Laman

Jumat, 21 Agustus 2009

KULTUR JARINGAN PISANG

Tumbuhan pisang dapat dengan mudah dikulturkan dengan cara :
Kultur kalus
Kultur tunas → lebih mudah propagasi
Kelebihan :
Bebas patogen tertentu kecuali penyakit virus : BBTV dan mosaik
Relatif seragam
Kelemahan :
Kurang tahan penyakit karena terbiasa diperlakukan penuh nutrisi.

Eksplan

Syarat-syarat eksplan yang baik :
Berasal dari induk yang sehat dan subur.
Berasal dari induk yang diketahui jenisnya.
Tempat tumbuh pada lingkungan yang baik.
Ukuran tunas optimal sekitar 5 cm tingginya ( biasanya ukuran tunas yang bisa dipakai sebagai eksplan adalah tunas yang berukuran antara 5 – 10 cm ), bukan tunas yang baru tumbuh atau yang sudah kelewat besar.
Untuk pisang kapok sering tunas perlu digali lebih dalam dari dalam tanah.
Untuk pisang jenis lain baiknya tunas yang kelihatan dari tanah ( Bahasa Jw : ngangkrik )
Tunas langsung diproses sesegar mungkin dan bila terpaksa jangan dimasukkan ke dalam kulkas.

                                   Contoh eksplan pisang

Sterilisasi eksplan        

Tunas hidup di atas tanah sering banyak tanah yang melekat perlu dibersihkan hal ini karena pada eksplan tunas pisang mengandung bakteri internal seperti Pseudomonas dan Erwinia. .

Tahapan sterilisasi eksplan :

Tunas dibersihkan dari sisik dan kulit luar satu lapis.
Tunas dicuci dan disikat dengan sabun sampai bersih kemudian ditiriskan.
Tunas diperkecil dengan dikupas seludangnya sampai berbentuk seperti kerucut di atas kubus ukuran 2 x 2 cm persegi.
Tunas dimasukkan ke dalam gelas piala bersih dan disterilisasi dengan kloroks 0,5 % selama 5 menit.
Bila perlu sterilisasi dapat juga dilakukan dengan sublimat 0,1 % selama 2 menit kemudian dicuci dengan air steril.
Pekerjaan no 1 sampai dengan no 5 dapat dilakukan di ruang terbuka.
Tunas diperkecil lagi setengahnya di dalam laminar air flow. Dan langsung disterilisasi dalam 0,5 % kloroks yang mengandung 0,5 / liter vitamin C selama 5 menit. 
Selain cara di atas ada cara yang lain lagi dimana langkah pertama dan kedua sama seperti di atas.
Kemudian setelah tunas dibersihkan dari sisik dan kulit luar satu lapis, kemudian tunas direndam dalam larutan formalin 30 % ( setara dengan 10 % formaldehid ) selama 10 menit.
Setelah itu pelepah paling luar dibuang lagi satu lapis lalu tunas direndam lagi dalam larutan agrimycin 5 gram/ liter selama 12 jam.
Setelah 12 jam perendaman, tunas dicuci untuk menghilangkan sisa-sisa bakterisida. Setelah itu lalu dimasukkan dalam larutan kloroks / bayclin 50 % dan dibiarkan selama 15 menit. 
Kemudian setelah itu dimasukkan ke dalam laminar air flow cabinet, pelepah tunas dibuka lagi sebanyak 1 – 2 lapis dan kemudian direndam ke dalam larutan kloroks 20 % selama 10 menit.
Setelah dibilas dengan air steril, tunas direndam ke dalam larutan betadine 20 % selama 10 menit. Ukuran terakhir tunas +/- 1 – 2 cm.                       

                    Sterilisasi eksplan di dalam laminar air flow

                        Eksplan dikupas lapisan bagian luarnya  

Kemudian setelah proses sterilisasi eksplan selesai dilakukan eksplan ditiriskan di atas cawan petri beralaskan kertas saring steril. Eksplan siap di tanam dalam medium.                                       

                                 Eksplan yang siap ditanam 

Medium kultur jaringan pisang                                              

Medium kultur jaringan pisang pada dasarnya adalah medium MS dengan modifikasi vitamin dan hormon. Unsur makro dan mikro sama, dengan sedikit perbedaan yaitu sukrosa 30 gram diganti dengan D-glukosa atau dektrosa ( teknis atau p.a. ). Menurut pengalaman penggantian ini menyebabkan pertumbuhan lebih cepat.

Vitamin :
Biotin                  :       0,05 ppm
Myo inositol         :            1 ppm
Thiamin               :        0,4 ppm
Piridoksin            :            4 ppm
Ascorbic acid        :     5 – 50 ppm
Gula                      :
Dextrosa               :         30 gram

Medium :

P1 : ½ MS + Vitamin + 5 – 7 ppm BA + 100 ml air kelapa
P2 : MS + Vitamin + 5 – 7 ppm BA + 100 ml air kelapa
P3 : MS + Vitamin + 2 ppm IBA / IAA + 0,1 kinetin + 100 ml air kelapa
Keterangan :
P1 : medium inisiasi tunas
P2 : medium perbanyakan tunas
P3 : medium perakaran
Untuk tiap jenis pisang susunan medium dapat diubah sesuai kebutuhan. 
Pisang yang pertumbuhannya subur seperti Kapok memerlukan BA yang lebih banyak, dan auksin yang lebih rendah.

Tahapan penanaman :

Inisiasi Tunas

Tunas yang sudah siap tanam dimasukkan ke dalam medium P1 ( medium inisiasi tunas )

                         Eksplan dalam medium inisiasi tunas

Inkubasikan selama 2 minggu sampai terlihat warna kehijauan di eksplannya.
Kupas lagi eksplannya dengan cara aseptis sampai berukuran ½ nya. Tanam kembali sampai terlihat hijau lagi dan itu artinya eksplan hidup.                                                                               Eksplan berubah warna menjadi kehijauan            

Belah eksplan menjadi dua bagian dan kemudian diletakkan titik tumbuhnya menempel pada medium. Tunggu sampai muncul tunas kecil dan berwarna putih seukuran 2 – 3 mm.

Sebagai catatan proses terjadinya multiplikasi tunas yang pertama biasanya terjadi antara minggu ke 8 – 12. Dan setelah terjadi multiplikasi tunas ini baru bisa dilakukan subkultur.

Perbanyakan tunas

Tunas yang tumbuh dipotong dan dipindahkan ( disubkultur ) ke medium P1 ( medium inisiasi tunas ) lagi dengan hati-hati, jangan sampai rusak.                                                                                        Tunas yang sudah tumbuh banyak harus sering dipecah dan dipindahkan ( disubkultur ) ke medium P1 ( medium inisiasi tunas ) lagi.                                                                                                         Tunas yang cukup besar, besarnya seragam dan mulai mengalami differensiasi organ lain yaitu daun dipindahkan ( disubkulturkan ) ke P2 ( medium perbanyakan tunas ), satu atau dua kali sesuai kebutuhan. Tunas kecil dipindahkan ( disubkultur ) ke medium P1 lagi.

Perakaran

Tanaman kecil ( planlet ) dalam P2 ( medium perbanyakan tunas ) dipilih yang seragam kemudian dipindahkan ( disubkultur ) medium P3 ( medium perakaran ) untuk bisa melakukan proses perakaran. Bila planlet sudah berdaun 4 – 5 helai daun berarti sudah siap keluar untuk dilakukan aklimatisasi.                                                                                                                                           Catatan :
Dalam proses subkultur pada medium yang sama dapat dilakukan sampai 6 kali subkultur, baru kemudian bisa dipindahkan untuk diakarkan pada medium P3 ( medium perakaraan ). Dan seluruh proses subkultur dari awal sampai akhir ada baiknya jangan sampai melebihi 10 kali subkultur karena akan mengurangi kualitas planlet yang dihasilkan.

Aklimatisasi

Aklimatisasi dapat dilakukan secara majemuk pada bedengan di bawah tempat yang teduh atau secara tunggal pada gelas bekas aqua yang diisi tanah subur ditambahkan pasir dengan perbandingan 1 : 1 . Pada saat aklimatisasi ini umumnya 2 minggu dengan sungkup dan 4 minggu tanpa sungkup. Dan pada saat itu planlet sudah mencapai tinggi 20 – 25 cm.
Selanjutnya bibit siap ditumbuhkan dalam polibag.                                                                                                                           Aklimatisasi dalam sungkup

Nursery

Tanaman perlu ditumbuhkan di nursery sampai mencapai tinggi 50 – 60 cm kemudian dipindahkan ke lapangan.

                 Pisang hasil kultur yang siap ditanam di lapang

Jumat, 07 Agustus 2009

MODIFIKASI MEDIA BUDIDAYA JARINGAN ANGGREK DENGAN PUPUK GREENER 2001 B


Dendrobium phalaenopsis
Foto : Sulistyono

SUMBER : BIOLOGI IKIP SURABAYA
PENDAHULUAN
Para ahli dalam beberapa percobaan yang berkaitan dengan pemakaian media untuk budidaya anggrek banyak yang menggunakan media menurut Vacint dan Went. Media ini cukup baik, karena terdapat unsur hara yang jumlahnya sudah pasti dan dibuat dengan perbandingan hara mineral yang cermat.
Unsur hara yang digunakan dalam media Vacint dan Went adalah :
Ca3 (PO4)2 ( Tricalsium fosfat )
KNO3 ( Potassium nitrat )
KH2PO4 ( Mono potassium fosfat )
MgSO4.7H2O ( Magnesium fosfat )
(NH4)2SO4 ( Ammonium sulfat )
Fe(C4H4O6)3 ( Ferri tartrat )
MnSO4.2H2O ( Mangan sulfat )
biasanya dalam katagori pro analisis ( p.a. ), sehingga dalam prakteknya memerlukan biaya yang mahal dan agak sulit mendapatkannya, contohnya ferritartrat.
Unsur hara yang digunakan dalam media Vacint dan Went dapat diperoleh dengan membeli dalam satuan ukuran yang lebih besar dan harga yang mahal.
Pupuk buatan yang banyak di pasaran bebas juga mengandung unsure makro dan mikro. Hal ini sesuai dengan kebutuhan tumbuhan yang memerlukan pemupukan.
Pupuk Greener ialah salah satu pupuk di pasaran bebas yang mudah untuk mendapatkannya. Pupuk ini sangat banyak macamnya, ada yang khusus untuk tumbuhan kapas, kopi, kedel;ai, anggrek dan tumbuhan lainnya. Sudah barang tentu perbandingan unsure haranya disesuaikan dengan tumbuhan yang akan dipupuk. Contohnya untuk tumbuhan kedelai perbandingan unsure haranya berbeda dibandingkan dengan rambutan. Ini dapat dilihat pada etiket pembungkusnya. Dan pupuk ini harganya relative murah.

PEMBUATAN MEDIA ANGGREK
Media anggrek ialah tempat hidup bagi anggrek yang sudah dioptimalkan keadaanya sehingga memberikan persentase kehidupan bagi anggrek yang lebih besar. Media umumnya berisi hara lengkap ( hara makro dan hara mikro ) yang diperlukan oleh tumbuhan anggrek dan dengan keasaman ( pH ) yang tertentu. Komposisi media anggrek amat banyak macamnya. Ada komposisi yang diciptakan oleh Knudson C, Vacint dan Went, Burgeff, dan lain-lain.
Di bawah ini disajikan komposisi media yang paling popular digunakan untuk tumbuhan anggrek yaitu komposisi Vacint dan Went, untuk satu liter media.

BAHAN :
HARA MAKRO
Ca3 (PO4)2 ( Tricalsium fosfat ) larut dalam HCl 200 mg/l
KNO3 ( Potassium nitrat ) 525 mg/l
KH2PO4 ( Mono potassium fosfat ) 250 mg/l
MgSO4.7H2O ( Magnesium fosfat ) 250 mg/l
(NH4)2SO4 ( Ammonium sulfat ) 500 mg/l
Fe(C4H4O6)3 ( Ferri tartrat ) 28 mg/l
HARA MIKRO
MnSO4.2H2O ( Mangan sulfat ) 7,5 mg/l
GULA
Sukrosa 30 g/l
VITAMIN
Pepton 2 g/l
ZAT LAIN YANG BELUM DIKETAHUI KOMPOSISINYA
Air kelapa 150 ml/l
Kentang 150 g/l
Pisang 150 g/l
AGAR
Agar serbuk 10 g/l
BAHAN PENCEGAH BROWNING
Arang aktif satu sendok teh
Aquadest ( ditambahkan sampai volume 1 liter )
pH 5

Komposisi media dimodifikasi dengan pupuk Greener 2001 B untuk anggrek dalam satu liter media :
Greener 2001 B 1 – 4 ml/l
Gula 30 g/l
Kentang 150 g/l
Nanas 150 g/l
Air kelapa 150 ml/l
Agar 10 g/l
Aquadest ( ditambahkan sampai volume 1 liter )
pH 5
CARA MEMBUAT MEDIA VACIN DAN WENT DENGAN UNSUR HARA PENGGANTI PUPUK GREENER )

1. Kentang yang telah dikupas ditimbang seberat 150 gram lalu diiris dan diblender dan satu bungkus agar serbuk yang tidak berwarna.
2. Tuangkan campuran ini kedalam panci dan tambahkan arang aktif ( untuk media dengan pupuk Greener tidak memakai arang aktif ) sebanyak satu sendok teh.
3. Atur pH antara 5,0 – 6,0. Untuk ini dapat dilakukan penambahan NaOH / KOH bila pH terlalu rendah atau HCl bila PH terlalu tinggi. Konsentrasi NaOH / KOH atau HCl dibuat 0,1 M.
4. Didihkan campuran ini kemudian tambahkan 30 gram gula dan 2 gram Pepton.

Dari segi ekonomis pemakaian pupuk Greener 2001 B lebih hemat hampir 88,48% dibandingkan dengan harga komposisi Vacin dan Went dan penghematan ini hanya diperhitungkan dari harga unsur hara yang ada pada media Vacint dan Went yang diganti dengan pupuk Greener.


Selasa, 04 Agustus 2009

PERBANYAKAN TIGA KULTIVAR PISANG ( Musa paradisiaca L. ) MENGGUNAKAN MEDIUM MURASHIGE DAN SKOOG (MS) INSTAN DAN VARIASI HORMON BENZYLAMINOPURIN (BAP)

Tulisan ini telah dipresentasikan oral di acara :
SEMINAR NASIONAL BIOLOGI XX DAN KONGGRES PERHIMPUNAN BIOLOGI INDONESIA XIV
di UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG 
pada hari Jum'at tanggal 24 Juli 2009 jam : 15.30 WIB 
dengan moderator : Estri Laras Arumingtyas, DR. Ir. MScSt

Agung Surono ; Achmad HimawanCV. AGRI BIO TECHJl Jambon No 605, Gang Batan Jatimulyo, Kricak, Tegalrejo, Yogyakarta 55242E-mail : agungsurono@yahoo.com, achmadhim@yahoo.com

Buah pisang sangat populer dan digemari oleh semua lapisan masyarakat. Pisang (Musa paradisiaca L.) berasal dari hasil silangan alamiah antara Musa acuminate dengan Musa balbisiana, yang kini keturunannya lebih dari ratusan kultivar pisang. Pisang dapat dikelompokkan menjadi 3, yakni pisang meja, pisang rebus ( pisang olahan ) dan pisang hias. Kultivar pisang yang berpotensi dan digemari konsumen adalah pisang raja , barangan, koja dan panjang.

Penelitian-penelitian secara in vitro dalam rangka propagasi ( perbanyakan ) pada beberapa kultivar pisang telah banyak dilakukan. Kami sebagai perusahaan baru yang bergerak di bidang budidaya in vitro pisang, ingin memperbanyak 3 kultivar pisang, yaitu pisang barangan, koja dan pisang panjang Permasalahan yang dihadapi adalah menentukan seberapa besar konsentrasi Benzylamino purin (BAP) yang optimal untuk pembentukan tunas pisang. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui besarnya konsentrasi BAP yang optimal untuk memacu terjadinya tunas pada eksplan tunas 3 kultivar pisang. 
Penelitian ini menggunakan medium Murashige dan Skoog (MS) instan produk Duchefa, dan ditambah dengan hormon BAP 2 ppm, 4 ppm, 6 ppm dan 8 ppm. Penelitian ini menggunakan eksplan tunas dari 3 kultivar pisang ( barangan, koja dan panjang). Pengamatan dilakukan pada minggu ke 4, 8, 10, dan 12 minggu setelah tanam. Pengamatan dilakukan secara kualitatif, yaitu ada tidaknya perubahan warna eksplan, ada tidaknya kalus pada eksplan, dan tumbuh tidaknya tunas dan akar pada eksplan. 
Hasil penelitian menunjukkan bahwa eksplan pada umumnya berubah warna menjadi kehijauan di minggu ke 6 setelah tanam. Kalus yang bersifat remah terbentuk di minggu ke 4 setelah tanam. Eksplan dapat membentuk akar pada minggu ke 8 setelah tanam. Fenomena tersebut diduga karena adanya hormon auksin endogen yang ada pada eksplan. Tunas terbentuk pada minggu ke 12 setelah tanam Peristiwa ini terjadi pada ketiga kultivar pisang.. Biasanya terbentuk akar dahulu setelah itu terbentuk tunas pada eksplan yang sama. Medium MS + 8 ppm BAP memberikan hasil yang optimal untuk pembentukan tunas pada ke 3 kultivar pisang. 
Kata kunci : pisang; medium instan; Murashige dan Skoog (MS); Bezylamino purin (BAP)

Agung Surono ; Achmad Himawan
CV. AGRI BIO TECH
Jl Jambon No 605, Gang Batan 
Jatimulyo, Kricak, Tegalrejo, Yogyakarta 55242
E-mail : agungsurono@yahoo.com, achmadhim@yahoo.com

Banana is very popular and favorite by all level of people. Banana (Musa paradisiaca L.) came from natural hybridization between Musa acuminate and Musa balbisiana, that currently their progenies were more than hundreds of cultivars. Banana can divide to become 3 groups that are dessert banana, cooking banana and ornamental banana. Banana cultivars which have potential and favorite by consumers, that are raja, barangan, koja and panjang.
In vitro propagations of banana on several banana cultivars are conducted. We are as a new company that operates in banana in vitro propagation, desire to propagate 3 banana cultivar (barangan, koja and panjang). Our problem is to determine how many Benzylamino purine (BAP) concentrations that optimum to induce banana shoots. Our objective is to study how many Benzylamino purine (BAP) concentrations that optimum to induce banana shoots on 3 banana cultivars explants.
This research use Murashige and Skoog (MS) instant medium from Duchefa (Netherlands), which is supplemented with BAP 2 ppm, 4 ppm, 6 ppm and 8 ppm. This research use apical shoot explants from 3 banana cultivars (barangan, koja and panjang). Observation is conducted in weeks 4, 6, 8, 10 and 12 after planting. Observation is conducted qualitatively, that are color changes on explants, callus developments on explants, shoots and roots development on explants.
Research showed that explants in general changed color to greenish in week 6 after planting. Friable calluses developed in week 4 after planting. Roots developed in week 8 after planting. These phenomena’s are predicted because there is auxin hormone endogen in explants. Shoots grew in week 12 after planting. This happen occurred on three banana cultivars. In general first roots formation happened, after that shoots formation are to be happened from the same explants. MS + 8 ppm BAP gave the optimum results for shoots formation on 3 banana cultivars. 
Keywords: banana; instants medium; Murashige and Skoog (MS); Bezylamino purine (BAP)

PENDAHULUAN
 Buah pisang sangat populer dan digemari oleh semua lapisan masyarakat. Pisang (Musa paradisiaca L.) berasal dari hasil silangan alamiah antara Musa acuminate dengan Musa balbisiana, yang kini keturunannya lebih dari ratusan kultivar pisang. Pisang dapat dikelompokkan menjadi 3, yakni pisang meja, pisang rebus ( pisang olahan ) dan pisang hias. Kultivar pisang yang berpotensi dan digemari konsumen adalah pisang raja , barangan, koja dan panjang.
Buah pisang (Musa paradisiacal L.) adalah salah satu buah yang digemari oleh sebagian besar penduduk dunia (Satuhu dan Supriyadi, 2008). Buah pisang adalah jenis buah unggulan ke dua di dunia setelah jeruk (Swennen & Rosales, 1994). Di Indonesia sendiri buah pisang adalah jenis buah yang paling diminati konsumen. Selain itu,pisang adalah bahan makanan pokok bagi sekitar 400 juta penduduk dunia (Sagi et al., 1995).
Kendala pengadaan bibit unggul secara konvensional adalah sulit mendapatkan bibit yang berkualitas dalam jumlah besar dan dalam waktu yang singkat. Salah satu keunggulan perbanyakan tanaman melalui teknik kultur in vitro adalah sangat dimungkinkan mendapatkan bahan tanam dalam jumlah besar dalam waktu singkat (Priyono dkk., 2000).
Penelitian-penelitian secara in vitro dalam rangka propagasi (perbanyakan) pada beberapa varietas pisang telah banyak dilakukan, antara lain Crounauer dan Krikorian (1984) telah berhasil memacu multiplikasi tunas pucuk batang pisang Musa sp., yaitu dengan mengkulturkannya pada medium MS dengan penambahan Benzyladenine (BA) 5 ppm. Tunas-tunas baru ini mampu membentuk akar setelah disubkulturkan pasa medium MS dengan penambahan NAA, IBA, atau IAA, masing-masing 1 ppm.
Barnejee dan De Langhe (1985) telah berhasil melakukan mikropropagasi beberapa kultivar pisang, misalnya Cavendish dan silk, dengan cara mengkulturkan tunas ujung batang pada medium MS yang dimodifikasi. Pertumbuhan plantlet terbaik adalah dalam medium MS dengan penambahan IAA 0,18 ppm dan BA 2,3 ppm. Mateille dan Foncelle (1987), berhasil menstimulasi pertumbuhan tunas aksiler / lateral pisang kultivar Poyo untuk menghasilkan BLB (Bud Like Body), dengan cara mengkulturkan tunas tersebut dalam medium MS dengan penambahan sukrosa 20 % dan BA 22.5 µM. Daun dan akar dihasilkan melalui subkultur tunas tersebut dalam medium dasar yang sama, dengan penambahan sukrosa 10 %, tanpa pemberian hormon. Meldia dkk. (1992), berhasil memperbanyak tunas pisang emas. Eksplan tunas pisang ditanam pada mediim MS padat. Pisang emas menunjukkan respon yang cukup baik (eksplan segar dan ukurannya bertambah besar), bila ditanam pada medium inisiasi MS dengan penambahan IAA 0,1 – 0,2 ppm dan BAP 3,0 – 4,0 ppm. Setelah 4 minggu, dilakukan subkultur ke medium multiplikasi MS dengan penambahan BAP 3,0 – 5,0 ppm. Jumlah tunas yang terbentuk per eksplan, berkisar antara 1,53 – 3,33. Dari peneltian tersebut terlihat bahwa bila konsentrasi BAP semakin meningkat maka jumlah tunas yang terbentuk juga meningkat. Menurut Widayati (1992), penggandaan tunas pisang dapat dilakukan dengan penambahan BA sampai dengan 10 ppm.
 Pada tahun 1996, Himawan, telah berhasil memacu terbentuknya planlet dengan mengkulturkan tunas apikal pisang emas pada medium dasar MS dengan penambahan NAA 0,5 ppm tanpa BAP. 
Pembuatan media kultur in vitro biasanya dengan mencampur beberapa bahan kimia tertentu. Cara ini memiliki beberapa kekurangan, yaitu membutuhkan biaya besar, cukup banyak menyita waktu, dan ada kemungkinan terjadi kesalahan dalam mempersiapkan media kultur tersebut. Untuk mengurangi resiko itu, sekarang beberapa laboratorium menggunakan media kultur siap pakai, yang diproduksi oleh beberapa perusahaan di luar negeri. Media kultur tersebut berupa serbuk. Contoh formula atau resep media kultur siap pakai adalah media MS tanpa atau dengan agar. Untuk membuat media kultur dari campuran serbuk yang siap pakai, dilakukan dengan hanya melarutkan dalam sejumlah tertentu air yang kualitasnya memenuhi persyaratan, lalu pH-nya diatur, dimasukkan dalam botol-botol kultur, kemudian disterilkan. (Wetherell, 1982).
TUJUAN
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui besarnya konsentrasi BAP yang optimal untuk memacu terjadinya tunas pada eksplan tunas 3 kultivar pisang. 
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur In Vitro, CV. Agri Bio Tech, Yogyakarta. Pelaksanaan penelitian lebih kurang selama 6 bulan , dimulai dari bulan November 2008 sampai dengan April 2009. 
Pisang yang digunakan untuk penelitian ini ada 3 kultivar, yaitu pisang panjang, pisang barangan dan pisang koja. Pisang panjang dan barangan diambil dari kebun KP4 UGM, Sleman. Pisang koja diambil dari kebun di daerah Jambon, Sleman.

                               Foto buah pisang barangan

                               Foto pohon pisang barangan     

                              Foto buah pisang panjang

                              Foto pohon pisang panjang

                                Foto pohon pisang koja

Bahan yang digunakan untuk eksplan adalah tunas yang sedang tumbuh dari bonggol tumbuhan pisang, dengan diameter antara 5 – 10 cm. Sedangkan medium yang digunakan adalah medium dasar MS (Murashige dan Skoog, 1962) siap pakai buatan Duchefa Biochemie, Belanda. Gula yang ditambahkan adalah D-(+)- Glukose, anhydrous buatan Hymedia, India. Agar yang dipakai adalah agar biasa yang banyak dijual di pasaran umum. Hormon yang diitambahkan adalah BAP dengan konsentrasi 2, 4, 6 dan 8 ppm. Medium diatur pH-nya kurang lebih 5,8. Medium dimasukkan ke dalam botol-botol kultur dan disterilkan menggunakan autoclave. (121 ºC, 15 menit).
Tunas tumbuhan pisang dikupas dengan pisau sampai diameternya ± 3cm . Tunas kemudian dimasukkan ke dalam botol selai yang berisi larutan sabun selama 10 menit. Setelah itu, air sabun dibuang, lalu botol dan tunas dimasukan ke dalam Laminar Air Flow cabinet (LAF). Tunas dimasukkan ke dalam botol selai, yang berisi larutan NaClO (bayclin) 50 %, selama 15 menit. Lalu tunas dipindah ke dalam botol selai yang berisi larutan NaClO ( bayclin ) 10%, selama 15 menit. Setelah itu, tunas dibilas dengan aquades steril sebanyak 3 kali, masing-masing selama 10 menit. Tunas diletakkan dalam cawan petri, lalu dikupas lagi dengan menggunakan scalpel hingga diameter bagian dasarnya berukuran 1 - 1,5 cm. Eksplan dipegang dengan menggunakan pinset dan ditanam dalam botol kultur. Satu botol kultur berisi 1 eksplan. Untuk tiap perlakuan menggunakan 5 ulangan. Botol kultur dipelihara dalam ruang kultur, dan diberi penyinaran dengan lampu TL 40 watt secara kontinyu selama 8 jam sehari, pada suhu 26 °C. Penggantian medium dilakukan apabila terjadi pencoklatan pada medium. Pengamatan dilakukan setiap 2 minggu, sampai minggu ke-12. Parameter yang diamati adalah ada tidaknya kalus pada eksplan, tumbuh tidaknya tunas dan akar pada eksplan serta perubahan warna yang terjadi pada eksplan. Data kualitatif ini dianalisis secara deskriptif.

HASIL
 .Setelah dilakukan pengamatan terhadap ada tidaknya pembentukan kalus, akar dan tunas serta perubahan warna kalus maka hasilnya dapat dilihat pada tabel 1 sampai tabel 4.:

Tabel 1.Pengamatan pembentukan kalus pada eksplan


Keterangan :
+ = terbentuk kalus
B = Barangan
P = Panjang
K = Koja


Tabel 2.Pengamatan pembentukan akar pada eksplan

Keterangan :
+ = terbentuk akar
B = Barangan
P = Panjang
K = Koja

Tabel 3.Pengamatan pembentukan tunas pada eksplan.

Keterangan :
+ = terbentuk tunas
B = Barangan
P = Panjang
K = Koja

Tabel 4.Pengamatan perubahan warna kalus

Keterangan :
- = belum terbentuk
P = putih
Kh = kehijauan
B = Barangan
P = Panjang
K = Koja

  Gambar 1. Pisang Barangan pada MS + 8 ppm umur 8 minggu  
  Gambar 2. Pisang Panjang pada MS + 8 ppm umur 8 minggu  
  Gambar 3. Pisang Koja pada MS + 8 ppm umur 8 minngu
   
PEMBAHASAN 
 Hasil penelitian menunjukkan bahwa media MS + 8 ppm BAP adalah media yang relatif paling optimal untuk memacu terbentuknya akar dan tunas pada eksplan tunas apikal pisang barangan, pisang panjang, dan pisang koja.
 Respon perubahan eksplan setelah dikulturkan dimulai dengan terjadinya kalus pada bagian bekas pemotongan. Hal ini wajar karena pada dasarnya kalus adalah jaringan penutup luka. Terbentuknya kalus ini disebabkan oleh karena adanya rangsang luka (Fowler, 1983. Proses pembentukan kalus agak lama, yaitu rata-rata mulai terbentuk pada minggu ke 4 (pada Barangan dan Koja ) sedangkan pada pisang panjang mulai terbentuk pada minggu ke enam.
 Akar terbentuk terlebih dahulu daripada pembentukan tunas. Menurut George dan Sherrington (1984), pertumbuhan dan perkembangan eksplan dipengaruhi oleh interaksi dan keseimbangan antara hormon endogen dan hormon eksogen. Selain itu pertumbuhan dan perkembangan eksplan juga dipengaruhi oleh interaksi dan keseimbangan antara sitokinin dan auksin. Jadi pembentukan akar terlebih dahulu ini mungkin disebabkan karena auksin endogen yang terdapat pada eksplan cukup tinggi untuk memacu pembentukan akar terlebih dahulu pada eksplan. Hal ini terlihat baik pada Barangan, Panjang dan Koja semuanya terbentuk akar terlebih dahulu daripada pembentukan tunas. Pembentukan tunas terjadi pada minggu ke 12 setelah penanaman eksplan. Terjadi pada ke 3 kultivar pisang.
 Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pengaruh hormon yang diberikan berupa 6-benzylaminopurine (BAP), sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan eksplan yang ditanam di medium MS. Terlihat bahwa semakin besar hormon yang diberikan ke dalam media semakin cepat respon pertumbuhan eksplannya.

KESIMPULAN
Media MS + BAP 8 ppm adalah media yang relatif paling optimal untuk memacu terbentuknya akar dan tunas pada eksplan tunas apikal pisang barangan, pisang panjang, dan pisang koja.

DAFTAR PUSTAKA


Banerjee, N. and E. De Langhe, 1985. A Tissue Culture Technique for Rapid Clonal Propagation and Storage Under Minimal Growth Condition of Musa. Plant Cell Reports. pp. 4, 351 – 354.

Cronauer, S. S. and Krikorian,A. D. 1984. Multiflication of Musa from Excised Stem Tips. Annals of Botany. pp. 53, 321-328.

Fowler, M. W. 1983. Commercial Application and Economic Aspect of Mass Plant Cell Culture. Dari Mantell, S. H., Smith, H. (Eds.), Plants Biotechnology Cambridge University Press. London. pp. 3-38.


George, E. F. and P. D. Sherrington. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture. Handbook and Directory of Commercial Laboratories. Exegetic Ltd. England. P. 184-330.

Harjadi, S. S..1988. Potensi, Tantangan, dan Prospek Hortikultura. Makalah dalam Seminar Nasional dengan tema Prospek dan Tantangan Sektor Hortikultura Menuju Perekonomian yang tangguh UPN “Veteran” Yogyakarta. Yogyakarta, 5 Desember 1998.

Himawan, A.. 1996. Budidaya Tunas Apikal Tanaman Pisang (Musa paradisiacal L. cv. emas) Secara In vitro. Skripsi. Fakultas Biologi UGM. Yogyakarta.


Mateile, T. and Foncelle, B. 1987. Micropropagation of Musa AAA cv Poyo in The Ivory Coast. Tropical Agricultural (Trinidad). pp. 65, 325-328.


Meldia, Y., Winarno, M., dan Sunyoto. 1992. Pengaruh IAA dan BAP Terhadap Inisiasi dan Multiplikasi Tunas Pada Beberapa Varietas Pisang Secara In Vitro. Penelitian Hortikultura. pp. 5, 23-31.


Priyono, D. Suhandi, dan Matsaleh. 2000. Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh IAA dan 2-IP pada Kultur Jaringan Bakal Buah Pisang. Jurnal Hortikultura. 10 (3) : pp. 183 – 190.


Sagi, L. S. Remy, B. Verelst, B. Panis, B. P. A. Cammue, G. Volckaert and R. Swennen. 1995. Transient Gene Expression in Transformed Banana (Musa cv. Bluggoe) Protoplast and Embryogenic Suspension. Euphytica. pp. 85, 89-95.


Satuhu, S. dan Supriyadi, A. 2008. Pisang Budidaya, Pengolahan, dan Prospek Pasar. Penebar Swadaya. Jakarta. pp. 34.


Sunarjono, H.,. 2004. Berkebun 21 Jenis Tanaman Buah. Penebar Swadaya.Jakarta. pp. 66.

Swennen, R. and F. E. Rosales. 1994. Bananas. Encyclopedia of Agriculture Science. P. 1, 215-232.


Wetherel, D. F. 1982. Pengantar Propagasi Tanaman Secara In Vitro. Avery Publishing Group Inc. New Jersey. pp. 51.





                                                                                                         


Sabtu, 23 Mei 2009

PENYEMAIAN BIJI-BIJI ANGGREK DALAM BOTOL

Oleh : Chr. Budi  Prajugo

Penebaran biji anggrek yang sudah masak dalam botol dengan media agar-agar dinamakan reincultuur dalam bahasa asing.

Pertama :

Kita harus mengerjakannya dengan bersih dan rajin. Bersih berarti emua alat-alat harus bersih dan tempat-tempat yang langsung digunakan untuk media tanam harus bersih, steril ( suci hama ). Botol-botol harus dicuci bersih dan tutup botol yang disediakan, ada yang terbuat dari karet dengan tengah-tengahnya berlubang kecil disumbat dengan kapas, ada yang terbuat dari kapas digulung padat, sebesar pas tutup botol.

Kita menggunakan botol putih bekas saus tomat. Botol yang sudah disumbat ini, sumbatnya dibungkus dengan kertas sampai leher botol dan diikat dengan tali. Selesai ini kita masukkan botol-botol ini ke dalam dandang atau oven dan memasaknya selama +/- 1 jam, kemudian didinginkan.

Kedua :

Buatlah media agar-agar yang diisikan ke dalam botol-botol yang tersedia tadi. Media yang akan digunakan boleh dipilih dari salah satu di bawah ini. Ada beberapa macam resepnya. Yang umum adalah formula C dari Dr. Knudson L. tahun 1946 dan Knudson B pada tahun 1922. Sebenarnya cara menyemai anggrek ini sudah diketahui lebih awal lagi, ialah pada tahun 1903 oleh Noel Bernard.
Cocok untuk penebaran biji Dendrobium dan Cattleya.


Untuk penebaran biji, saya anjurkan dipakainya formula C dari Dr. Knudson L, tahun 1946 dan formula dari Dr. A.C. Chang sebaiknya dipakai untuk transplant, yaitu pemindahan benih-benih kecambah dari botol satu ke lain botol yang baru.

Ketiga :

Sesudah dimasak campuran resep tadi, kita isikan ke botol-botol yang tersedia, kira-kira 65 cc untuk ukuran botol saus tomat. Setelah masakan 1 liter agar tadi habis di isikan ke dalam botol-botol semuanya, maka kita masukkan botol-botol tadi ke dalam autoclave, alat masak  memakai ukuran tekanan ( manometer ). Kita masak di atas api dan mulai menghitung pada saat manometer jarumnya menunjukkan atm = 1,2 - 1,3 tetap ( konstan )  selama 20 menit. Setelah disterilisasi ini kita angkat autoclave-nya dari api dan didinginkan sampai ukuran atm = 10. Kita keluarkan botol-botol tadi yang masih cukup panas dan cair. Botol-botol kita letakkan miring dengan sudut yang dikehendaki.

Kita simpan botol-botol media ini selama 3 – 7 hari lamanya. Bila jangka waktu itu kita tidak melihat adanya bulukkan / jamuran ( kontaminasi ) di atas agar-agar, maka botol-botol tadi sudah siap untuk dipakai buat penebaran biji-biji anggrek.

Bila ada kontaminasi dalam botol tersebut oleh cendawan atau bakteri, maka kita harus membuat yang baru masakannya. Jadi media yang akan ditaburi biji-biji anggrek tersebut harus bersih. Kita masukkan botol-botol ini ke dalam enkast ( kotak penyemai ), almari kayu dengan permukaannya terbuat dari kaca untuk penebaran. Selanjutnya di dalam enkast tadi selain botol media, juga disediakan larutan kaporit 6 % dalam botol obat a 200 cc, lampu spritus, jarum ose, kapas, pipet, aquadestilata, kertas filter. Biji anggrek yang kita buka, kita masukkan ke dalam tabung reagensi ukuran pendek 10 cc atau botol kecil bekas obat penicelin. Kemudian kita tuangkan larutan kaporit tadi, kita kocok selama 2 – 3 menit, dan dengan menggunakan jarum ose yang sudah dibakar terlebih dahulu dengan lampu spritus, kita ambil biji-biji anggrek tersebut dan tebarkan ke dalam botol di atas media agar.

Bila masih banyak biji-biji yang yang turun ke dasar larutan kaporit tadi, kita pakai kertas filter yang steril untuk menyaringnya, kita cuci lagi dengan aquadest yang steril, lalu dengan jarum ose kita ambil biji-biji tadi untuk dimasukkan pada media penaburan. Pekerjaan ini harus dilaksanakan dengan cermat, teliti dan cepat. Kita sumbat kembali botol-botol yang sudah diisi biji-biji anggrek dan kita bakar leher dan mulut botol dengan lampu spiritus. Kita putar leher botol tadi ke kiri dan ke kanan di atas api, jangan sampai berhenti di satu titik terlalu lama, yang mengakibatkan dapat pecahnya leher botol tersebut.

Kita keluarkan botol tadi dari enkast dan kita tempatkan di tempat yang terang. Setelah 7 – 10 hari lamanya, biasanya sudah nampak perubahan warna biji anggrek tersebut menjadi hijau muda atau hijau kuning. Ini akan terjadi pada biji-biji yang sehat. Sebelum ditaburkan, di bawah mikroskop dengan pembesaran 50 kali, biji-biji yang sehat nampak berbentuk oval dan ditengahnya ada embryonya yang berwarna kuning. Botol-botol tadi jangan dikenakan sinar matahari langsung, karena benih-benih masih peka dan bila tidak tahan akan menjadi chlorotis ( warnanya hijau akan hilang menjadi putih dan mati ).

Sesudah umur 1 – 1½  bulan dan isi botol sangat padat, kita mengadakan penjarangan ( vespenen ) dengan memindahkan ( transplant 0 tanaman-tanaman tadi ke lain botol yang baru.

Mungkin dari satu botol dapat dijadikan 10 botol atau lebih. Kita mengerjakan ini juga di dalam enkast  yang steril, cara membersihkan dan mengerjakan botol-botol media sama seperti di waktu menanam biji.

Tanaman kecil 1 - 1½ cm tingginya kita pindahkan dengan cermat dan teliti satu per satu, karena bila ada kesalahan dalam mengerjakannya, mungkin berakibatkan kontaminasi, botol-botol menjadi bulukan terserang olah jamur-jamur dan tanaman akan mati.

Pekerjaan ini sudah dapat dianggap berhasil bila botol-botol pindahan yang diisi tadi ditempatkan di tempat yang terang dan melewati waktu 2 – 3 minggu tidak kelihatan adanya kontaminasi.

Sedikit saran mengenai cara menimbang bahan-bahan kimia yang hanya diperlukan sedikit itu. Bilamana saudara tidak memiliki timbangan halus ( balans ), maka saudara dapat membuat stock solution.

Dalam buku ” Home Orchid Growing” oleh Rebecka T. Northen dijelaskan, bahwa menimbang bahan-bahan kimia harus menggunakan “fine balance”.

Bagaimana kiranya bila saudara diharuskan menimbang 0,25 gram, 0,025 gram, 0,0075 gram, kalau saudara kebetulan tidak memiliki fine balance tadi?

Saudara dapat mengerjakannya dengan membuat stock solution seperti di bawah ini :

Buatlah untuk obat-obat yang sedikit penggunaannya masing-masing sebuah stock solution dari kadar 2 % weight volume hingga 1 % w/v.

Contohnya begini :

Timbangkan Magnesium sulfaat ( MgSO4 – 7 H2O ) sebanyak 20 gram larutkan dalam aquadest sehingga 100 cc. Dengan demikian saudara memperoleh 100 cc stock solution yang mengandung 20 gram obat.  Jadi setiap cc solution mengandung 0,2 gram Magnesium sulfaat. Bilamana saudara memerlukan 0,25 gram, saudara ambil 1,25 cc stock solution dengan menggunakan alat suntik.

Bilamana saudara memerlukan larutan yang lebih tipis lagi, buatkan yang 1 % stock solution w/v.

Buatkan stock solution untuk tiap obat, harap disimpan dalam botol-botol sendiri-sendiri sebaiknya botol yang berwarna coklat, jangan mencampur stock solution menjadi satu. Sekian dulu, selamat rajin bekerja dan sukses.



Literatur :

Anggrek di Indonesia oleh Yap, S. T. Dan R. Herawan, 1962.

The Orchids I oleh Carl L Withner, 1959.

P.A.I bulletin no V thn. ke. 2, 1958.

MENGENAL TENTANG IDE DASAR KULTUR JARINGAN TUMBUHAN

Pengantar
Manusia mempunyai sifat-sifat yang khas antara lain, manusia selalu ingin belajar, manusia mempunyai sifat selalu bermasyarakat, selalu ingin makan dan seterusnya.(Suryowinoto, 1990).
Karena manusia selalu ingin makan, maka harus selalu tersedia makanan. Sesuai dengan asalnya bahwa manusia adalah sebagai produk dari evolusi hutan, maka kebutuhan makan semula hanya dicari dari hasil hutan, maka kebutuhan makan semula hanya dicari dari hasil hutan berupa tanaman dan hewan yang dapat dimakan. (Suryowinoto, 1990).
Lama kelamaan tidak cukup jika manusia hanya mengumpulkan hasil hutan untuk dimakan. Manusia mulai berusaha menanam dan memelihara hewan untuk persediaan makanannya. Dimulailah budidaya pertanian. (Suryowinoto, 1990).
Manusia belum puas dengan hanya memindahkan tanaman-tanaman liar yang ada di hutan yang kemudian dipelihara secara besar-besaran. Mereka memilih atau menyeleksi jenis-jenis tanaman yang dapat memenuhi kebutuhan, karena hasilnya lebih banyak, rasanya lebih enak, lebih mudah dipelihara, tidak mudah terserang hama dan penyakit. Mulai dikembangkan pula tanaman-tanaman baru dengan penyilangan, agar lebih memenuhi kebutuhan manusia. Disinilah sudah dimulai dengan pemuliaan tanaman. (Suryowinoto, 1990).
Salah satu ciri dari makluk hidup atau organisme adalah mempunyai kemampuan untuk mempertahankan generasinya dengan cara memperbanyak diri. Dan kemampuan memperbanyak dii ini biasa disebut dengan istilah “Pembiakan”. Pembiakan tumbuhan ada dua bentuk. Adapun bentuk yang pertama adalah pembiakan secara generatif yang disebut juga pembiakan kawin atau pembiakan sexual. Sedangkan bentuk pembiakan yang lainnya adalah pembiakan secara vegetatif dan disebut juga dengan istilah pembiakan tidak kawin atau asexual. Baik pembiakan generatif maupun vegetatif dapar terjadi secara alamiah ataupun secara buatan manusia. Dan untuk pembiakan yang buatan manusia biasa disebut dengan istilah lain yaitu “ Propagasi”. Dan dari istilah propagasi ini lalu kemudian muncul istilah “ Propagasi generatif” untuk cara manusia memperbanyak tumbuhan secara kawin atau sexual. Dan “Propagasi vegetatif” untuk cara manusia memperbanyak tumbuhan secara tidak kawin atau asexual. ( Katuuk, 1989 )
Di dalam propagasi generatif, tumbuhan baru akan muncul setelah tejadi perpaduan antara gamet jantan dan gamet betina dari tumbuhan induk, yang kemudian akan berkembang menjadi biji. Peristiwa perpaduan antara gamet jantan dan gamet betina ini biasa disebut dengan istilah penyerbukan. Proses ini terjadi di dalam suatu organ tumbuhan tertentu yaitu bunga. Bunga adalah satu bentuk differeniasi pucuk dimana ruasnya ( ruas = internode ) menjadi pendek. Pada setiap buku ( buku = nodus ) daun yang sudah termodifikasi muncul dan berfungsi dalam satu jalinan pekerjaan yaitu polinasi, fertilisasi, pembentukan zygote serta perkembangan embrio. Dalam hal ini tumbuhan baru hasil perkawinan mempunyai sifat genetic yang berbeda dengan induknya. Turunan ini menunjukkan sifat yang baru, yang merupakan hasil kombinasi gen ( pembawa sifat ) ketika mengalami pembelahan meiosis. ( Katuuk, 1989 )
Pembiakan generatif ini sangat berguna untuk mencari sifat-sifat unggul. Dalam keadaan biasa cara pembiakan ini tidak dapat dipastikan mampu menghasilkan tumbuhan baru yang identik dengan induknya. Sehingga cara pembiakan generatif ini tidak dapat dipergunakan untuk mempertahankan sifat-sifat unggul yang sudah dimiliki. ( Katuuk, 1989 )
Kemudian cara pembiakan yang berikutnya adalah pembiakan tidak kawin atau pembiakan vegetatif. Bentuk pembiakan vegetatif ini dapat tebagi menjadi dua cara, yaitu pembiakan vegetatif alamiah dan cara pembiakan vegetatif non alamiah atau buatan manusia. ( Kattuk, 1989 )
Bentuk pembiakan vegetatif yang alamiah yang dikenal banyak orang adalah pembiakan tumbuhan dengan tunas akar, tunas batang, dan tunas daun, misalnya umbi lapis ( bulb ), umbi palsu ( corm ), umbi batang ( tuber ), umbi akar ( tuberous root ), serta gerragih. ( Katuuk, 1989 )
Bentuk pembiakan tidak kawin non alamiah atau propagasi vegetatif dilakukan oleh manusia. Bentuk pembiakan non alamiah yang sudah lama dipraktekan oleh manusia adalah setek baik dari akar, batang maupun daun. Selain itu adalah cangkok serta okulasi. Tehnik propagasi konvensional ini menggunakan potongan organ atau jaringan yang relative besar. Oleh karena itu cara perbanyakan seperti ini biasa disebut dengan istilah “makropropagasi”. ( Katuuk, 1989 )
Berbeda dengan cara pembiakan generatif, pada cara pembiakan vegetatif ini dapat menghasilkan tumbuhan baru yang sifatnya sama persis dengan sifat induknya. Hal ini disebabkan olah karena hasil perrbanyakan tidak berasal dari peleburan sel kelamin. Dengan demikian pembiakan vegetatif mempunyai manfaat dimana sifat tumbuhan induk yang diingini dapat dilestarikan. Sifat unik tumbuhan induk dapat dilestarikan dengan jalan pekembangan dan multiplikasi sel dimana gen dikopi tepat sama pada setiap pembelahan sel ( mitosis ). Setiap tumbuhan baru yang dihasilkan dinamakan “ramet”. Ramet merupakan hasil kelanjutan turunan sel soma dari satu individu. Selanjutnya sekumpulan tumbuhan yang banyak dihasilkan secara asexual dinamalan “klon”. ( Katuuk, 1989 ) Dan Pierik telah merumuskan untuk klon adalah suatu kelompok sel, kelompok jaringan, atau kelompok tumbuhan yang dalam prinsipnya secara genetic adalah identik. Dan klon ini tidak perlu harus homogen. Di sini cloning atau menghasilkan klon adalah budidaya dengan tehnik kultur jaringan tumbuhan yang paling sukses.
Selain dari sifat yang dapat dilestarikan, pembiakan vegetatif dapat memberikan hasil yang lebih cepat bila dibandingkan dengan cara generatif. ( Katuuk, 1989 )
Dari sekian banyak tehnik budidaya tumbuhan yang dikenal luas oleh masyarakat salah satunya adalah tehnik budidaya tumbuhan kultur jaringan tumbuhan. Salah satu keuntungan dari tehnik kultur jaringan tumbuhan ini adalah dapat dipergunakan untuk pebanyakan tumbuhan secara vegetatif yang efektif dan ekonomis, terutama bila digunakan untuk perbanyakan tumbuhan dalam sekala besar-besaran. Tehnik kultur jaringan ini dalam memperbanyak tumbuhan dengan menggunakan sel, jaringan atau potongan organ tumbuhan. Sel, jaringan atau organ yang dipergunakan biasa disebut dengan istilah “eksplan” dan diletakkan pada media tertentu dalam kondisi yang aseptic. Dan oleh karena kecilnya ptongan tumbuhan yang dipergunakan dalam tehnik pebanyakan ini maka kemudian cara ini dinamakan dengan istilah “mikropropagasi”. ( Katuuk, 1989 )
Dan pada saat ini tehnik kultur jaringan tumbuhan ini semakin memegang peranan penting di bidang tehnologi bercocok tanam modern. Tehnik ini mampu melipat gandakan sel dan jaringan yang berasal dari satu induk untuk ditumbuhkan menjadi sejumlah besar tumbuhan yang sempurna. ( Wetherell, 1982 )
Tehnik kultur jaringan tumbuhan merupakan suatu terobosan baru dalam metode penyediaan bibit tumbuhan secara vegetatif yang seragam dan dalam waktu relative singkat dapat dihasilkan jumlah bibit yang banyak. Budidaya jaringan ini merupakan evolusi di bidang bioteknologi yang kompleks dan banyak manfaatnya. Penyediaan bibit pada anggrek merupakan sukses petama. Di mana pada penyediaan bibit anggrek ini dari satu mata tunas yang ditanam dengan metode liquid agitatik, dalam waktu satu tahun dapat dihasilkan 10 juta tumbuhan anggrek ( Suryowinoto, 1987 )
Tehnik kultur jaringan tumbuhan ini ide dasarnya berawal dari usaha untuk memperbanyak tumbuhan dengan jalan menumbuhkan sebagian kecil jaringan atau organ. Ide tersebut muncul dari pendapat bahwa tumbuhan tinggi terdiri dari sekumpulan sel. Sel-sel yang sama bentuk dan fungsinya membentuk jaringan yang melakukan tugas tertentu pada setiap organ dalam tubuh tumbuhan. Lalu sel-sel ini mempunyai kemampuan untuk melakukan seluruh proses hidup. Kemampuan sel ini disebut dengan istilah “Totipotency”. Dan kemampuan alamiah untuk berproduksi sendiri tanpa perkawinan sel jantan dan sel betina inilah yang mendasari orang untuk memperbanyak tumbuhan dengan mengkulturkan jaringan tumbuhan. ( Katuuk, 1989 )
Sel-sel somatic dari bebagai bagian tumbuhan, bila ditumbuhkan dalam kondisi yang sesuai dapat berkembang menjadi tumbuhan yang utuh. Sel-sel ini memiliki kemampuan untuk berkembang seperti yang teramati pada zygote. ( Bidwell, 1979 ) Meskipun demikian tidak semua sel dalam tumbuhan dewasa mempunyai sifat totipotency, karena banyak sel misalnya sel trachea dan serabut tracheida yang tidak mengandung sitoplasma dan nucleus ( Esau, 1979 )
Akan tetapi pada kenyataannya tidak semua sel tumbuhan dapat menjadi muda kembali, hal ini dikarenakan oleh karena masing-masing memiliki pola-pola khusus yang terbentuk secara irreversible, seperti misalnya pembentukan dinding sel yang tidak dapat larut. Walaupun demikian tidak menutup kemungkinan bahwa semua jaringan tumbuhan mengandung sel-sel yang bersifat totipotency bila diletakkan dalam kondisi yang sesuai ( Bidwell, 1979 ). Dan apabila kondisi petumbuhannya sesuai maka dari potongan kecil tumbuhan tadi akan dapat dihasilkan beratus-ratus, beribu-ribu, bahkan berjuta-juta tumbuhan. ( Suryowinoto, 1987 )
Setiap sel tumbuhan yang hidup mengandung kepenuhan informasi genetic yang diperlukan untuk membentuk tumbuhan yang utuh. Sel-sel ini tidak kehilangan informasi genetic dalam perkembangannya, akan tetapi kemampuan untuk menggunakan informasi genetic dapat semakin menurun. Jadi jelas bahwa setiap sel memiliki kemampuan untuk tumbuh sempurna atau yang disebut sebagai kemampuan morfogenik seperti yang dimiliki oleh zygote. Secara alamiah material genetic mengalami penggandaan dan terbagi sama kepada sel-sel anakannya dalam peristiwa mitosis. ( Bidwell, 1979 ; Burgess, 1985 )
Penerapan kultur jaringan dalam pembuatan kultur dari sel tanaman, jaringan dan organ untuk memecahkan masalah-masalah dalam lapangan pertanian dan ilmu pengetahuan cenderung makin banyak dilakukan pada dekade terakhir ini. Kecenderungan ini terutama jelas dirasakan pada kultur jaringan yang mempunyai tujuan ekonomis. Meskipun pada mulanya aplikasi untuk tujuan ekonomis tersebut hanya pada produksi tanaman hias dan produksi bunga, sekarang telah banyak kemajuan dengan adanya usaha untuk memproduksi benih tanaman, pohon-pohon hutan, dan berbagai hasil pertanian, dengan skala besar. Banyak penelitian yang sedang dilakukan dalam reproduksi dari biomasa karet, tanaman penhasil minyak, demikian juga dalam usaha perbanyakan spesies-spesies tanaman yang hampir punah dan tanaman yang berguna untuk pemanfaatan kembali lahan-lahan yang telah tidak dapat digunakan. (Whaterel, 1982).
Meskipun metoda dasar dari kultur jaringan tidaklah sangat sophisticated dan sukar untuk dipelajari, tetapi biasanya tidak diajarkan pada para horticulturis, pemeliharaan hutan, pemelihara benih, petani dan lain-lain yang sekarang menjadi tertarik akan metoda kultur jaringan ini. Metoda tersebut juga kemungkinan menarik perhatian para petani amatir yang akan mencoba melakukan kultur jaringan sebagai hobi. Karena itu dibutuhkan suatu petunjuk singkat yang akan menerapkan metoda tersebut, pada bidang-bidang yang diminati. Untuk keperluan itu penulis menyajikan suatu tulisan, sebagai hasil dari pengalaman selama beberapa tahun melakukan kultur jaringan dari berbagai spesies tanaman. (Whaterel, 1982).
Pada tulisan ini dibuat sedemikian rupa sehingga mudah dimengerti oleh mereka yang bukan ahli (non spesialis).

Kultur Jaringan Metode Pertanian Yang Effisien
Kebutuhan akan tanaman yang memiliki manfaat tertentu meningkat sangat pesat. Sayangnya pertanian konvensional tidak mampu menyediakan bibit berkualitas unggul dalam waktu singkat dan dalam jumlah yang memadai.
Kultur jaringan adalah metode pertanian modern yang diharapkan dapat menjawab persoalan tersebut.
Kultur jaringan bila diartikan ke dalam bahasa Jerman disebut Gewebe kultur atau tissue culture (Inggris) atau weefsel kweek atau weefsel cultuur (Belanda).
Kultur jaringan memegang peranan penting dalam bidang teknologi bercocok tanam modern. Teknik ini mampu melipat andakan sel dan jaringan yang berasal dari satu induk untuk ditumbuhkan menjadi sejumlah besar tanaman sempurna. (Whaterel, 1982).
Pada dasarnya tanaman memiliki dasar regenerasi yang kuat. Hal ini telah lama disadari yaitu sejak mulai adanya ilmu bercocok tanam. Dasar pengetahuan yan bersumber dari penelitian-penelitian daya regenerasi tersebut kemudian menjadi titik tolak berkembangnya industry perbanyakan tanaman.
Dalam perkembangannya sekarang, muncullah suatu era baru, yaitu bila sel-sel, jaringan, atau organ tanaman ditanam secara kultur jaringan dengan menggunakan larutan bahan makanan sintetik, ternyata dapat beregenerasi menjadi tunas dan akar, yang selanjutnya dapat berkembang menjadi tanaman normal yang mampu hidup mandiri. (Whaterel, 1982).

Prinsip-Prinsip Dasar Kultur Jaringan Tumbuhan
Kultur jaringan tumbuhan adalah metode perbanyakan tanaman menggunakan jaringan tubuhnya sendiri sehingga tanaman baru yang dihasilkan memiliki semua sifat sama seperti induknya.
Kultur jaringan sekarang ini telah merupakan salah satu teknik perbanyakan tanaman yan mengunakan sel atau jaringan atau organ. Sel, jaringan atau organ tanaman tersebut dikulturkan pada media tertentu dalam kondisi aseptik. Potongan jaringan atau organ yang dikulturkan ini dinamakan eksplan. Oleh karena kecilnya potongan ini maka teknik kultur jaringan juga disebut dengan istilah micropropagasi. (Katuuk, 1989).
Kultur jaringan dilakukan dengan berpegang pada prinsip-prinsip dasar yaitu :
1. Totipotensi : adalah kemampuan setiap sel (darimana saja sel tersebut diambil) untuk tumbuh menjadi tanaman yang sempurna apabila diletakkan di lingkungan yang sesuai.
Ide memperbanyak tanaman dengan jalan mengkulturkan bagian kecil jaringan atau organ tanaman ini muncul dari pendapat bahwa tanaman tinggi terdiri dari sekumpulan sel. Sel-sel yang sama membentuk jaringan yang melakukan tugas tertentu pada setiap organ dalam tubuh tanaman. Sel-sel ini mempunyai kemampuan untuk melakukan semua proses hidup. Kemampuan sel ini disebut dengan istilah “totipotency”. Kemampuan alamiah untuk berproduksi sendiri tanpa perkawinan sel jantan dan betina inilah yang mendasari orang memperbanyak tanaman dengan mengkulturkan jaringan. (Katuuk, 1989)
Sel-sel somatik dari berbagai bagian tanaman, bila ditumbuhkan dalam kondisi yang sesuai dapat berkembang menjadi tanaman baru yang utuh. Sel yang demikian itu sebagai sel yang totipoten, dan sel-sel itu memiliki kemampuan untuk berkembang seperti yang teramati pada zigot. ( Bidwell, 1979).
Pada kenyataannya tidak semua sel tumbuhan dapat menjadi muda kembali, oleh karena masing-masing memiliki pola-pola khusus yang terbentuk secara irreversible, seperti misalnya pembentukan dinding sel yang tidak dapat larut.
Walaupun demikian tidak menutup kemungkinan bahwa semua jaringan tanaman mengandung sel-sel yang bersifat totipotensi bila diletakkan dalam kondisi yang sesuai. (Bidwell, 1979).
Setiap sel tanaman yang hidup mengandung kepenuhan informasi genetic yang diperlukan untuk membentuk tanaman yang utuh. Sel-sel ini tidak kehilangan informasi genetic dalam perkembangannya, tetapi kemampuan untuk menggunakan informasi genetik dapat semakin menurun. Jadi jelas bahwa setiap sel memiliki kemampuan untuk tumbuh menjadi sempurna atau yang disebut sebagai kemampuan morfogenetik seperti yang dimiliki oleh zigot. Secara alami material genetik mengalami penggandaan dan terbagi sama kepada sel-sel anakannya dalam peristiwa mitosis (Bidwell, 1979; Burgess, 1985).
2. Kompetensi : adalah kemampuan sel atau jaringan untuk tumbuh dan berkembang dalam perlakuan kultur jaringan.
Kompetensi menggambarkan potensi endogen dari sel atau jaringan untuk tumbuh dan berkembang dalam satu jalur tertentu. Cantohnya embrioagenikali kompeten cel adalah kemampuan untuk berkembang menjadi embrio funsional penuh. Sebaliknya adalah non-kompeten atau morfogenetikali tidak mempunyai kemampuan.
3. Redifferensiasi : adalah kemampuan sel-sel dewasa untuk kembali bersifat embrionik kemudian tumbuh menjadi organ baru.
Jadi setiap sel mempunyai kemampuan redifferensisasi yang merupakan kemampuan sel-sel masak (mature) untuk kembali menjadi ke kondisi meristematik dan dan berkembang dari satu titik pertumbuhan baru yang diikuti oleh rediferensiasi yang mampu melakukan reorganisasi manjadi organ baru.
Oleh karena proses ini dilakukan di dalam kaca, maka kultur jaringan disebut juga in vitro. (In vitro artinya terpisah dari induk, tetapi dalam bahasa latin artinya yang lebih tepat ialah di dalam gelas). Dengan demikian istilah “mikropropagasi”, kultur jaringan, in vitro serta perbanyakan klon, semuanya mempunyai arti yang sama yaitu : teknik perbanyakan tanaman dengan menggunakan potongan kecil jaringan atau sel yang dipelihara dalam satu medium dan dikerjakan seluruhnya dalam kondisi asetik. (Katuuk, 1989).
Kultur jaringan tanaman merupakan suatu metode atau teknik mengisolasi bagian tanaman (protoplasma, sel, jaringan, dan organ) dan menumbuhkannya pada media buatan dalam kondisi aseptik di dalam ruang yang terkontrol sehingga bagian-bagian tanaman tersebut dapat tumbuh dan berkembang menjadi tanaman lengkap (sempurna) dengan adanya sifat totypotensi yang dimiliki oleh setiap sel penyusun jaringan atau organ tanaman..
Jadi pada dasarnya kultur jaringan tanaman memiliki prinsip dasar yang tidak terlepas dari :
Totipotensi sudah banyak diterangkan di atas bahwa dari bagian manapun sel, jaringan atau organ itu diamil bila diletakkan di kondisi lingkungan yang sesuai akan tumbuh menjadi tanaman baru yang sama dengan induknya.
Aseptik di sini semua yang dikerjakan selama proses kultur jaringan dilakukan dalam kondisi aseptik atau steril.
Terkendali di sini bawasannya eksplan yang kita tanam pertumbuhannya dikendalikan oleh nutrisi yang ada di dalam media yang berupa hormon tumbuh dan tumbuh di dalam ruangan yang terkontrol semuanya.
Dan oleh karena proses perbanyakan tumbuhan secara kultur jaringan ini dilakukan di dalam kaca, maka tehnik kultur jaringan ini disebut juga dengan istilah “Tehnik In Vitro”. Tehnik In Vitro artinya terpisah dari induk, tetapi dalam bahasa latin artinya yang lebih tepat adalah di dalam gelas. ( Katuuk, 1989 ) Selain itu ada yang mengartikan “in vitro” adalah diluar lingkungan hidupnya dengan bantuan larutan bahan makanan sintetik, ternyata beregenerasi menjadi tunas dan akar, yang selanjutnya dapat bekembang menjadi tumbuhan nomal yang hidup mandiri. ( Wetherell, 1982 )

Dengan demikian istilah mikropropagasi, kultur jaringan, in vitro, serta perbanyakan klon semuanya mempunyai arti yang sama yaitu tehnik pebanyakan tumbuhan dengan menggunakan potongan kecil jaringan atau sel yang dipelihara dalam satu medium dan dikerjakan seluruhnya dalam kondisi aseptic. ( Katuuk, 1989 )
Budidaya kultur jaringan ini dapat dikerjakan dengan bermacam-macam cara, misalnya :
1. Embrio culture ( pada anggek )
2. Seed culture ( pada anggrek )
3. Meistem culture
4. Suspension culture dan atau cell culture
5. Anther dan pollen culture
6. Ovules culture, flower bud culture
7. Protoplasts culture
8. Somatic cross
9. Pathogen free tissue culture
10. Penggunaan budidaya jaringan untuk menghasilkan metabolit sekunder
( Suryowinoto, 1989 )
Menurut Pierik jika terhadap suatu tumbuhan tertentu dilakukan perbanyakan klon secara in vitro ada beberapa hal persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu :
1. Adanya stabilitas genetic ( tidak ada atau tidak mudah bermutasi )
2. Pemeriksaan bahan tumbuhan yang teliti, terutama bebas penyakit.
3. Secara ekonomis dapat dibenarkan, bahwa cara in vitro lebih ekonomis daripada cara in vivo.
4. Pemindahan bibit dari tabung reaksi atau botol ke tanah tidak boleh terlalu sukar ( complicated ), tetapi berjalan mulus tanpa kehilangan dan kematian yang bearti.
5. Cara pebanyakan in vitro praktis dan tidak berbelit-belit, sehingga mudah dilakukan dalam praktek.
6. Meskipun cloning ini berhasil, untuk mengendalikan genetic erotionsebaiknya dihindarkan pertanaman satu macam klon saja atau monoclonal, tetapi mengusahakan pertanaman yang multiclonal, sebab pertanian atau perkebunan monoclonal sangat berbahaya kalau ada eksplosi hama dan penyakit.
7. Hasil cloning harus normal seperti induknya, dapat tumbuh, berbunga, berbuah normal.
8. Mempertahankan sifat-sifat induknya yang khas.
( Suryowinoto, 1989 )
Di sini kloning atau menghasilkan klon adalah budidaya kultur jaringan yang paling sukses. Apa yang dimaksudkan dengan klon. Pierik merumuskan untuk klon adalah suatu kelompok sel, kelompok jaringan atau kelompok tanaman yang dalam prinsipnya secara genetic adalah identik. Klon tidak perlu harus homogen. (Suryowinoto, 1990).
Jika terhadap suatu tanaman tertentu diadakan kloning secara kultur jaringan sebaiknya memenuhi beberapa persyaratan yaitu :
1. Adanya stabilitas genetik ( tidak ada atau tidak mudah bermutasi )
2. Pemeriksaan bahan tumbuhan yang teliti, terutama bebas penyakit.
3. Secara ekonomis dapat dibenarkan, bahwa cara in vitro lebih ekonomis daripada cara in vivo.
4. Pemindahan bibit dari tabung reaksi atau botol ke tanah tidak boleh terlalu sukar ( complicated ), tetapi berjalan mulus tanpa kehilangan dan kematian yang bearti.
5. Cara pebanyakan in vitro praktis dan tidak berbelit-belit, sehingga mudah dilakukan dalam praktek.
6. Meskipun kloning ini berhasil, untuk mengendalikan genetic erotionsebaiknya dihindarkan pertanaman satu macam klon saja atau monoclonal, tetapi mengusahakan pertanaman yang multiclonal, sebab pertanian atau perkebunan monoclonal sangat berbahaya kalau ada eksplosi hama dan penyakit.
7. Hasil kloning harus normal seperti induknya, dapat tumbuh, berbunga, berbuah normal.
Mempertahankan sifat-sifat induknya yang khas.
(Suryowinoto, 1990)

Penelitian Awal Kultur Jaringan
Sejarah kultur jaringan sebenarnya sejalan dengan sejarah perkembangan botani. Beberapa ahli jaman dulu sudah meramalkan bahwa perbanyakan kultur jaringan dapat dilaksanakan. Pemikiran ini didasarkan pada penemuan para ahli yan mendahului mereka serta penemuan mereka sendiri. (Katuuk, 1989).
Pada abad 17 seorang ahli matematika Robert Hooke telah menemukan sel. Ia mengatakan bahwa sel-sel dapat disamakan denan batu-batu bangunan alamiah. Kemudian pada tahun 1838 -1839, seorang ahli Biologi M. V. Schleiden dan Theodore Schwann yang telah menjuruskan perhatiannya pada kehidupan sel, menemukan satu konsep baru, bahwa satu sel dapat tumbuh sendiri walaupun telah terpisah dari tanaman induknya. Mereka mengemukakan bahwa segala peristiwa rumit yang terjadi dalam tubuh organisme selama hidup, bersumber pada sel. Dari konep inilah tumbuh pernyataan bahwa satu sel mempunyai kemampuan untuk berkembang. Sel berkembang dengan jalan regenerasi sehingga pada satu saat akan terbentuk satu tanaman sempurna. Kemampuan regenerasi ini disebut “totipotency”. (Katuuk, 1989).
Beberapa ahli yang juga telah bekerja mengisi sejarah perkembangan Botani abad 19, adalah Charles Darwin, Louis Pasteur, Justus Van Liebig, Johan Knopp, dan Rechinger. Charles Darwin dikenal dengan julukan “raja penamat”, menemukan hormone pada koleoptil sebangsa rumput. Kemudian Louis Pasteur yan menentang aliran “generatio spontanea” mengemukakan pentingnya sterilisasi. Pada akhir abad 19, Johan Knopp (1817 – 1891) menemukan 10 unsur hara yan penting bagi pertumbuhan tanaman. Dengan penemuannya ini ia dikenal dengan “Knop’s Solution”, beberapa tahun setelah Knopp, Rechinger (1893) telah mencoba mengambil potongan kecil batang poplar dan beet, kemudian memelihara bahan-bahan ini di atas kertas filter lembab. Dari percobaan ini ia menemukan pertumbuhan kalus. Denan mengurangi ukuran potongan tanaman akhirnya ia mengambil kesimpulan bahwa ukuran yan paling baik adalah ukuran kecil namun tidak kuran dari 1,5 cm. (Katuuk, 1989).
Kira-kira pada permulaan abad ini, beberapa ahli botani mengembangkan suatu teori, bahwa sel atau jaringan tanaman pada dasarnya dapat ditanam secara terpisah dalam suatu kultur. Sel dan jaringan yang ditanam dengan cara ini memiliki kemampuan untuk regenerasi bagian-bagian yang diperlukan, dalam upayanya untuk bisa tumbuh dengan normal, membentuk kembali menjadi tanaman yang utuh. (Whaterel, 1982).
Dengan kata lain, bahwa di dalam masing-masing sel tanaman mungkin mengandung informasi genetik atau sarana fisiologis tertentu yang mampu membentuk tanaman lengkap bila ditempatkan dalam lingkungan yang sesuai. Kemampuan inilah yang kemudian dikenal sebagai totipotensi. (Whaterel, 1982).
Pada permulaan abad ke 20 konsep totipotensi terus dikembangkan. Gottlieb Hamberlant seorang ahli Botani bangsa Jerman pada tahun 1902 melanjutkan konsep totipotensi ini secara bersungguh-sungguh. Ia menekankan bahwa embrio tanaman dapat tumbuh dengan jalan memelihara sel-sel veetatif. Walaupun percobaannya gagal namun ia memastikan bahwa sifat totipotensi yan dimiliki oleh sel menyebabkan sel dapat dipisahkan dan dipelihara pada media tumbuh. Bila medianya cocok, sel yang dipisahkan itu akan melanjutkan kehidupannya dan berkembang menjadi satu tanaman baru (Kyte 1987, dalam Katuuk, 1989).
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk membuktikan pendapat ini. Namun pada saat itu belum berhasil, karena kurangnya pengetahuan para peneliti, khususnya dalam hal kebutuhan nutrisi dan hormone untuk pertumbuhan. Baru beberapa waktu kemudian, yaitu sejak diketemukannya dua macam hormon tanaman, yaitu asam indol asetat dan asam naftalenasetat, telah mulai berhasil dilakukan kultur organ (1920). kultur jaringan (1939). Hingga sekarang kedua hormon tanaman tersebut diyakini memiliki peranan sangat penting artinya dalam kultur jaringan modern. Pada masa-masa tersebut, yaitu masa-masa awal dimana era kultur jaringan baru mulai dikenal, jarang sekali orang dapat berhasil melakukan regenerasi akar, pucuk tanaman, dan organ tanaman lain secara kultur jaringan, sehingga pada saat itu orangpun mulai mempertanyakan kebenaran teori totipotensi tersebut. (Whaterel, 1982).
Sesudah Hamberlant, menjalani tahun-tahun pada abad 20, penelitian tentang kultur jaringan tanaman berkembang pesat. Berikut ini adalah rentetan peristiwa penting yan mengisi sejarah perkembangan kultur jaringan sesudah Hamberlant, dirangkum dari Pierik, (1987), Gautherett (1982), dan Butenko (1968). Keterangan ini disusun secara sistematik menurut tahun penemuan :
1922 Knudson menemukan germinasi asimbiotik biji tanaman angrek secara in vitro.
Pengembangan metode kultivasi kultur jaringan dimulaikan oleh dua oran saintis yang sudah bertahun-tahun berusaha bekerja di bidan ini. Mereka adalah White P., dan Gautheret R.
1934 White P., sesudah bertahun-tahun gagal, pada tahun ini berhasil mengkulturkan ujung akar tomat.
Pada tahun yang sama Gautheret L., mengkulturkan in vitro jaringan kambium tanaman Acer pseudoplanatus, Salix caparaea, dan Sambucus nigra. Pada saat ini ide tentang kultur jaringan dapat dikatakan sudah tercapai namun oleh karena eksplant tidak dipindahkan ke media yang baru, maka perkembangan terhenti sesudah berumur 15 – 18 bulan. Dikatakan bahwa pada saat itu media ternyata kekurangan beberapa unsur yang berfungsi untuk pembelahan sel.
1939 P. R. White seorang peneliti dari Amerika (yang sekarang dianggap sebagai Bapak Kultur Jaringan) melaporkan sejumlah hasil penelitiannya tentang keberhasilan ia menumbuhkan sejumlah tunas dari potongan-potongan kalus tembakau yan ditanam dalam medium cair. (Whaterel, 1982).
Walaupun sampai saat itu ia belum berhasil menumbuhkan akar dari tunas-tunas yang diteliti, suatu lankah maju di bidang perbanyakan kultur jaringan telah berhasil dicapai dalam upaya untuk membuktikan sebagian kebenaran dari teori totipotensi. (Whaterel, 1982).
1940 Seorang ahli yang lain, Folke Skoog, ahli fisiologi tanaman dari Universitas Winconsin pada tahun melanjutkan penelitian-penelitian yang dilakukan White dan telah berhasil membuktikan, bahwa hormon-hormon auksin, yaitu IAA dan NAA (yang pada waktu itu dikenal sebagai pemacu pertumbuhan akar dari potongan-potongan dahan), ternyata mampu menghambat awal pertumbuhan tunas. Selanjutnya dengan percobaan-percobaannya menggunakan kultur jaringan tembakau, dia mulai mencari senyawa-senyawa kimia yang dapat berinteraksi dengan senyawa-senyawa auksin serta senyawa-senyawa yang memacu pertumbuhan tunas. (Whaterel, 1982).
1941 Van Overbeek mula-mula menggunakan air kelapa (yang mengandung faktor perangsang pembelahan sel) dalam mengkulturkan embrio Datura.
1943 White menerbitkan bukunya “A Handbook of Plant Tissue Culture” yang memuat pengetahuan serta hasil penemuan pada jaman itu.
1944 Skoog mula-mula mendapatkan tunas adventif dari hasil kultur jaringan.
1945-1946 Loo Shi Wei, pertama-tama mengkulturkan apex batang.
1949 Vaccin dan Went menciptakan medium Vacin dan Went.
1950 Folke Skoog bersama-sama dengan muridnya berhasil menemukan adanya efek pemacu pembentukan tunas yang disebabkan oleh senyawa-senyawa fosfat anorganik maupun senyawa-senyawa organic, yaitu adenine dan adenosin. (Whaterel, 1982).
1952 Morel dan Martin pertama-tama menemukan dahlia yan bebas virus dari hasil kultur meristem.
1954 Muir et al pertama-tama mendapatkan tanaman dari kultur sel. Wetmore, R. H., dan Sorkin S., mengembangkan teori Hamberlant tentang organogenesis yan sekarang dikenal dengan mikropropagasi.
1955, kelompok Skoog menemukan kinetin, yaitu hormone golongan sitokinin yang pertama kali ditemukan. (Whaterel, 1982).
1957 Skoog dan Miller melaporkan hasil penelitian mereka yang sekarang telah dianggap klasik,yaitu mengemukakan ratio sitokinin dan auxin untuk mengatur pembentukkan organ. Mereka menulis satu artikel tentan “Chemical Regulation of Growth and Organ Formulation in Plant Tissue Cultured in Vitro” mengenai keterkaitan kedua golongan hormone, auksin dan sitokinin dalam pengaturan regenerasi akar dan tunas. Penelitian ini selanjutnya menjadi landasan berbagai upaya pembiakan secara kultur jaringan. (Whaterel, 1982). Skoog menyadari besarnya potensi ekonomi dari hasil penelitian-penelitiannya, selanjutnya semakin menekuni bidang kultur jaringan bersama-sama murud-murid dan teman-temannya. (Whaterel, 1982).
Torrey J. C., mendemonstrasikan pembelahan sel yang diisolasikan.
1958 Reinert dan Steward, menemukan regenerasi proembrio dari suspensi sel Daucus carota.
K. V. Thimann dari Universitas Harvard melaporkan penemuan-penemuannya pada beberapa kali penerbitan yang dimulai tahun 1958, bahwa hormon-hormon sitokinin mampu melawan efek pertumbuhan tunas apical. Dan mereka berhasil pula membuktikan, bahwa kinetin bersifat memacu pertumbuhan tunas lateral yan biasanya tidak terlihat nyata akibat penaruh dari tunas apical pucuk tanaman. Hal inilah yan selanjutnya menjadi dasar fisiologis dalam upaya meningkatkan jumlah cabang-cabang lateral, yang seperti diketahui sangat penting artinya bai pembiakan secara kultur jaringan. Dalam tahun-tahun berikutnya, banyak peneliti yan memberikan sumbangan pengetahuan yang menunjang keberhasilan usaha pembiakan secara kultur jaringan tersebut.
1960 Cocking E. C., memperoleh sejumlah protoplast dengan jalan degradasi dinding sel menggunakan enzyme.
Morel mempropagasikan tanaman angrek melalui kultur meristem.
1962 Murashige T., dan Skoog F., mengembangkan formulasi media kultur yan amat terkenal dan sampai sekarang dipakai di dunia internasional, yaitu media Murashige-Skoog. (Whaterel, 1982). Di sini peranan Murashige sangat penting artinya, karena selain telah memberi sumbangan pengetahuan dasar kultrur sel dan jaringan, usahanya telah mengarah ke penerapan di bidang pembiakan secara kultur jaringan dalam skala komersial. Murashige bersama murid-muridnya di Universitas California telah menyusun prosedur lenkap pembiakan kultur jaringan dari sejumlah besar spesies tanaman yang diketahui bernilai ekonomi tinggi. Pengembangan hasil karya tersebut selanjutnya mendorong pertumbuhan industri-industri pembiakan secara kultur jaringan di Amerika Serikat. (Whaterel, 1982).
1964 Guha S., dan Maheshwari S. C., mendapatkan embrio haploid yan berkembang dari sel polen tanaman Datura.
1965 Vasil dan Hamberlant, berhasil mendapatkan differensiasi sel tembakau yang diisolasikan.
1967 Bourin J. P., dan Nitch J. P., mendapat tanaman haploid dari kultur serbuk tembakau.
1969 Erickson & Jonassen melakukan isolasi protoplas dari suspensi sel Hapopappus.
1970 Power melakukan fusi protoplas.
1971 Takebe et al mula-mula mendapatkan tanaman hasil regenerasi protoplast.
1977 Chilton, et al berhasil mengintegrasikan DNA T-plasmid dari Agribacterium tumefaciens pada tanaman.
1981 Larkins dan Skowcroft, pertama-tama memperkenalkan variasi somaklonal.
(Katuuk, 1989).
1985 Perkembangan transfer gen pada tanaman berkembang cepat, seperti penggunaan Agrobacterium, particle bombardment (gen gun), electroporasi, mikroinjeksi.
1990 Perkembangan rekayasa genetik dan metabolic pada tananaman berkembang dengan pesat. Pemasaran produk-produk rekayasa genetik.

Jaringan Meristem Untuk Kultur Jaringan Tumbuhan.
Jaringan meristem adalah jaringan muda atau jaringan embrionik yang terdapat pada tanaman dewasa. Jaringan ini yang terdiri atas sel-sel yang selalu membelah sehingga menghasilkan sel-sel baru, dan sel-sel baru ini mempunyai cirri khas berdinding sel tipis, plasmanya penuh, dan vakuolanya kecil-kecil. Ada masa istirahat jaringan meristem pada beberapa tanama, misalnya tanaman parenial yang mengalami dormansi pada musim tertentu, atau pada kuncup aksiler yang mungkin tetap mengalami dormansi selama pertumbuhan aktif. (Sumardi dan Pudjoarinto, 1993).
Beberapa sifat jaringan meristem yaitu :
1. Sel-selnya mempunyai dinding tipis.
2. Bentuk sel isodiametris dengan inti besar.
3. Kaya protoplasma.
4. Tidak mengandung cadangan makanan dan macam-macam Kristal.
5. Olastida dalam bentuk protoplastida.
6. Vakuola kecil-kecil.
(Sumardi dan Pudjoarinto, 1993).
Sumardi dan Pudjoarinto, (1993) membagi dua macam meristem berdasarkan asalnya. Macam-macam meristem tersebut adalah sebagai berikut :
a) Meristem Primer.
Meristem primer yaitu meristem yang terdiri dari sel-sel embriogenik.
b) Meristem Sekunder.
Meristem sekunder adalah meristem yang berasal dari jaringan dewasa yang berubah menjadi embrional kembali. Misalnya cambium dan cambium gabus.
Namun demikian pembagian meristem primer dan sekunder tidak akurat, contohnya cambium pembuluh diketahui sebagai meristem sekunder, padahal cambium ini berkembang pada taraf akhir dari meristem apical yaitu dari bagian prokambium. Contoh meristem sekunder yang mutlak yaitu felogen yang berasal dari sel parenkim atau kolenkim yang telah berdifferensiasi, serta jaringan kalus yang berkembang dalam kultur jaringan yang berasal dari jaringan dewasa. (Fahn, 1991).
Menurut letaknya pada tubuh tumbuhan, meristem dibedakan lagi menjadi :
a) Meristem apical, terletak pada ujung akar dan batang.
b) Meristem interkalar, terletak pada pangkal tiap buku tumbuhan rumput.
c) Meristem lateral, adalah meristem yang sejajar dengan permukaan organ. Misalnya kambium dan felogen.
(Sumardi dan Pudjoarinto, 1993).
Kultur jaringan akan lebih besar presentase keberhasilannya bila mengunakan jaringan meristem oleh karena jaringan meristem selalu membelah sehingga diperkirakan mempunyai zat hormon yang mengatur pembelahan.

Keungulan Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan
Selain mendapatkan turunan yang sama serta relative singkat Conger (1981) menuliskan konsep Hussey dan Fossard, tentang keunggulan pembiakan vegetative melalui kultur jaringan. Keunggulan bibit hasil kultur jaringan tanaman adalah sebagai berikut :
1. Dapat memperbanyak dengan cepat kultivar hibrida baru yang berasal dari satu sel untuk kegunaan komersial.
2. Dapat menciptakan tanaman baru bebas dari penyakit yang disebabkan oleh virus.
3. Dapat memperbanyak tanaman yang sukar diperbanyak dengan memakai biji (sexual).
4. Dapat memperoleh tanaman induk yang sama sifat genetiknya dalam jumlah yang banyak.
5. Dapat menghasilkan tanaman baru sepanjang tahun.
(Katuuk, 1989).
Sedangkan menurut Pierik dalam Suryowinoto (1990) beberapa keuntungan dengan mengadakan kloning in vitro adalah :
1. Jika metode klasik yaitu cara perbanyakan vegetative in vivo gagal atau kurang memuaskan, maka perbanyakan melalui kloning in vitro dapat merupakan salah satu cara yan pentin untuk mempercepat perbanyakan tersebut.
2. Jika suatu tanaman dewasa sulit diadakan perbanyakan in vivo kerap kali mash dapat diperbanyak secara in vitro menjadi tanaman muda yang banyak sekali.
3. Kloning in vitro dapat dikerjakan untuk memperoleh tanaman bebas pathogen (vrus, jamur, dan seterusnya). Dalam kondisi begini cloning in vitro jauh lebih cepat daripada cloning in vivo.
4. Memperoleh mutan baru yang perbanyakannya dengan cara in vivo dianggap terlalu lambat, maka perbanyakan in vitro adalah cara yan baik untuk dipergunakan.
5. Tanaman-tanaman yang diancam punah, sedangkan perbanyakan dengan cara yan ada sangat sulit, maka kerapkali kloning in vitro merupakan suatu penyelesaian yan baik.
6. Kloning in vitro dapat menggantikan perbanyakan vegetative in vivo yang terlalu mahal biayanya atau terlalu lambat perbanyakannya, sehingga yang diperoleh jumlahnya terlalu sedikit atau terlalu lamban. Misalnya cara mencangkok, okulasi, dan penyambungan, perbanyakan dengan tunas akar atau akar rimpang.
7. Dengan kloning in vitro dapat memperoleh jenis-jenis baru dari tanaman yan berupa chimera sektorial atau chimera yang periklinal.
8. Mutan dapat diperoleh secara spontan atau secara induksi dengan sinar maupun zat kimia yang mutagenik. Regenerasi in vitro dari tunas samping atau adventious bud dapat diperoleh mutan yang berharga, karena adventious bud biasanya berasal dari satu sel.
9. Perbanyakan in vitro pada tanaman berbentuk herba dapat dijalankan sepanjang tahun, tidak tergantung musim, sedangkan perbanyakan in vivo sangat dipengaruhi musim.
10. Penyimpanan in vitro (in vitro storage) dapat berguna untuk megadakan gene-bank, terutama bagi tanaman yang sangat berguna. Ini berarti sangat menghemat ruang penyimpanan.
11. Phyto sanitary transport dengan mengangkut calli yan bebas virus atau bebas pathogen dari satu negara ke negara lain menjadi lebih sederhana dan lebih mudah, jika diperunakan penyimpanan dalam temperatur rendah atau dengan cara pembekuan (freezing).
12. Di daerah iklim sedang perbanyakan vegetative in vivo dalam ruang kaca sangat mahal dalam musim dingin, karena menggunakan banyak energi. Cara perbanyakan in vitro dapat lebih menghemat energi dalam musim dingin, karena yang disimpan cukup hanya sedikit saja, baru nanti mulai musim panas cepat-cepat diperbanyak.
13. Untuk para ahli pemuliaan, hasil perbanyakan in vitro memungkinkan kloning dari tanaman induk sebaai titik permulaan menghasilkan silangan. Kultivar baru dengan perbanyakan in vitro dapat memperbanyak jauh lebih cepat.
14. Perbanyakan in vitro memungkinkan manipulasi genetik (genetic engineering), setelah metode regenerasi protoplas, sel atau jaringan berhasil diperoleh.
Penggunaan teknik kultur jaringan pada awalnya hanya untuk membuktikan teori “totipotensi” (“total genetic potential”) yang dikemukakan oleh Schleiden dan Schwann (1838) yang menyatakan bahwa sel tanaman sebagai unit terkecil dapat tumbuh dan berkembang apabila dipelihara dalam kondisi yang sesuai.

Saat ini teknik kultur jaringan digunakan bukan hanya sebagai sarana untuk mempelajari aspek-aspek fisiologi dan biokimia tanaman saja, tetapi sudah berkembang menjadi metoda untuk berbagai tujuan seperti:
1. Mikropropagasi (perbanyakan tanaman secara mikro)
Teknik kultur jaringan telah digunakan dalam membantu produksi tanaman dalam skala besar melalui mikropropagasi atau perbanyakan klonal dari berbagai jenis tanaman. Jaringan tanaman dalam jumlah yang sedikit dapat menghasilkan ratusan atau ribuan tanaman secara terus menerus. Teknik ini telah digunakan dalam skala industri di berbagai negara untuk memproduksi secara komersial berbagai jenis tanaman seperti tanaman hias (anggrek, bunga potong, dll.), tanaman buah-buahan (seperti pisang), tanaman industri dan kehutanan (kopi, jati, dll). Dengan menggunakan metoda kultur jaringan, jutaan tanaman dengan sifat genetis yang sama dapat diperoleh hanya dengan berasal dari satu mata tunas. Oleh karena itu metoda ini menjadi salah satu alternatif dalam perbanyakan tanaman secara vegetatif.
2. Perbaikan tanaman
Dalam usaha perbaikan tanaman melalui metoda pemuliaan secara konvensional, untuk mendapatkan galur murni diperlukan waktu enam sampai tujuh generasi hasil penyerbukan sendiri maupun persilangan. Melalui teknik kultur jaringan, dapat diperoleh tanaman homosigot dalam waktu singkat dengan cara memproduksi tanaman haploid melalui kultur polen, antera atau ovari yang diikuti dengan penggandaan kromosom. Tanaman homosigot ini dapat digunakan sebagai bahan pemuliaan tanaman dalam rangka perbaikan sifat tanaman.
3. Produksi tanaman yang bebas penyakit (virus)
Teknologi kultur jaringan telah memberikan kontribusinya dalam mendapatkan tanaman yang bebas dari virus. Pada tanaman yang telah terinfeksi virus, sel-sel pada tunas ujung (meristem) merupakan daerah yang tidak terinfeksi virus. Dengan cara mengkulturkan bagian meristem akan diperoleh tanaman yang bebas virus.
4. Transformasi genetik
Teknik kultur jaringan telah menjadi bagian penting dalam membantu keberhasilan rekayasa genetika tanaman (transfer gen). Sebagai contoh transfer gen bakteri (seperti gen cry dari Bacillus thuringiensis) ke dalam sel tanaman akan terekspresi setelah regenerasi tanaman transgeniknya tercapai.
5. Produksi senyawa metabolit sekunder
Kultur sel tanaman juga dapat digunakan untuk memproduksi senyawa biokimia (metabolit sekunder) seperti alkaloid, terpenoid, phenyl propanoid dll. Teknologi ini sekarang sudah tersedia dalam skala industri. Sebagai contoh produksi secara komersial senyawa “shikonin” dari kultur sel Lithospermum erythrorhizon.

Laboratorium
Pemuliaan tanaman dengan cara kultur jaringan tumbuhan ini dikerjakan di atas media dengan nutrisi yang harus dikerjakan dalam kondisi yang steril. (Suryowinoto, 1990).
Pencegahan kontaminasi oleh jamur, bakteri , dan lain sebagainya adalah persyaratan keberhasilan kultur jaringan ini. Oleh karena itu sebaiknya laboratorium yang mengerjakan kultur jaringan perlu dibangun secara khusus. (Suryowinoto, 1990).
Jika menginginkan laboratorium kultur jaringan yang profesional, perlu adanya laboratorium yang ditata secara khusus. Ada bagian atau ruang laboratorium tertentu yang fungsinya sangat khusus, sehingga ruang tertentu perlu dirancang secara khusus pula. (Suryowinoto, 1990).
Maksud dan tujuan laboratorium kultur jaringan tanaman.
Maksud merancang laboratorium kultur jaringan tanaman itu dalam garis besarnya yaitu untuk membiakkan bagian tanaman yang sekecil-kecilnya seperti organ, jaringan, sel, kepala sari, tepung sari, protoplas dan lain-lain dalam keadaan aseptik atau bebas dari gangguan mikroba yang tidak dikehendaki. Tentu saja tujuan kultur jaringan tanaman ini adalah untuk mendukung pemuliaan tanaman dengan tujuan bermacam-macam seperti memperbanyak klon-klon jenis unggul atau memperbanyak tanaman yang terancam kepunahan secara besar-besaran, menjadi ratusan ribu bahkan jutaan banyaknya, penyelenggaraan penyilangan somatic, budidaya sel-sel yang haploid dan triploid, menciptakan kalus yang dapat menhasilkan metabolit sekunder berkadar tinggi, menciptakan kultivar baru yang tolerans terhadap stress (stress aram, temperature, pestisida) dan seterusnya. (Suryowinoto, 1990).
Faktor-faktor yan berperan dalam perencanaan fasilitas kultur jaringan tanaman meliputi :
1. Kebutuhan ruang.
2. Kapasitas produksi yang diinginkan.
3. Iklim.
4. Sumber dana.
(Whaterel, 1982).
5. Jenis pekerjaan yang dilakukan.
Kebutuhan atau fasilitas fisik yang dibutuhkan di dalam pekerjaan kultur jaringan tanaman, yaitu kebutuhan akan adanya 3 buah ruangan yang masing-masing digunakan untuk ruang laboratorium, ruang bersih dan ruang kultur. Ruang-ruang tersebut masing-masing digunakan untuk melakukan tiga jenis pekerjaan, yaitu :
1. Ruang laboratorium digunakan untuk melakukan pekerjaan pembuatan media.
2. Ruang bersih untuk persiapan dan pengerjaan bagian-bagian tanaman yan harus dilakukan dalam keadaan suci hama.
3. Ruang kultur yang dipakai untuk menumbuhkan kultur yang telah jadi dalam lingkungan yang dapat dikontrol.
(Whaterel, 1982).
Perencanaan yang harus disiapkan tergantung dari kebutuhan, seperti ruangan yang harus tersedia, kapasitas produksi yang diinginkan, suhu, dan prinsip-prinsip disain tertentu yang harus dipenuhi, kaitannya dengan pekerjaan yang akan dilaksanakan dan tentu saja tergantung pula dari dana yang tersedia. (Whaterel, 1982).
Untuk itu semua perhatian terutama dicurahkan pada macam pekerjaan yang akan ditangani. Selain itu perlu diupayakan cara pengaturan ruangan yang cocok, sehingga perpindahan barang-barang dari satu ruang ke ruang yang lainnya dapat dilakukan dengan lancar. Selanjutnya yang juga perlu dipikirkan adalah besar kecilnya skala pekerjaan kultur jaringan yang akan dilaksanakan. Untuk pekerjaan yang berskala kecil, cukup dilakukan di dalam rumah, dengan hanya menggunakan alat-alat rumah tangga biasa. Sedangkan pekerjaan-pekerjaan in vitro yang sifatnya untuk pendidikan ataupun untuk tujuan komersial, seyogyanya dilakukan dalam suatu ruangan khusus yang memang dirancang untuk keperluan itu dan dilengkapi dengan peralatan yan khusus pula. (Whaterel, 1982).
Keuntungan dari pemakaian ruang yan khusus tersebut antara lain adalah dapat mengurangi kerugian yang timbul akibat adanya kontaminasi mikrobia / jamur, selain itu juga dapat meningkatkan efisiensi pekerjaan dan menciptakan hasil yang lebih seragam. (Whaterel, 1982).
Faktor utama yang membatasi kapasitas laboratorium adalah luas bangunan dari ruang bersih serta ukuran laminar air flow, juga jumlah tempat yang tersedia dalam ruang kultur. (Whaterel, 1982).
Rancangan untuk kapasitas yan besar, sebaiknya disusun dengan bantuan seorang ahli dalam bidang tersebut, atau paling tidak harus membuat studi kelayakan dengan terlebih dahulu membandin-bandingkan laboratorium-laboratorium besar yang sudah ada. (Whaterel, 1982).
Jenis-jenis pekerjaan yang akan dilakukan dapat berupa pencucian alat gelas, persiapan media kultur, sterilisasi media dan alat-alat, persiapan eksplan, pemindah tanaman plantlet (plantlet adalah material-material yang telah dikulturkan) maupun pertumbuhan kultur sampai dewasa. (Whaterel, 1982).
Biasanya pekerjaan pemindah tanaman plantlet yang telah berakar serta upaya pertumbuhannya lebih lanjut, tidaklah begitu memerlukan kondisi laboratorium yang ketat, dan dapat dilakukan dengan fasilitas konvensional. Pekerjaan-pekerjaan tersebut dapat dilakukan dalam dua ruangan, yaitu di dalam laboratorium dan di dalam ruangan kultur. (Whaterel, 1982).
Laboratorium
Laboratorium yang cukup besar membutuhkan bangunan yang luasnya berkisar 50 – 60 meter persegi. Di dalam laboratorium tersebut, beberapa pekerjaan dapat dilakukan sekaligus. (Whaterel, 1982).

Pola kegiatan laboratorium.
Untuk merancang kebutuhan ruang laboratorium kultur jaringan tanaman, pertama-tama harus dipahami garis besar kegiatan-kegiatan yang akan dikerjakan dalam masing-masing ruang laboratorium tersebut. (Suryowinoto, 1990).
Sesuai dengan maksud dan tujuan yang diuraikan sebelumnya, bahwa berhasil tidaknya kultur jaringan tanaman sangat tergantung pada keadaan aseptiknya laboratorium atau pencegahan terhadap kontaminasi mikrobia. (Suryowinoto, 1990).
Pengaturan ruangan laboratorium kultur jaringan terutama ditujukan untuk kelancaran jalannya alur pekerjaan dimulai dari tempat pencucian yang terletak di dekat pintu, diteruskan ke tempat pembuatan media, sterilisasi sampai ke tempat penyimpanan media. (Whaterel, 1982).
Yang perlu juga dipikirkan dalam merancang bagian tersebut adalah penyediaan tempat-tempat yang diperlukan untuk meletakkan alat gelas kotor, untuk menyimpan alat elas bersih, lokasi untuk memproses air, suatu tempat yang bersih untuk menimbang, tempat menyimpan zat-zat kimia, penyimpanan media, tempat pembuangan limbah panas yan berasal dari oven atau autoklaf, adanya aliran listrik yan mencukupi untuk semua peralatan, serta tersedianya fasilitas penerangan yan cukup memadai di tempat-tempat tertentu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan kultur jaringan tanaman. (Whaterel, 1982).

Peralatan Pokok Laboratorium
Banyak peralatan kultur jaringan yan dapat diperoleh dengan mudah di pasaran. Macam dan jumlah peralatan yang akan dibeli terantung dari tujuan dan macam pekerjaan yan akan dilakukan. (Whaterel, 1982).
Orang-orang yang tekun serta mempunyai ketelitian dan waktu dan waktu, dapat melakukan sebaian besar dari pekerjaan kultur jaringan dengan memakai alat-alat dapur biasa. Sedankan untuk melakukan suatu penelitian yan serius, tentu saja dibutuhkan suatu laboratorium yang mempunyai peralatan yang lengkap. (Whaterel, 1982).
Berikut ini dicantumkan daftar alat-alat dan reagensia yang diperlukan di laboratorium kultur jaringan tanaman. Alat-alat yang paling dibutuhkan dapat dibeli ditempat-tempat penjualan alat-alat laboratorium untuk penelitian atau pendidikan. Karena alat-alat dan zat-zat kimia untuk laboratorium kultur jaringan tanaman jenis, kualitas dan harganya bermacam-macam maka perlu dilakukan seleksi khusus. (Whaterel, 1982).
Peralatan-peralatan yang tercantum ini untuk laboratorium kultur jaringan tanaman:
1. Tempat menyimpan alat laboratorium, zat kimia dan media jadi.
2. Lemari pendingin.
3. Kompor.
4. Magnetic stirrer dan hot plate
5. Sterilisator dengan uap bertekanan tinggi semisal autoklaf dengan ukuran dinding dalam 40 – 65 cm atau yang lebih besar, tapi apabila tidak ada autoklaf bisa juga pakai dandang.
6. Lemari enkast atau laminar air flow.
7. pH meter atau kertas pengetes pH.
8. Timbangan ram atau timbangan milligram.
9. Wadah dari gelas, besi tahan karat atau wadah berlapiskan email untuk melarutkan dan memanaskan media.
10. Gelas ukur.
11. Tabung atau botol tempat kultur dengan penutup yang sesuai dan rak-rak untuk menempatkan tabung kultur.
12. Tempat mencuci dan mengeringkan alat-alat.
13. Alat-alat kecil seperti scalpel, pisau mess, pinsel dan spatula.
14. Kaca pembesar yang dilengkapi lampu dengan pembesaran 3 – 5 kali.
15. Microskop bedah (dissecting microscope) dengan pembesaran lemah (stereoskopik 10 – 30 kali).
16. Media kultur yang telah jadi.
17. Kemikalia hormon dan biosida,
18. Pemadam kebakaran dan kotak PPPK.
(Whaterel, 1982).

Tahap-Tahap Dalam Kultur Jaringan Tumbuhan
Berbeda dengan teknik pertanian konvensional yang dilakukan langsung di tanah, kultur jaringan dilakukan dalam botol steril. Hal ini menyebabkan tahap-tahap yang dilakukan dalam kultur juga berbeda dari pertanian konvensional.
Pekerjaan kultur jaringan meliputi: persiapan media, isolasi bahan tanam (eksplan), sterilisasi eksplan, inokulasi eksplan, aklimatisasi dan usaha pemindahan tanaman hasil kultur jaringan ke lapang. Pelaksana harus bekerja dengan teliti dan serius, karena setiap tahapan pekerjaan tersebut memerlukan penanganan tersendiri dengan dasar pengetahuan tersendiri. Adapun pekerjaan kultur jaringan tersebut dapat dijabarkan menjadi beberapa tahap yang meliputi :
I. Tahap I : Pembuatan media
Di dalam media kultur terkandung vitamin, hormon, gula, mineral dan beberapa unsur makro dan mikro.
Bahan-bahan tersebut diperlukan oleh eksplan untuk mendukung pertumbuhannya.
II. Tahap II : Inisiasi
Inisiasi adalah pengambilan bagian tanaman untuk dikultur. Bagian ini disebut denganistilah eksplan. Eksplan yang baik harus memenuhi syarat-syarat tertentu.
Eksplan adalah organ atau jaringan yang digunakan sebagai bahan dasar kultur jaringan.
Kriteria eksplan yang baik adalah sebagai berikut :
Mudah disucihamakan (steril)
Berasal dari tanaman muda (juvenil)
Dapat merespon semua perlakuan dalam kultur
III. Tahap III : Sterilisasi
Tahap ini harus dilakukan dengan baik untuk menjamin bahwa tempat, bahan, dan peralatan dalam kultur benar-benar bebas dari kontaminasi.
IV. Tahap IV : Multiplikasi
Multiplikasi adalah kegiatan memperbanyak calon tanaman dengan cara menanam eksplan pada media. Kegiatan ini dilakukan dalam alat yang disebut laminar air flow untuk menghindari adanya kontaminasi yang menyebabkan gagalnya pertumbuhan eksplan.
V. Tahap V : Pengakaran
Pengakaran adalah fase dimana eksplan membentuk akar. Hal ini menunjukkan adanya pertumbuhan akar yang menandai bahwa proses kultur jaringan yang dilakukan berjalan dengan baik.
VI. Tahap VI : Aklimatisasi
Aklimatisasi dilakukan agar tanaman hasil kultur dapat beradaptasi dengan lingkungan baru. Caranya ialah dengan meletakannya di lahan persemaian yang bersungkup. Secara bertahap sungkup tersebut dilepaskan dan pada akhirnya tanaman tersebut dapat tumbuh di alam bebas.

Medium Kultur Jaringan Tumbuhan
Medium merupakan faktor penentu keberhasilan perbanyakan secara In- Vitro.

Komponen penyusun medium kultur jaringan tumbuhan terdiri dari :
Aquades,

Hara makro dan mikro

Gula

Vitamin dan bahan organik lainnya

Zat pengatur tumbuh

Zat pemadat
.

Media dalam kultur jaringan mempunyai dua fungsi utama. Pertama adalah untuk memasok nutrisi dan fungsi kedua adalah untuk mengarahkan pertumbuhan melalui zat pengatur tumbuh. (Katuuk, 1989).
Sama seperti tanaman utuh eksplan yang digunakan dalam kultur jaringan juga memerlukan adanya nutrisi. Nutrisi yang ada di dalam media kultur jaringan terkandung vitamin, hormon, gula, mineral dan beberapa unsur makro dan mikro.
Dalam media kultur jaringan tumbuhan yan memenuhi persyaratan adalah media yang mengandung unsur makro dan mikro dalam kadar dan perbandingan tertentu. (Katuuk, 1989).
Unsur makro meliputi 6 unsur utama, yaitu : nitrogen (N), Potasium (K), Kalisium (Ca), Fosfor (P), Magnesium (Mg), Sulfur (S). Pertumbuhan dan morfogenesis pada kultur jaringan sangat bergantung pada kehadiran unsure N dalam media. Sumber nitrogen pada media kultur adalah dalam bentuk ammonium (NH4) dan yang paling penting adalah nitrat (NO3). Fosfor dalam media diberikan dalam bentuk natrium hidrofosfat (NaH2PO4) (Katuuk, 1989). Potasium atau kalium (K) adalah unsur yang berguna untuk pembelahan sel, sintesis karbohidrat dan protein, serta pembuatan klorofil. Bentuk ikatan kalium yang dipakai dalam media kultur adalah KNO3 dan KH2PO4. (Gamborg and Shylluk, 1981). Magnesium bekerja sebagai aktifator enzim. Magnesium dalam media diberikan dalam bentuk MgSO4.7H2O. Ikatan ini sekaligus sudah memasok unsure belerang (Katuuk, 1989).
Unsur mikro adalah unsur-unsur tertentu yang ditambahkan dalam media kultur dalam konsentrasi yang sangat rendah (dalam skala mikromolar. Contoh dari unsur-unsur mikro antara lain besi (Fe), mangan (Mn), boron (B), tembaga (Cu), sen (Zn), iodine (I), molybdenum (Mo), dan kobalt (Co). (George dan Sherington, 1984).
Mineral merupakan sumber nutrient yang penting untuk pertumbuhan dalam kultur jaringan selain gula (Pierik, 1987). Mineral-mineral ini harus dalam konsentrasi dan keseimbangan yang sesuai dengan pertumbuhan tanaman. (George dan Sherington, 1984).
Pemilihan garam-garam makro dan mikro sangat terantung pada tanaman yang digunakan. Pemilihan medium dasar juga harus disesuaikan dengan tanaman yang dipakai. Medium MS adalah medium yang paling sering dipakai, karena beberapa spesies tanaman menunjukkan reaksi yan baik terhadap medium MS. (Pierik, 1987).
Meskipun tanaman secara keseluruhan hanya memerlukan senyawa sederhana untuk pertumbuhan, akan tetapi kultur jaringan tanaman memerlukan kebutuhan yang kompleks untuk menjadi autotrofik (Seabrook, 1980). Pada kultur jaringan tanaman, nutrisi yang dibutuhkan tidak hanya terdiri atas unsur-unsur makro dan mikro saja. