Laman

Rabu, 13 Januari 2010

BEBERAPA ZAT TUMBUH YANG MEMPERCEPAT PEMBENTUKAN KALUS

Naskah Tugas Penunjang Skripsi Mata Kuliah Fitohormon

Disusun oleh :
Nama : Agung Surono
N.I.M : 90/74941/Bi/05555

UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
1995

Daftar Istilah :
2,4-D : 2,4 dichlorophenoxy acetic acid
2,4,5-T : 2,4,5 trichlorophenoxy acetic acid
2Cl-4PU : 2 chloro 4 phenylurea
2,6Cl-4PU : 2,6 chloro 4 phenylurea
BA : Benzyl adenin
BAP : Benzyl amino purin
GA3 : Gibberellic Acid 3
IAA : Indole Acetic Acid
IBA : Indole Butiric Acid
IPA : Isopentenyl adenosine
NAA : Naphtalene acetic acid
pCPA : p- chlorophenoxy acetic acid

BAB. I.
PENDAHULUAN

Budidaya in vitro ( Kultur Jaringan ) merupakan salah satu tehnik perbanyakan tanaman yang menggunakan sel atau organ atau jaringan tanaman dan dikulturkan pada medium tertentu dalam kondisi aseptik. Potongan jaringan atau organ yang dikulturkan ini dinamakan eksplan. Oleh karena kecilnya potongan ini maka tehnik perbanyakan tanaman cara ini dinamakan mikropropagasi ( Katuuk, 1989 ).
Ide memperbanyak tanaman melalui tehnik budidaya aseptik ini didasarkan pada prinsip teori sel yang dikemukakan oleh Schleiden dan Schwann, bahwa tiap-tiap sel mempunyai kemampuan totipotensi dan melakukan seluruh proses hidup. Dari manapun asal sel tersebut jika diletakkan pada lingkungan yang sesuai, akan dapat tumbuh menjadi tanaman yang sempurna ( Suryowinoto dan Suryowinoto, 1977 ).
Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan budidaya in vitro adalah pemberian zat pengatur tumbuh ke dalam medium. Katuuk ( 1989 ) menuliskan bahwa pertumbuhan serta morfogenesis jaringan yang dikulturkan diatur oleh interaksi serta keseimbangan antara zat pengatur tumbuh yang diberikan ke dalam medium ( eksogenous ), serta hormon endogenous.
George and Sherington ( 1984 ) mengenal zat tumbuh ke dalam beberapa kelas, yaitu : auksin, sitokinin, gibberellin, etilen, dan absisin.
Dua kelas pertama dari penyusun di atas sangat penting untuk mengatur pertumbuhan dan morfogenesis pada jaringan tanaman dan kultur organ (George and Sherington, 1984 ).
Auksin, sitokinin, dan gibberellin, menurut Wetherell ( 1988 ) sering digunakan dalam budidaya in vitro, karena mempunyai kemampuan untuk merangsang pertumbuhan eksplan dan mempengaruhi pertumbuhan akar.

BAB. II
TINJAUAN PUSTAKA

II. 1. KALUS

Kerapkali dijumpai bahwa kulit batang yang masih muda, kalau dilukai akan terjadi jaringan penutup luka. Jaringan yang meristematis ini dikenal dengan nama kalus. Kalau merupakan salah satu wujud dari dediferensiasi ( Suryowinoto, 1990 ).
Menurut Katuuk ( 1989 ), kalus adalah jaringan yang tidak berbentuk serta tidak terorganisasi. Jaringan ini adalah hasil pembelahan sel yang berpotensi tinggi untuk terus menerus membelah diri. Sedangkan Wetherell ( 1988 ) mendefinisikan kalus sebagai pertumbuhan sel yang belum terdiferensiasi, membentuk tumor sebagai akibat pengaruh auksin dan sitokinin yang tinggi.
Dalam kultur jaringan, kalus terbentuk disebabkan oleh luka atau irisan eksplan sebagai respon terhadap hormon baik eksogen maupun endogen ( Katuuk, 1989 ).
Dalam budidaya in vitro atau kultur jaringan, menginduksi terbentuknya kalus merupakan salah satu langkah yang penting. Setelah itu diusahakan merangsang agar terjasi diferensiasi, terjadi akar dan tunas ( Suryowinoto, 1990 ).

