukan. Permasalahan yang dihadapi adalah bagaimana respon eksplan tunas pisang (Musa paradisiaca L. cv. Ambon) bila konsentrasi Benzylaminopurin (BAP) dan Kinetin hanya satu kombinasi saja. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui respon eksplan tunas pisang ( Musa paradisiaca L. cv. Ambon ) bila konsentrasi BAP dan Kinetin hanya satu kombinasi saja.

Penelitian ini menggunakan medium Murashige dan Skoog (MS) instan produk Duchefa, dengan penambahan hormon BAP 9 ppm dan Kinetin 1 ppm. Eksplan yang digunakan adalah tunas pisang ( Musa paradisiaca L. cv. Ambon ). Pengamatan dilakukan pada minggu ke 2, 4, 6, dan 8 setelah tanam. Pengamatan dilakukan secara kualitatif, yaitu ada tidaknya kalus pada eksplan, tumbuh tidaknya tunas, banyaknya tunas yang tumbuh, dan panjang tunas yang terbentuk.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada umumnya kalus yang bersifat remah terbentuk di minggu ke 2 setelah tanam. Tunas tumbuh pada minggu ke 4 setelah tanam. Tunas mengalami proses multiplikasi pada minggu ke 6 setelah tanam. Rata-rata tunas yang terbentuk adalah 3 tunas, dengan panjang rata-rata 3,13 cm.

Kata kunci : Multiplikasi, Pisang, Ambon, Murashige dan Skoog (MS), Benzylaminopurin (BAP), Kinetin

PENDAHULUAN

Tanaman pisang telah ada sejak manusia ada. Namun saat itu pisang masih merupakan tanaman liar yang tidak dibudidayakan, hal ini disebabkan oleh karena manusia pada awal kebudayaan hanya berperan sebagai pengumpul makanan dari alam tanpa perlu untuk menanamnya kembali. Namun setelah kebudayaan pertanian menetap dimulai, pisang termasuk dalam golongan tanaman pertama yang dipelihara ( Suyanti dan Supriyadi, 2008 ).

Di kalangan masyarakat yang tinggal di kawasan Asia Tenggara, diduga pisang telah lama dimanfaatkan terutama bagian tunas dan pelepahnya yang diolah sebagai sayur. Sedangkan pada saat ini bagian-bagian lain dari tanaman pisang pun juga telah dimanfaatkan ( Suyanti dan Supriyadi, 2008 ).

Pisang merupakan tanaman yang berasal dari Asia Tenggara dan kini tanaman pisang telah menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Buah pisang sangat popular dan disukai oleh semua lapisan masyarakat. Pisang yang dikonsumsi segar sebagai buah meja ini berasal dari persilangan alamiah antara Musa acuminate dengan Musa balbisiana yang kini turunannya dikenal lebih dari ratusan jenis pisang, yaitu pisang meja, pisang rebus ( olahan ), dan pisang hias. Adapun jenis dari pisang meja yang terkenal antara lain ambon kuning, ambon hijau ( ambon lumut ), ambon putih dan Cavendish ( Sunarjono, 2006 ).

Tanaman pisang yang dibudidayakan pada umumnya diploid, triploid dan tetraploid. Buah pisang banyak yang tidak berbiji ( partenokarpi ). Jenis pisang yang dikonsumsi segar ( buah meja ) tidak berbiji oleh karena jumlah kromosomnya berlipat tiga ( 3n ) yang disebut dengan istilah triploid. Sedangkan pisang meja yang berbiji ( diploid ) adalah pisang batu ( klutuk ) dan sedikit biji pisang siem dan kapok ( kapok kuning lebih manis daripada kapok putih ) ( Sunarjono, 2006 ).

Pada umumnya pisang ambon mempunyai daging buah yang lunak, rasa daging buahnya manis dan beraroma kuat. Sebagai buah meja pisang ambon dapat digunakan sebagai makanan pemula pada bayi. Adapun berat tiap tandannya berkisar antara 15 – 25 kg yang terdiri dari 8 – 14 sisir dan setiap sisir terdiri dari 14 – 24 buah pisang. Panjang buahnya antara 15 – 20 cm dengan diameter 3 – 4 cm. Selain dikonsumsi sebagai buah segar, jenis pisang ambon ini sangat cocok untuk diolah menjadi sale pisang, sari buah dan selai ( Suyanti dan Supriyadi, 2008 ).

Untuk varietas unggul pisang yang diajurkan untuk pengembangan dalam budidaya adalah pisang ambon kuning, cavendish, raja bulu, dan barangan ( Sunarjono, 2006 ).

Menurut Suyanti dan Supriyadi ( 2008 ) dan Sunarjono ( 2006 ) tanaman pisang pada umumnya selalu diperbanyak secara vegetatif, yaitu dengan menggunakan anakan ( sucker ) yang tumbuh dari bonggolnya Dengan acara pemisahan anakan ini dari satu induk pisang dapat diperoleh sekitar 5 – 10 anakan pertahun ( Imelda, 1991 ). Sedangkan menurut Cahyono ( 1995 ) untuk memperbanyak bibit pisang dapat juga dilakukan dengan cara membelah-belah bonggol dari tanaman pisang ( sesuai dengan jumlah mata tunas yang ada ), dan setiap potongan itu sering disebut dengan istilah bit. Namun menurut Priyono et al., ( 2000 ) kendala pengadaan bibit unggul secara konvensional adalah sulit mendapatkan bibit yang berkualitas dalam jumlah besar dalam waktu yang singkat. Untuk mengatasi kendala tersebut maka pada saat ini tanaman pisang selain dari anakan juga diperbanyak dengan menggunakan kultur jaringan tanaman.

Salah satu alternatif pengadaan bibit pisang secara vegetatif adalah dengan cara kultur jaringan atau kultur in vitro. Kultur jaringan merupakan suatu tehnik penanaman dengan menggunakan satu bagian kecil dari tubuh tanaman yang biasa disebut dengan eksplan. Eksplan dapat berupa sel, jaringan atau organ tumbuhan. Eksplan ditanam pada media tertentu ( media buatan ), serta dalam kondisi aseptic. Dikarenakan ukuran yang kecil, tehnik ini juga disebut dengan istilah teknik mikropropagasi ( Katuuk, 1989 ).

Dengan teknik kultur tunas pucuk secara in vitro, maka pelipat gandaan tunas dapat dilakukan dengan cepat, sehingga dalam waktu satu tahun bisa dihasilkan puluhan sampai ratusan ribu bibit yang berasal dari satu tunas pucuk. Meskipun demikian, daya multiplikasinya dapat bervariasi tergantung pada jenis atau kultivar ( Vuylsteke dan Lenghe, 1984 ). Dengan demikian, masalah keterbatasan bibit dapat diatasi. Keunggulan lain dari bibit hasil teknik in vitro adalah bersih dari hama dan penyakit yang ditimbulkan oleh cendawan atau bakteri, karena diproduksi secara aseptic ( Imelda, 1991 ).

Saat ini teknik perbanyakan tanaman melalui kultur in vitro telah banyak diterapkan pada tanaman pangan industri salah satunya pada tanaman pisang (Musa paradisiaca L.). Para petani penanam pisang sangat menyukai bibit pisang hasil kultur jaringan karena bila dibandingkan dengan bibit asal biji atau anakan biasa, bibit pisang hasil kultur jaringan pertumbuhannya lebih pesat, seragam, dapat disediakan dalam jumlah banyak dengan waktu yang singkat, dan bebas patogen berbahaya ( Avivi dan Ikrarwati, 2004 ).

Dalam kultur jaringan pisang, sampai saat ini yang banyak dikenal adalah kultur dengan eksplan tunas dari bonggol. Sebagai eksplan adalah tunas dari bonggol yang tingginya 5 – 10 cm. dan biasanya kalau eksplannya berupa tunas dari bonggol mengandung bakteri internal seperti Pseudomonas dan Erwinia ( Gunawan, 1995 ).

Pada perbanyakan tanaman hortikultura, dianjurkan melalui tunas aksilair, karena dapat menghasilkan bibit yang true-to-type ( sesuai dengan sifat induknya ). Tunas adventif , terutama yang melalui fase kalus, tidak dianjurkan dalam perbanyakan tanaman hortikultura, kecuali untuk tujuan seleksi dan variasi. Tunas adventif langsung, juga menunjukkan kemungkinan variasi, hanya dalam taraf lebih rendah daripada regenerasi melalui fase kalus ( Gunawan, 1995 ).

Pisang termasuk salah satu jenis tanaman hortikultura. Kultivar pisang yang telah berhasul dikulturkan secara in vitro, antara lain Cavendish ( Matsumoto dan Yamaguchi, 1988; Bhagyalaksmi dan Singh, 1995 ), Dwarf Cavendish ( Vuylsteke dan Langhe, 1984; Banerjee dan Langhe, 1985; Jarret dkk., 1985a; Fitchet dan Winnaar, 1988 ), Ambon ( Hoesen, 1990; Setiyoko, 1995 ), Basrai ( Ganapathi dkk., 1992 ), Maricongo ( Gupta, 1986 ), Poyo ( Mateille dan Foncelle, 1988 ), Saba ( Damasco dan Barba, 1984; Jarret dkk., 1985b ). Dan Willams ( Hamill dkk., 1993 ).

Dari sekian banyak jenis media dasar yang digunakan dalam teknik kultur jaringan, tampaknya media MS (Murashige dan Skoog) mengandung jumlah hara organik yang layak untuk memenuhi kebutuhan banyak jenis sel tanaman dalam kultur (Gunawan, 1990).

Pada kultur in vitro tanaman pisang, ada beberapa macam media dasar yang digunakan. Beberapa contoh resep dasar yang digunakan, yaitu medium dasar Murashige dan Skoog ( MS ) ( Swamy dkk., 1983; Cronauer dan Krikorian, 1984; Alvard dkk., 1993; Setiyoko, 1995 ), media dasar Murashige dan Tucker ( MT ) ( Fitchet dan Winnaar, 1988 ), atau media dasar White ( Ganapathi dkk., 1992 ).

Karena untuk mengumpulkan zat-zat kimia bagi pembuatan suatu media kultur jaringan dibutuhkan biaya besar, juga untuk menimbang dan mencampur bahan-bahan tersebut ternyata cukup banyak menyita waktu, belum lagi ditambah kemungkinan terjadi kesalahan dalam mempersiapkan kultur media tersebut, maka sekarang banyak laboratorium yang menggunakan media kultur siap pakai, yang banyak terdapat dalam perdagangan. Beberapa pabrik sekarang menjual campuran dari bahan kimia penyusun media tersebut, dalam bentuk kering atau serbuk. Sebagai hasil dari pengalaman dalam menanam materi tumbuhan yang cukup banyak macamnya, doctor T. Murashige telah membuat sejumlah formulasi dari media untuk propagasi secara in vitro yang memenuhi kebutuhan masa sekarang. Beberapa industri sekarang telah menjual campuran mineral dan zat organic dari Murashige dan media organic, dengan atau tanpa agar. Juga berbagai formulasi Murashige yang dibuat khusus untuk spesies-species yang biasa dipropagasikan telah terdapat dalam perdagangan. Beberapa jenis media kultur jaringan yang lain juga bisa didapatkan. Untuk membuat media kultur dari campuran serbuk yang siap pakai, dilakukan dengan hanya melarutkan dalam sejumlah tertentu air yang kualitasnya memenuhi persyaratan,lalu menyesuaikan pH-nya, memasukkan dalam wadah-wadah, dan kemudian mensterilkan. ( Wetherell, 1982 )

Menurut Wetherell ( 1982 ) peran sitokinin dalam kultur in vitro mempunyai dua peran penting yaitu merangsang pembelahan sel serta pembentukan dan perbanyakan tunas aksilar dan tunas adventif, tetapi kadar sitokinin yang optimum ini dapat menghambat pertumbuhan dan pembentukan akar. Sitokinin alami yang biasa digunakan adalah zeatin ( 4-hydroksi-3-methyl-trans-2-butenylaminopurine) dan 2-iP ( N6-(2-isopentenyl adenine). Sitokinin buatan meliputi BAP / BA ( 6-benzylaminopurine/benzyladenine ) dan kinetin ( 6-furfurylaminopurine ) ( George dan Sherrington, 1984 ). Kinetin adalah kelompok sitokinin yang berfungsi untuk pengaturan pembelahan sel dan morfogenesis. (Sriyanti dan Wijayani, 1994).

Zat pengatur tumbuh yang sering digunakan untuk merangsang terbentuknya tunas pada kultur in vitro tanaman pisang adalah sitokinin ( BAP ). Konsentrasi yang ditambahkan ke dalam medium berkisar antara 0,7 – 10 mgl-1 ( Damasco dan Barba, 1984; Gupta, 1986; Hoesen, 1990; Widayati, 1992; Hamill dkk., 1993 ). Selain itu, ada juga yang menggunakan kinetin dengan konsentrasi antara 0,7 – 5 mgl-1 ( Gupta, 1986; Fitcher dan Winnaar, 1988; Setiyoko, 1995).

Menurut Surono dan Himawan ( 2009 ) media MS + 8 ppm BAP adalah media yang relative paling optimal untuk memacu terbentuknya akar dan tunas pada eksplan tunas apical tumbuhan pisang barangan, pisang panjang, dan pisang koja. Kemudian Barnejee dan De Langle ( 1985 ) telah berhasil melakukan mikropropagasi beberapa kultivar pisang, misalnya Cavendish dan silk, dengan cara mengkulturkan tunas ujung batang pada medium MS yang dimodifikasi. Pertumbuhan plantlet terbaik adalah dalam medium MS yang dimodifikasi dengan suplemen 0,18 ppm IAA dan 2,3 ppm Benzyladenine ( BA ). Mateille dan Foncelle ( 1988 ), berhasil menstimulasi pertumbuhan tunas aksiler / lateral pisang kultivar Poyo untuk menghasilkan BLB ( Bud Like Body ), dengan cara mengkulturkan tunas tersebut dalam medium MS ditambah 20 % sukrosa dan 22.5 µM BA. Daun dan akar dihasilkan melalui subkultur tunas tersebut dalam medium dasar yang sama, dengan suplemen 10 % sukrosa, tanpa pemberian zat pengatur tumbuh.

Meldia dkk ( 1992 ), menggunakan mata tunas pisang emas sebagai eksplan yang ditanam pada mediim MS padat. Pisang emas menunjukkan respon yang cukup baik ( eksplan segar dan ukurannya bertambah besar ), bila ditanam pada medium inisiasi MS dengan penambahan zat pengatur tumbuh IAA 0,1 – 0,2 ppm dan BAP 3,0 – 4,0 ppm. Setelah 4 minggu dilakukan subkultur ke medium multiplikasi MS dengan penambahan BAP 3,0 – 5,0 ppm. Jumlah tunas yang terbentuk per eksplan, berkisar antara 1,53 – 3,33. Dari penelitian tersebut terlihat bahwa bila konsentrasi BAP semakin meningkat maka jumlah tunas yang terbentuk juga meningkat. Kemudian menurut Avivi dan Ikrarwati ( 2004 ) pada kultur pisang Abaca, pemberian BAP 5 ppm memberi hasil terbaik dengan rata-rata 8,6 tunas mikro per eksplan dan tinggi rata-rata 2,49 cm. Sedangkan untuk induksi tunas dengan media kinetin jumlah tunas terbaik diperoleh pada konsentrasi 7 ppm dengan menghasilkan rata-rata 8,4 tunas mikro per eksplan.

TUJUAN

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui respon eksplan tunas pisang ( Musa paradisiaca L. cv. Ambon ) bila konsentrasi BAP dan Kinetin hanya satu kombinasi.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur In Vitro, CV. Agri Bio Tech, Yogyakarta. Pelaksanaan penelitian lebih kurang selama 3 bulan , dimulai dari bulan September 2009 sampai dengan Desember 2009.

Pisang yang digunakan untuk penelitian ini adalah pisang ambon ( Musa paradisiaca L. cv. Ambon ) yang diambil dari kebun milik CV. Agri Bio Tech, di kampung Jambon Sleman. Bahan yang digunakan untuk eksplan adalah tunas yang sedang tumbuh dari bonggol tumbuhan pisang, dengan diameter antara 5 – 10 cm. Sedangkan medium yang digunakan adalah medium dasar MS (Murashige dan Skoog, 1962) siap pakai buatan Duchefa Biochemie, Belanda. Gula yang ditambahkan adalah gula biasa yang banyak dijual di pasaran umum. Agar yang dipakai adalah agar biasa yang banyak dijual di pasaran umum. Hormon yang diitambahkan adalah BAP 9 ppm dan kinetin. 1 ppm. Medium diatur pH-nya kurang lebih 5,8. Medium dimasukkan ke dalam botol-botol kultur dan disterilkan menggunakan autoclave. (121 ºC, 15 menit).

Tunas tumbuhan pisang dicuci dan disikat sampai bersih dan bagian luar yang kering dan kotor dibuang. Setelah itu direndam dalam air sabun selama 15 menit dan setelah lima belas menit kemudian air sabun dibuang lalu dibilas dengan air mengalir selama 15 menit. Kemudian diambil dan ditiriskan. Kemudian selanjutnya eksplan yang berupa tunas dari bonggol pisang dilakukan sterilisasi dengan cara pembakaran sebanyak tiga kali. Setelah itu eksplan di bawa ke dalam laminar air flow, lalu tunas dari bonggol pisang tersebut diletakkan dalam cawan petri, lalu dikupas lagi dengan menggunakan scalpel hingga diameter bagian dasarnya berukuran 1 - 1,5 cm. Eksplan dipegang dengan menggunakan pinset dan ditanam dalam botol kultur. Satu botol kultur berisi 1 eksplan. Untuk tiap perlakuan menggunakan 5 ulangan. Botol kultur dipelihara dalam ruang kultur, dan diberi penyinaran dengan lampu TL 40 watt secara kontinyu selama 8 jam sehari, pada suhu 26 °C. Penggantian medium dilakukan apabila terjadi pencoklatan pada medium. Pengamatan dilakukan pada minggu ke 2, 4, 6, dan 8 setelah tanam. Pengamatan dilakukan secara kualitatif, yaitu ada tidaknya kalus pada eksplan, tumbuh tidaknya tunas, banyaknya tunas yang tumbuh, dan panjang tunas yang terbentuk.

HASIL

Setelah dilakukan pengamatan ada tidaknya kalus pada eksplan, tumbuh tidaknya tunas, banyaknya tunas yang tumbuh, dan panjang tunas yang terbentuk maka hasilnya bisa dilihat pada tabel 1 sampai dengan tabel 4 di bawah ini :

Tabel 1. Pengamatan pembentukan kalus pada eksplan

Keterangan :

+ = terbentuk kalus

- = tidak terbentuk kalus

Tabel 2.Pengamatan pembentukan tunas pada eksplan

Keterangan :

+ = sudah terbentuk tunas

- = belum terbentuk tunas

Tabel 3.Pengamatan jumlah tunas yang terbentuk pada eksplan

Keterangan :

- = belum terbentuk tunas

Tabel 4.Pengamatan panjang tunas yang terbentuk pada eksplan ( dalam cm )


Pada medium MS yang ditambahkan BAP 9 ppm dan Kinetin 1 ppm memperlihatkan hasil yang bagus, yaitu respon pertumbuhan yang dimulai dengan terbentuknya kalus pada bagian bekas irisan luka di minggu ke dua setelah penanaman eksplan. Hal ini terjadi hampir pada seluruh eksplan yang ditanam. Adapun warna kalus yang terbentuk adalah putih kekuningan dan sifat kalus yang terjadi adalah remah. George dan Sherrington ( 1984 ) menyebutkan bahwa keseimbangan dan interaksi antara auksin dan sitokinin, juga bisa menyebabkan pembentukkan kalus. Demikian juga dengan keseimbangan dan interaksi antara antara zat pengatur tumbuh endogen dan eksogen . Di duga penambahan BAP dan Kinetin mempengaruhi terbentuknya kalus pada eksplan tunas apikal pisang.


Foto. 1. Gambar kalus yang terbentuk pada minggu kedua

Pada pengamatan minggu ke empat setelah penanaman terlihat eksplan sudah mulai membentuk tunas. Pembentukkan tunas ini dimungkinkan karena adanya kandungan sitokinin yang tinggi pada media penanaman eksplan (BAP 9 ppm dan kinetin 1 ppm). Fungsi sitokinin adalah merangsang pembentukan dan perbanyakan tunas aksilar. BAP dan kinetin merupakan zat pengatur tumbuh dari golongan sitokinin, maka proses pembentukan dan perbanyakan tunas dapat berjalan. Pada minggu ke empat, rata-rata tunas yang terbentuk adalah satu tunas dengan rerata panjang tunas 0,5 cm.


Foto. 2. Gambar tunas yang terbentuk pada minggu keempat

Pada minggu keenam setelah penanaman, terjadi penambahan jumlah tunas yang terbentuk, yaitu rerata jumlah tunas yang terbentuk 1,8 tunas dengan panjang rerata tunas yang terbentuk 1,63 cm. Adanya penambahan rerata jumlah tunas yang terbentuk dan rerata panjang tunas yang terbentuk ini menunjukkan adanya pengaruh hormon BAP dan kinetin.


Foto. 3. Gambar multiplikasi tunas yang terbentuk pada minggu keenam

Proses penambahan jumlah dan panjang tunas yang terjadi tidak berhenti di minggu ke enam saja akan tetapi terus berjalan sampai ke minggu ke delapan. Jumlah tunas yang terbentuk maupun panjang tunas yang terbentuk juga semakin bertambah, yaitu rerata tunas yang terbentuk 3 tunas dengan rerata tunas yang terbentuk 3,13 cm. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh zat pengatur tumbuh baik BAP maupun sitokinin masih berjalan.


Foto. 4. Gambar multiplikasi dan pemanjangan tunas yang terbentuk pada minggu kedelapan

Dari pengamatan minggu kedua sampai dengan minggu ke delapan, eksplan baru menunjukkan proses pembentukan, multiplikasi, dan pemanjangan tunas, namun eksplan belum membentuk akar. Hal ini disebabkan dalam media kultur hanya terdapat zat pengatur tumbuh BAP dan kinetin dimana keduanya merupakan zat pengatur tumbuh dari golongan sitokinin yang merangsang pembelahan sel, pembentukan serta perbanyakan tunas aksilar, akan tetapi menghambat proses pembentukan dan pemanjangan akar. Diduga kandungan auksin endogen yang terdapat di dalam eksplan belum cukup untuk merangsang terjadinya pembentukkan akar.

KESIMPULAN

Eksplan tunas pisang ( Musa paradisiaca L. cv. Ambon ) yang ditanam pada media MS + BAP 9 ppm dan Kinetin 1 ppm menunjukkan respon pembentukan tunas dan multiplikasi tunas. Jumlah rerata tunas yang terbentuk adalah 3 tunas dengan rerata panjang tunas 3,13 cm.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Alvard, D., F. Cote and C Teisson, 1993, Comparison of Methodes of Liquid Medium Culture for Banana Micropropagation, Plant Cell, Tissue and Organ Cult., 32, 55 – 60.

[2] Avivi, S. dan Ikrarwati, 2004, Mikropropagasi Pisang Abaca ( Musa textillis, Nee ) melalui teknik Kultur Jaringan, Ilmu Pertanian Vol. II No. 2, 27 – 34.

[3] Banerjee, N. and E. De Langhe., 1985, A Tissue Culture Technique for Rapid Clonal Propagation and Storage Under Minimal Growth Condition of Musa, Plant Cell Reports, 4, 351 – 354.

[4] Bhagyalakshmi and N. S. Singh, 1995, Role of Liquid Versus Agar-gelled Media in Mass Propagation and Ex Vitro Survival in Bananas, Plant Cell, Tissue and Organ Cult, 41, 71 – 73.

[5] Cahyono, B., 1995, Pisang, Budidaya dan Analisis Usahatani Cetakan Pertama, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

[6] Cronauer, S. S. and A. D. Krikorian, 1984, Multiplication of Musa from Excised Stem Tips, Ann. Bot., 53, 321 – 328.

[7] Damasco, O. P. and R. C. Barba, 1984, In Vitro Culture of Saba Banana [ Musa sp. cv. Saba ( BBB ) ] Phil. Agr., 67, 351 – 358.

[8] Fitchet, M. and W. D. Winnaar, 1988, Effect of Sterillants and Nutrient Media on the Establishment of Shoot Tips of Two Banana Cultivars in Culture, Subtropika 9(3), 12 – 16.

[9] Ganapathi, T. R., P. Suprasanna, V. A. Bapat and P. S. Rao, 1992, Propagation of Banana Through Encapsulated Shoot Tips, Plant Cell Rep., 11, 571 – 575.

[10] George, E. F. and P. D. Sherrington., 1984, Plant Propagation by Tissue Culture, Handbook and Directory of Commercial Laboratories, Exegetic Ltd. England, 184-330.

[11] Gunawan, L.W., 1990, Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Laboratorium Kultur Jaringan, Pusat Antar Universitas (PAU) Bioteknologi. IPB, Bogor, 304

[12] Gunawan, L. W., 1995, Teknik Kultur In Vitro Dalam Hortikultura, Cetakan I, PT. Penebar Swadaya, Jakarta, 35, 87.

[13] Gupta, P. P., 1986, Eradication of Mosaic Disease and Rapid Clonal Multiplication of Bananas and Plantains Through Meristem Tip Culture, Plant Cell, Tissue and Organ Cult., 6, 33 – 39.

[14] Hamill, S. D, S. L. Sharrock and M. K. Smith, 1993, Comparison of Decontamination Methods Used In Initiation of Banana Tissue Cultures from Field-Collected Suckers, Plant Cell, Tissue and Organ Cult, 33, 343 – 346.

[15] Hoesen, D. S. H., 1990, Pemberian Zat Pengatur Tumbuh Adenin Dan Benzyl Aminopurine Pada Perbanyakan Tanaman Pisang ( Musa sp ) Kultivar Ambon, Raja Bulu, dan Tanduk Secara In Vitro, Prosiding Seminar Biologi Dasar I, Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi, LIPI, Bogor, 43 – 48.

[16] Imelda, M., 1991, Penerapan Teknologi In Vitro Dalam Penyediaan Bibit Pisang, dalam Prosiding Seminar Bioteknologi Perkebunan dan Lokakarya Biopolimer Untuk Industri, PAU Bioteknologi IPB, Bogor, 72 – 76.

[17] Jarret, R. L., J. B. Fisher and R. E. Litz, 1985a, Organ Formation in Musa Tissue Cultures, J. Plant Physiol, 121, 123 – 130.

[18] Jarret, R. L., W. Rodriguez and R. Fernandez, 1985b, Evaluation, Tissue Culture Propagation, and Dissemination of ‘Saba’ and’Pelipita’ Plantains In Costa Rica, Sci. Hort., 25, 137 – 147.

[19] Katuuk, J. R. P., 1989, Teknik Kultur Jaringan Dalam Mikropropagasi Tanaman, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Perguruan Tinggi, Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, Jakarta, 3 - 6.

[20] Mateille, T. and Foncelle, B., 1988. Micropropagation of Musa AAA cv Poyo in The Ivory Coast, Tropical Agricultural (Trinidad), 65, 325 - 328.

[21] Matsumoto, K. and H. Yamaguchi, 1989, Nonwogen Materials as a Supporting Agent for In Vitro Culture of Banana Protocorm-Like Bodies, Trop. Agric. ( Trinidad ) 66 ( 1 ), 8 – 10.

[22] Meldia, Y., Winarno, M., dan Sunyoto., 1992, Pengaruh IAA dan BAP Terhadap Inisiasi dan Multiplikasi Tunas Pada Beberapa Varietas Pisang Secara In Vitro, Penelitian Hortikultura, 5, 23 - 31.

[23] Priyono, D. Suhandi, dan Matsaleh., 2000, Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh IAA dan 2-IP pada Kultur Jaringan Bakal Buah Pisang, Jurnal Hortikultura. 10 (3) , 183 – 190.

[24] Setiyoko, B., 1995, Kultur Meristem Tanaman Pisang ( Musa paradisiacal L. ) Kultivar Ambon Untuk Memperoleh Tanaman Yang Bebas Dari Cucumber Mosaic Virus, Skripsi, Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta.

[25] Sriyanti, D.P. dan A.Wijayani, 1994, Teknik Kultur Jaringan, Yayasan Kansius. Yogyakarta, 18, 54, 57, 63, 67, 69, 82-83.

[26] Sunarjono, H. Drs., 2006, Berkebun 21 Jenis Tanaman Buah, Penebar Swadaya, Jakarta, 66 - 67.

[27] Surono, A. dan A. Himawan, 2009, Perbanyakan Tiga Kultivar Pisang ( Musa paradisiaca L. ) Menggunakan Medium Murashige dan Skoog (MS) Instan dan Variasi Hormon Benzylaminopuryn ( BAP ), dalam Prosiding Bioteknologi Seminar Nasional Biologi XX dan Kongres Perhimpunan Biologi Indonesia XIV, UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang, 44 - 49.

[28] Suyanti dan A. Supriyadi, 2008, Pisang, Budidaya, Pengolahan, dan Prospek Pasar, Edisi revisi, Penebar Swadaya, Jakarta, 37, 53 – 56.

[29] Swamy, D. R., S. Rao dan E. K. Chacko, 1983, Tissue Culture Propagation Of Banana, Scientica Hortic., 18, 247 – 252.

[30] Vuysteke, D. & E. D. Langhe, 1984, Feasibility of in vitro propagation of bananas and plantains. Trop. Agric. ( Trinidad ) 62(4): 323 – 328.

[31] Wetherel, D. F., 1982, Pengantar Propagasi Tanaman Secara In Vitro, Avery Publishing Group Inc, New Jersey, 51.

[32] Widayati, E., 1992, Laporan Latihan Kultur Jaringan Pisang di Los Banos dan Davao, Philipina, Sub Balai Penelitian Holtikultura, Malang, 6.



Jumat, 12 Februari 2010

PENUMBUHAN BIJI ANGGREK TANPA STERILISASI MEDIA

Oleh : Dr. Indrayana N. S.

Majalah P. A. I. Cabang Surabaya

PENDAHULUAN

Tahap yang paling essensial untuk menumbuhkan biji anggrek ialah sterilisasi ( dekontaminasi ) dari media dan biji tersebut. Hal inilah yang menyebabkan tidak semua penggemar anggrek dapat menyemaikan sendiri hasil dari silangan-silangannya.

Untuk dekontaminasi dari biji anggrek umumnya dipakai Calcium hypoclorite, yang mempunyai kerugian bahwa bahan ini setiap kali harus dibuat baru dan disaring.

Untuk sterilisasi dari media anggrek, sterilisasi umumnya dikerjakan dengan autoclave baik di Laboratorium maupun memakai  pressure cooker di rumah. Sterilisasi dengan memakai pressure cooker tidak praktis apabila diperlukan pembuatan media yang banyak. Karena itu orang berusaha mencari cara untuk membuat suatu media yang steril tanpa autoclave ( pemanasan tekanan tinggi ).

Kontaminasi dari kultur seedling tidak hanya menyebabkan kerugian materiel, tetapi juga kejengkelan maupun keputusasaan bagi peminat pembibitan anggrek.

Memang sudah sifat manusia sebagai makluk Tuhan, ingin mencari cara yang paling mudah, murah dan aman. Sudah sejak tahun 1947 Mc.Alpine mencoba membuat suatu media yang tidak memerlukan autoclave untuk sterilisasi dan dapat digunakan untuk menumbuhkan biji yang tidak disterilisasi. Sayangnya percobaan dari Mc.Alpine ini tidak dilanjutkan, mungkin disebabkan anggapan bahwa Hydrogen peroxide yang digunakannya itu merupakan suatu bahan yang tidak stabil.

Ternyata ketidakstabilannya itu disebabkan karena adanya sejumlah kecil bahan karena ketidak murniannya dan akibat terkena sinar atau panas.

Sekarang dengan metoda pembuatan dan pemberian bahan yang meniadakan aktivitas bahan kontaminasi dapat dibuat suatu larutan yang stabil, meskipun pada pengenceran sampai 3 %, bila terlindung dari pengaruh sinar dalam tempat yang bersih dapat tahan untuk waktu yang lama ( Turner, 1983 ).

Pada tahun 1990 Sharon, Katherin C. T., Jerry A. J., Robert G. Perera dan J. Arditti berhasil membuat media yang tidak memerlukan sterilisasi tetapi hanya cocok untuk seedling dan bakal tunas pada batang bunga Phalaenopsis. Cara yang digunakan ialah menambahkan anticontaminant seperti Benlate, Nystatin, Penicillin G, Gentamycin, Vancomycin HCl, Sodium Omadine, Amphotericin B. Cara ini tentu saja sangat rumit dan mahal sebab tidak mudah mendapatkan bahan-bahan tersebut. Oleh karena itu dicari suatu desinfectan dengan daya kerja biodical umum yang murah, segera tersedia, stabil, tidak toksik untuk anggrek, bahan penguraiannya tidak merusak, dan aman bagi manusia. Bahan yang mempunyai sifat-sifat tersebut di atas adalah Hydrogen peroxide ( H2O2 ) yang mudah didapat dipasaran dengan konsentrasi 3 %.

Pada makalah ini Penulis mencoba melakukan penelitian menggunakan cara yang dilakukan oleh Richard Snow ( 1985 ) karena ternyata bahan-bahan yang dipakai mudah dan murah.

TUJUAN PENELITIAN

Dorongan untuk pengembanagan metode ini ialah menyederhanakan metode penebaran benih anggrek yang konvensional, tidak semua orang dapat mengerjakan sehingga :

[1]    Menggiatkan mereka yang berniat untuk menebarkan sendiri bibit anggrek dirumah.

[2]    Berguna untuk pembudi dayaan anggrek secara komersial.

[3]    Pada akhirnya menguntungkan dalam pelestarian anggrek species.

RASIONALISME :

Di dalam media anggrek, Hydrogen peroxide mungkin akan dipecah menjadi Oxygen dan air. Hampir semua sel hidup mempunyai enzyme catalase atau peroxydase, yang memecah hydrogen peroxide. Enzym ini mungkin adalah mekanisme pertahanan untuk membantu selsel menangkis efek yang merusak dari adanya Hydrogen peroxide yang mungkin diproduksi oleh metabolismenya sendiri atau yang ditemuinya dalam lingkungannya.

Jadi jelaslah bahwa sampai konsentrasi tertentu adanya Hydrogen peroxide di dalam media tidaklah merusak benih anggrek. Berapa kadar yang paling optimum, ini yang harus kita selidiki.

Di dalam media Hydrogen peroxide tidaklah dipecah apabila media tersebut disimpan dalam lemari es. Telah dicoba media berisi 0,1 % Hydrogen peroxide yang disimpan dalam lemari es selama 4 bulan, kemudian diinokulasi dengan sengaja dengan jamur, ternyata tidak terjadi pertumbuhan dari jamur tersebut, sedangkan pada media berisi 0,05 % yang baru dibuat, terjadi pertumbuhan dari jamur tersebut.

CARA KERJA :

Dekontaminasi biji :

Ke dalam botol ( bekas obat suntik ) dari 15 cc dimasukkan sejumlah serbuk biji kira-kira sebesar 3 – 4 butir beras, kemudian ditambahkan 2 cc larutan gula 2 % ( 1 sendok teh dalam 1 cangkir air ). Sekali kali kocok dan biarkan biji itu direndam selama 24 jam. Setelah larutan gula kita buang dengan cara dihisap memakai syringe ( injectie spuit ), kita isi dengan 2 cc larutan Hydrogen peroxide 3 %, kocok setiap 5 menit selama 30 menit, kemudian Hydrogen peroxide itu kita keluarkan dengan menghisap memakai syringe. Biji telah siap untuk ditabur.

Pembuatan media

Membuat media dapat dikerjakan ditempat biasa di dapur tanpa perlindungan khusus, tetapi sebaiknya ruangan yang bersih tak banyak debu. Semua peralatan yang akan kita pakai untuk pembuatan media dibilas dengan larutan PHYSAN 20 dengan konsentrasi 0,03 % ( 3 cc per liter ) kemudian diletakkan terbalik di atas sehelai serbet bersih. Media dibuat seperti biasanya, tetapi sesudah semua agar larut, matikan api kemudian tambahkan 1,7 cc larutan Hydrogen peroxide dari 3 % per liter media. Ini akan menghasilkan konsentrasi dari H2O2 itu dalam media kira-kira 0,005 %. Selagi masih panas media dituang ke dalam botol-botol yang sudah dipersiapkan dan setelah tidak timbul gelembung-gelembung botol ditutup rapat dengan sumbatnya.

Penebaran biji tanpa sterilisasi

Richard Snow telah mencoba untuk menebarkan biji tanpa disterikisasi dahulu ( biji yang telah pecah ) baik dengan biji yang telah direndam dalam air gula selama 24 jam atau dengan biji kering. Biji ditebarkan di udara terbuka pada media dengan beberapa konsentrasi dari H2O2 sampai kadar 0,1 %. Hasilnya pada kadar 0,05 atau kurang ternyata terlalu rendah untuk mencegah pertumbuhan dari jamur, meskipun cukup untuk mencegah pertumbuhan dari bakteri.

HASIL PERCOBAAN

Botol A  - Media G.B. ORCHID I + H2O2 0,005 %.

Botol B  - Media G.B. ORCHID I + H2O2 0,01 %.

Botol C  - Media G.B. ORCHID I + H2O2 0,05 %.

Botol D  - Media G.B. ORCHID I + H2O2 0,1 %.

Masing-masing type botol dibuat 5 botol media. Setelah dibiarkan 3 x 24 jam, diletakkan di tempat yang tidak terkena sinar matahari langsung, ternyata tidak ada satupun dari botol tersebut yang timbul jamur.

                     Lemari entkast untuk menabur biji anggrek

Setelah 3 x 24 jam, biji dari Dendrobium Hybrid ditaburkan baik dalam lemari penabur maupun di udara biasa dan satu botol tanpa dekontaminasi biji.

HASIL


Catatan :

No. 1 – biji didekontaminasi ditebar dalam entkast.

No. 2 – biji sterik ( belum pecah ) ditebar dalam entkast.

No. 3 – biji didekontaminasi ditebar di udara biasa.

No. 4 – biji steril ditebar di udara biasa.

No. 5 – biji tanpa didekontaminasi ditebar dalam entkast.

+++   - hasil tumbuh baik tanpa kontaminasi jamur.

++     - hasil tumbuh cukup tak ada kontaminasi jamur

+       - hasil tumbuh sedikit tak ada kontaminasi jamur.

‘-       - terjadi kontaminasi jamur, biji tak ada yang tumbuh.

KESIMPULAN

Pemakaian Hydrogen peroxide ternyata cukup baik untuk pembuatan media tanpa sterilisasi memakai autoclave. Paling baik ialah apabila biji kita tebarkan sebelum pecah sehingga tidak perlu dilakukan dekontaminasi dari biji, sehingga menghindari kerusakkan biji. Penebaran biji meskipun dapat dilakukan diruangan biasa yang bersih akan tetapi sebaiknya dilakukan di dalam entkast. Dekontaminasi biji dengan 3 % Hydrogen peroxide didahului dengan merendam air gula selama 24 jam ternyata berhasil baik.

Pada media yang mengandung Hydrogen peroxide 0,1 % ternyata dapat dipakai untuk menebarkan biji tanpa dekontaminasi meskipun mungkin tumbuhnya kurang baik untuk beberapa jenis anggrek. Ini perlu penelitian lebih lanjut.

Perlu dikembangkan lebih lanjut menuju kearah pengembang biakan anggrek yang mudah, murah, dan sederhana.

PENUTUP 

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Prof. Dr. Asmino yang telah merangsang penulis untuk melakukan penelitian ini, Kepada Bapak Untung Kumoro yang telah meminjamkan buku-buku dan kepada anda yang telah meluangkan waktu untuk membaca tulisan ini. Semoga semua ini bermanfaat bagi kita semua.

KEPUSTAKAAN

Richard Snow, AOS Bulletin vol 54, No. 2 Februari 1985.

Sharon, Katherin, Jerry, Robert Perera dan J. Arditti M. O. S, Bulletin 1980.