II. 2. AUKSIN

Auksin merupakan hormon yang diproduksi secara alamiah dalam tumbuh tanaman ( Katuuk, 1989 ). Auksin banyak digunakan dalam kerja mikropropagasi dan bekerja sama dengan medium makanan ( nutrien ) untuk memelihara pertumbuhan kalus, suspensi sel atau organ ( seperti meristem, tunas dan ujung akar ) dan mengatur morfogenesis terutama berkonjugasi dengan sitokinin. Auksin juga mengontrol proses variasi khusus seperti pertumbuhan sel dan pembentangan sel (George and Sherington, 1984 ).
Menurut Koeffli, Thimann, dan Went ( 1966 ), aktivitas auksin ditentukan oleh :
a. Adanya struktur cincin yang tidak jenuh.
b. Adanya rantai keasaman.
c. Pemisahan carboxyl group ( - COOH ) dari struktur cincin.
d. Adanya pengaturan ruangan antara struktur cincin dengan rantai keasaman.
( Abidin, 1985 ).
Peran auksin dalam kultur jaringan menurut Katuuk ( 1989 ), Abidin ( 1985 ), dan George and Sherington (1984 ) adalah sebagai berikut :
a. Merangsang pertumbuhan kalus.
b. Merangsang pembesaran sel.
c. Merangsang pertumbuhan akar.
d. Mengatur morfogenesis.
Auksin alamiah yang ditemukan di dalam eksplan tergantung dari tanaman induk sumber eksplan ( Cassels, 1975 dalam George and Sherington, 1984 ).
Auksin digunakan untuk menginduksi pembelahan sel dan pembentukan kalus. Senyawa yang sangat sering digunakan serta sangat efektik adalah 2,4 D. Auksin yang lain yang digunakan meliputi NAA, IAA, IBA, dan pCPA, MCPA, 2,4,5-T, dicamba, dan picloram ( Thorpe, 1981; George and Sherington, 1984 ).
IAA meninduksi pembelahan sel, tetapi senyawa ini tidak stabil dan dapat diuraikan oleh enzim yang dibebaskan oleh sel. IBA juga merupakan auksin yang ampuh untuk kultur jaringan. Baik 2,4-D maupun NAA amat lambat diuraikan oleh sel tumbuhan, dan stabil pada pemanasan dengan autoklaf ( Wetter dan Constabel, 1991 ).
Untuk menginduksi kalus dari tanaman yang berdaun lebar, 2,4-D yang sering digunakan adalah pada konsentrasi 4,5 – 13,6 μM ( 1,0 – 3,0 mg/l ). Tetapi Mok dan Mok ( 1977 ) mendapatkan bahwa laju pertumbuhan dari kalus pada beberapa spesies dan varietas dari Phaseolus lebih besar bila menggunakan picloram daripada 2,4-D. Picloram aktif pada konsentrasi rendah dengan perbedaan konsentrasi yang besar ( George and Sherington, 1984 ).
Menginduksi kalus dari tanaman monokotil lebih sulit ( sebagian rumput-rumputan dan sereal ), konsentrasi 2,4-D yang sering digunakan adalah 9,0 – 45,2 μM ( 2,0 – 10,0 mg/l ) (George and Sherington, 1984 ).

II. 3. SITOKININ
Bentuk dasar dari sitokinin adalah ” adenin” ( 6-amino purine ) seperti yang digambarkan dalam bentuk rumus bangun seperti di bawah ini :









Adenin merupakan bentuk dasar yang menentukan terhadap aktivitas sitokinin. Di dalam senyawa sitokinin, panjang rantai dan hadirnya suatu ikatan rangkap dalam rantai tersebut, akan meningkatkan aktivitas zat pengatur tumbuh ini ( Wereing dan Phillipe, 1970 dalam Abidin, 1985 ).
Beberapa sitokinin terjadi di dalam sel-sel dari semua organisma, tetapi aktivitas hormon diketahui hanya pada tumbuhan ( Thorpe, 1981 ).
Kinetin telah secara luas digunakan untuk inisiasi dan memelihara pertumbuhan dalam kultur tunas tembakau ( Street, 1972 ). Kinetin atau benzil adenin kadang-kadang dibutuhkan bersama 2,4-D dan NAA untuk mendapatkan pembentukkan kalus yang baik ( Wetter dan Constabel, 1991 ).
Urea seperti 1,3-diphenylurea tidak umum digunakan untuk pengatur tumbuh pada kultur jaringan, tetapi Butenko et al ( 1972 ) menemukan 2 mg/l 1,3-diphenylurea memudahkan organogenesis pada kultur kalus gula bit. Baru-baru ini beberapa N-pyridyl-N'-phenylurea telah ditemukan lebih aktif daripada purin seperti BAP atau zeatin dalam memacu pertumbuhan kalus dan morfogenesis pada tembakau dan beberapa macam tumbuhan yang lain ( George and Sherington, 1984 ).
Dua senyawa yang lebih aktif pada seri ini adalah :
2Cl-4PU dan 2,6Cl-4PU. Phenylurea yang berguna yang lain adalah thidiazuron yang mempunyai persamaan dilaporkan lebih aktif dalam memacu pertumbuhan dari kalus Phaseolus lunatum ( George and Sherington, 1984 ).

 Efek perbandingan pemberian auksin dan sitokinin pada eksplan
 yang ditanam secara kultur jaringan tumbuhan

II. 3. GIBERELLIN
Rove dan Weaver dalam Abidin ( 1985 ) menyatakan bahwa gibberellin merupakan senyawa yang mengandung ”Gibban skeleton” dan perbedaan utama pada gibberellin adalah :
a. Beberapa Gibberellin mempunyai 19 buah atom karbon dan lainnya mempunyai 20 buah atom karbon .
b. Hydroxyl group berada dalam posisi 3 dan 13.
Semua gibberellin dengan 19 atom karbon adalah asam monokarbonat yang mempunyai gugus –COOH pada posisi 7 ( Abidin, 1985 ).
Kultur jaringan tanaman umumnya dapat menyebabkan pertumbuhan dan diferensiasi tanpa gibberellin, walaupun asam gibberellik mungkin menjadi bahan penting dari medium untuk budidaya sel-sel pada kepadatan yang rendah ( Stuart dan Street, 1971 ). Ketika GA3 ditambahkan ke medium kultur, sering menhasilkan akibat yang sama alamiahnya dengan auksin ( George and Sherington, 1984 ).
Konsentrasi tinggi dari GA3 ( lebih dari 5 x 10-6 M; 1 – 8 mg/l ) menyebabkan pertumbuhan dari sel-sel kalus dalam kombinasi dengan auksin dan ukuran sitokinin yang rendah ( Engelke et al, 1973 dalam George and Sherington, 1984 ).
Semua faktor pertumbuhan yang mungkin gibberellin, dihasilkan oleh embrio yang sedang berkembang dari beberapa spesies dan harus dipindahkan ke jaringan endosperm sebelum jaringan endosperm mengalami poliferasi untuk membentuk kalus pada kultur ( George and Sherington, 1984 ).


BAB. III
KESIMPULAN

Berdasarkan dari uraian di depan, maka dapat disimpulkan bahwa :
a. Golongan zat pengatur tumbuh yang dapat memacu pembentukkan kalus secara in vitro
    adalah auksin, sitokinin, dan gibberellin.
b. Dari masing-masing golongan zat pengatur tumbuh di atas, yang paling sering digunakan
    untuk memacu pembentukkan kalus secara in vitro adalah 2,4-D, kinetin dan GA3.


DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z., 1985, Dasar-dasar Pengetahuan tentang Zat Pengatur Tumbuh, Penerbit Angkasa, Bandung, hal : 11 – 56.
George, E. F. And Sherrington, P. D., 1984, Plant Propagation by Tissue Culture, Exergetice Ltd, England, pp. 284 – 309.
Katuuk, R. P. J., 1989, Tehnik Kultur Jaringan dalam Mikropropagasi Tanaman, Departemen P dan K,  Jakarta, hal : 45 -64.
Suryowinoto, S. M., dan M. Suryowinoto, 1977, Perbanyakan Vegetatif pada anggrek, Penerbit Yayasan Kanisius, Yogyakarta, hal : 57.
Suryowinoto, M., 1990, Petunjuk Laboratorium Pemuliaan Tanaman secara In Vitro, Yogyakarta, hal : 38.
Thorpe, A. T., 1981, Plant Tissue Culture Methode and Application in Agriculture, Academic Press Inc, Orlando Florida, pp. 25.
Wetherell, D. F., 1988, Pengantar Propagasi Tanaman secara In Vitro, terjemahan oleh Dra. Koen Sumardiyah, S. U., Apt., IKIP Semarang Press, Semarang, hal : 15, 48-49.
Wetter, L. R., and Constabel, F., 1991, Metode Kultur Jaringan Tanaman, Penerbit ITB, Bandung, hal : 3.

19 komentar:

  1. trims bwt sharing ilmunya pak..
    ada yg ingin sy tanyakan soal kalus, apa semua kalus bisa menumbuhkan sesuatu, dalam artian berdiferensiasi? apa hanya kalus2 yang organogenik dan embriogenik saja yang bisa?

    BalasHapus
  2. Pada prinsipnya semua kalus bisa berdiferensiasi hanya yang mudah berdifferensiasi adalah kalus yang remah sedangkan kalus yang kompak agak sulit berdifferensiasi. Kalus organogenik dan embriogenik khan asalnya juga dari kalus penutup luka hanya saja karena arahan dari ZPT yang kita berikan maka berdifferensiasi menjadi 2 macam kalus tadi. Terima kasih.

    BalasHapus
  3. mo tanya neh,
    saya punya herbisida, dengan isi 45% 2,4D isobutil ester, yang tertulis setara dengan 36% 2,4 D

    apakah bisa digunakan sebagai auksin ?

    BalasHapus
  4. Ya bisa digunakan sebagai auksin, hanya itu 2,4 D sifatnya commersial grade. Nah sekarang tujuannya mau digunakan untuk apa kalau sekedar sebagai herbisida bisa karena 2,4 D adalah golongan auksin yang digunakan untuk memberantas tanaman herba berdaun lebar. Nah kalau untuk memacu akar mungkin bisa akan tetapi kurang begitu jos. Demikian pula kalau untuk memacu kalus. Sebenarnya 2,4 D per gramnya murah kok kita aja menjaualnya pergramnya hanya 3 ribu rupiah dan itu bisa untuk dibuat larutan 2,4 D 1 mg/ml sebanyak 1 liter. Nah kalau hanya mau larutan 2,4 D dengan konsentrasi 10 ppm bisa jadi sebanyak 100 liter. Dan itu kualitasnya tissue culture test grade. Jadi kita kalau mau pakai alternatif juga harus memperhitungkan pula grade bahannnya dan harganya kalau seperti ini ya mending pakai yang asli aja kalau harga alternatifnya tidak jauh beda. Kita kalau pakai bahan subtitusi susahnya kita harus memperhitungkan secara teliti.

    BalasHapus
  5. saya mo nanya?medium yg baik itu medium yg bgaimn?
    trus jarak konsntrasi yg baik untuk pmberian 2,4-D dan BAP itu brp smpai brp?tq

    BalasHapus
  6. Medium kultur jaringan itu baik semua tidak bisa disebut ini yang paling baik. Kenapa demikian karena setiap jenis tumbuhan ada spesifikasi tersendiri. Akan tetapi pada umumnya medium kultur jaringan yang umum dipakai adalah medium kultur jaringan Murashige and Skoog karena medium ini bisa digunakan untuk hampir semua jenis tumbuhan. Dan banyak medium kultur jaringan yang basic resepnya dari medium ini hanya lalu dimodifikasi sana-sini komposisi bahan kimia dan kadarnya. Lalu untuk tanaman berkayu biasanya pakai WPM( Woody plant medium) lalu untuk anggrek berupa medium VW atau Knudson C dan untuk tanaman padi dipakai media Kao dan lain sebagainya. 2,4 D pada medium kultur jaringan sangat baik untuk induksi kalus daripada kalau kita menggunakan PCPA atau 2,4,5 T. Sedangkan untuk pemberian 2,4 D jarak konsentrasi 4,5 sd 13,6 μM (1,0 sd 3,0 mg/liter) untuk tumbuhan berdaun lebar. Sedangkan untuk menginduksi kalus dari tumbuhan monokotil yaitu sebagian rumput-rumputan dan sereal konsentrasi 2,4 D yang sering digunakan adalah 9,0 sd 45,2 μM ( 2,0 sd 10,0 mg/liter) dan 2,4 D sifatnya tahan terhadap panas pada saat autoclaf jadi tidak masalah pemberian hormonnya sebelum media diautoclaf. Sebagai catatan kalau penggunaan 2,4 D ini pada konsentrasi tinggi atau terlalu lama di medium yang mengandung 2,4 D maka tumbuhan yang kita tanam bisa mengalami mutasi yaitu akan munculnya tumbuhan yang albino/bule. Maka dari itu penggunaan 2,4 D sedapat mungkin dihindari untuk kultur tanaman berkayu. Dan untuk BAP rentang konsentrasinya antara 1,0 sd 10 μM atau dalam literatur lain disebutkan antara 0,7 sd 10 mg/liter.

    BalasHapus
  7. Halo pak agung, bagaimana dengan zat yang bernama colcicine. tentang sifat,efek dan dosisnya??

    terima kasih

    BalasHapus
  8. Hallo Pak Harris ini jawaban untuk anda tentang kolkisin. Kolkisin adalah suatu alkaloid yang terdapat pada umbi tanaman Colchicum automale Linn yang termasuk dalam familia Liliaceae. Dan tanaman ini banyak terdapat di sebelah timur laut Laut Hitam. Dan nama kolkisin diambil dari suatu nama daerah di sebelah timur laut Laut Hitam tersebut. Kristal kolkisin murni C22H25O6N berbentuk jarum yang hampir tidak berwarna, kolkisin mudah larut dalam kloroform, alkohol, atau air dingin, akan tetapi sulit larut dalam air panas atau benzene dingin dan hampir tidak dapat larut dalam eter. Kolkisin walaupun berbentuk lapisan-lapisan endapan dengan banyak pereaksi biasa yang bersifat alkaloid, klasifikasinya sebagai salah satu golongan alkaloid masih diragukan. Senyawa kolkisin ini berpengaruh pada nukleus yang sedang membelah, di mana pada konsentrasi yang kritis mencegah terbentuknya benag-benang gelendong (spindel), sehingga pemisahan kromosom pada anafase dari mitosis tidak berlangsung dan menyebabkan terjadinya penggandaan kromosom tanpa pembentukan dinding sel. Ada dua dasar terhadap seringnya digunakan kolkisin untuk menciptakan tanaman poliploid, yaitu :
    Kolkisin sangat efektif untuk membuat poliploidi pada beberapa species tanaman. Hal ini disebabkan larutan kolkisin di dalam air mempunyai kemampuan tinggi untuk diserap oleh tanaman.
    Dapat dengan mudah digunakan pada tanaman dengan resiko kegagalan yang sangat kecil.
    Kolkisin dapat diberikan dalam bentuk cair, emulsi dengan agar atau lanolin. Dalam bentuk emulsi dengan disemprotkan pada titik tumbuh tanaman dan dalam bentuk cairan dengan diteteskan atau dibungkus dengan kapas yang diberi larutan kolkisin, atau dapat pula dengan pencelupan total pada tanaman muda. Kolkisin yang dipekatkan dalam pasta lanolin dioleskan pada titik tumbuh bibit. Salah satu metode tyang paling tepat ialah dengan pengecambahan biji dalam larutan kolkisin dan untuk mengetahui hasilnya biji tersebut ditanam setelah perlakuan perkecambahan. Menurut Hayer dan Gardner tahun 1955 konsentrasi kolkisin yang berhasil digunakan bervariasi dari 0,0006 % sampai 1 % dengan lama perendaman bervariasi antara 1 sd 6 hari tergantung jenis benihnya. Benih yang lambat berkecambah umumnya memerlukan waktu perendaman lebih lama pula. Menurut Crowder tahun 1986 konsentrasi kolkisin yang biasa digunakan untuk induksi poliploidi antara 0,1 sd 1,0 % sedangkan menurut Sinha dan Sinha tahun 1976 kolkisin efektif pada konsentrasi 0,1 sd 0,8 %. Menurut Eigsti dan Dustin tahun 1957 lama waktu perlakuan dapat bervariasi antara 24 - 96 jam. Berubahnya sifat tanaman diploid menjadi poliploidi bukan disebabkan berubahnya gen, sehingga kolkisin tidak dapat dikelompokkan sebagai mutagen. Jadi kolkisin merupakan bahan kimia yang berfungsi bukan untuk menaikkan fertilitas, bukan fitohormon, dan bukan pula vitamin melainkan hanya merupakan substansi organik pada tanaman yang dapat menyebabkan terhambatnya pembentukkan benang spindel.
    Saat ini salah satu dosen di Fakultas Biologi UGM Yogyakarta telah berhasil mengektraksi bahan dari tanaman Catharantus roseus ( tapak dara ) di mana hasil ekstrak tanaman ini bisa berfungsi sebagai bahan alternatif pengganti kolkisin akan tetapi baru efektif di beberapa sel tanaman. Dan bahan temuan baru pengganti kolkisin ini baru dalam proses untuk mendapatkan hak paten bagi penemunya.

    BalasHapus
  9. saya dengar ada efek negatif penggunaan bahan ini terhadap sel hewan.... bagaimana prosedur penggunaannya?? apakah mudah menyerap dalam tubuh manusia juga??

    BalasHapus
  10. Efek negatifnya pada sel adalah terjadinya kanker pada sel hewan kalau nggak salah karena sifat sel ini yang menyebabkan ploidisasi tersebut. Jadi kalau menggunakan zat ini dianjurkan untuk berhati-hati jangan sampai kontak langsung bahan ini dengan tubuh kita. Oh yach saya baru mencari info lengkapnya pengganti Kolkisin kalau tidak salah namanya Biocatharantin ( Bio karena yang menemukan adalah dosen Biologi UGM dan catharantin dari nama depan tapak doro Catharantus roseus ). Biocatharantin ini baru diuji di 6 spesies tumbuhan sedang pada sel hewan belum pernah diujikan. Besuk kalau sudah dapat infonya akan saya tulis di sini.

    BalasHapus
  11. Trimakasih infonya. Saya mau tanya pak, jika 2,4D dikombinasikan dengan adenin untuk induksi kalus pada berbagai tanaman bisa nda? hasilnya untuk kalus tanaman itu sendri bgmana? adakah berbagai penelitian yang menguji cobakan kedua ZPT trsbut? sy ingn tau brbgai pnlitian tsb. Trmkasih pak..

    BalasHapus
  12. 2,4 D bila dikombinasikan dengan adenin (6-benzyl amino purine atau BAP yang Ibu maksud) bisa saja. Pengalaman saya saat praktikum di UMS 2,4 D 3 ppm dan BAP 3 ppm (berimbang) maka akan menghasilkan kalus yang bagus. Tapi penggunaan 2,4 D tidak boleh terlalu lama, sehingga kalau sudah terbentuk kalus sebaiknya dipelihara di media sitokinin group semisal BA atau BAP. Ada penelitian yang menguji kedua hormon tersebut. Nanti akan saya sampaikan informasinya. Dan terima kasih atas perhatiannya di blog ini semoga semua yang ada di blog ini bisa bermanfaat.

    BalasHapus
  13. Coba lihat dan baca di :
    Taha, H. S., M. K. El- Bahr and M. M. Seif El- Nasr, 2008, In Vitro Studies on Egyptian Catharanthus roseus (L.) G. Don : 1-Calii Production, Direct Shootlets Regeneration and Alkaloids Determination, Journal of Aplied Sciences Research, 4(8): 1017-1022.
    Di dalam penelitian ini digunakan medium MS dengan penambahan 1 mg/l 2,4 D dan 1 mg/l Kinetin menghasilkan angka maksimum dalam produksi kalus setelah 30 hari penanaman.
    Sedangkan pada penelitian yang lainnya dan masih menggunakan tanaman Catharanthus roseus L. yaitu :
    Gunjan Garg, 2010, In Vitro Screening of Catharanthus roseus L. Cultivars for Salt Tolerance UsingPhysiological Parameters, International Journal of Enviromental Science and Development, Vol. 1, No. 1, April 2010, p: 24-30.
    Di penelitian ini digunakan kombinasi hormon auksin yaitu 2,4D dan hormon sitokinin yaitu Kinetin dan BAP (6-benzyl amino purine). Pada medium MS dengan konsentrasi 2,4 D (4,09 µM) dan BAP (11,53 µM) pada tanaman Catharanthus roseus L. varietas “alba” (putih) tingkat keberhasilan menghasilkan kalus sebesar 55 % sedangkan pada varietas Catharanthus roseus L. varietas “rosea” tingkat keberhasilan menghasilkan kalus sebesar 70 %.
    Sedangkan pada medium MS dengan konsentrasi 2,4 D (4,06 µM) dan Kinetin (2,30 µM) pada tanaman Catharanthus roseus L. varietas “alba” (putih) tingkat keberhasilan menghasilkan kalus sebesar 70 % sedangkan pada varietas Catharanthus roseus L. varietas “rosea” (merah) tingkat keberhasilan menghasilkan kalus sebesar 85 %.
    Sedangkan kesimpulan akhir dari penelitian ini adalah daun Catharanthus roseus L. varietas “rosea” (merah) yang ditanam pada medium MD yang diberi tambahan 2,4 D (4,06 µM) dan Kinetin (2,30 µM) responnya bagus dan menghasilkan kalus yang friable, mempunyai biomassa yang tinggi, dan menghasilkan pembentukan tunas yang banyak dari kalus daun jika dibandingkan dengan Catharanthus roseus L. varietas “alba” (putih).

    BalasHapus
  14. Penelitian yang menggunakan 2,4 D dan BA ataupun adenine dalam penelitian kultur jaringan tumbuhan.
    Penelitian induksi dan pemeliharaan kultur embriogenik dengan menggunakan biji Conifer oleh Stephen M. Attree dan Larry C. Fowke.
    Menggunakan eksplan biji mtang ataupun belum mata ng yang diambil emrio pada fase zygote.
    Media untuk penelitian ini adalah ½ media LV (makro, mikro, Fe EDTA, dan vitamin) ditambah dengan L-glutamine 250 mg/l, Casein hidrolisat 500 mg/l, sukrosa 1%, 2,4 D 9µM, BA 4,5 µM dan Difco Bitek agar 0,6 %.
    Kemudian pada penelitian isolasi dan kultur protoplast oleh Stephen C Gleddie yang menggunakan eksplan Brassica napus dan hybrid intergenerik tomat dengan media Pelletier (makro dan mikro nutrient), Fe EDTA, vitamin B5, Sukrosa 2 %, mannitol 4 %, 2,4 D 1 mg/l dan adenine sulfate 30 mg/l.
    Selanjutnya penelitian Transformasi dengan menggunakan media Agrobacterium oleh Ebrahim Firoozabady dan Adelheid R. Kuehnle. Dengan menggunakan bahan penelitian kultur inisiasi tunas tembakau var. Xanthi, Petite Havana, atau Winconsin 38. Lalu Chrysanthemum var. Moneymaker, Klondike, Toon Herman, Tiger, Marina, Impala, Mundial atau Happy. Selanjutnya bahan yang digunakan adalah Agrobacterium tumefaciens strain LBA4404 atau EHA101.
    Media yang digunakan untuk penelitian ini adalah :
    MS (makro dan mikto nutrient), Fe EDTA, vitamin B5, EMS 3 mM, Sukrosa 3 %, 2,4 D 0,1 mg/l, NAA 0,1 mg/l, BA 1,0 mg/l, Gelrite 0,2 %. Lalu untuk perlakuan BNCK-50 ditambahkan Carbenicillin 500 mg/l dan Kanamycin 50 mg/l. Sedangkan untuk perlakuan BNCK-100 ditambahkan Carbenicillin 500 mg/l dan Kanamycin 100 mg/l.
    Untuk detail penelitian bisa dibaca langsung pada sumber yaitu dari buku :
    Gamborg, O. L. and G. C. Phillips (1995), Plant Cell, Tissue, and Organ Culture Fundamental Methods, Spinger-Verlag Berlin Heidelberg.P : 103-113; 167-180; 181-195.
    Demikian penelitian yang melibatkan 2,4 D dan adenine yang pernah dilakukan selama ini semoga saja bermanfaat.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
  15. emem aku mw nanya donk pak, tp maaf ya pertanyaannya kalo terlalu sepele, soale aku bllum tau apa2 ni,,
    kalo kalus yg terbentuk pada tanaman cangkok itu sebenere brasal dari mana to ? trima kasih :D

    BalasHapus
  16. Kalus pada umumnya berasal dari jaringan parenkim dan penyusun kalus juga jaringan parenkim yang aktif membelah.
    Pada kalus pada tanaman cangkok biasanya disebut dengan caluoid.

    BalasHapus
  17. sebenarnya tekstur kalus itu apa-apa saja?
    mohon jawabannya yaa pak,

    BalasHapus
  18. Pak, bagaimana cara sterilisasi eksplan dari daun muda agar dapat menghasilkan kalus yg baik?
    Berapa konsentrasi 2,4-D yg dapat digunakan untuk mengkultur kalus dari daun tanaman yg berkayu?
    Mohon jawabannya yaa Pak, terimakasih.

    BalasHapus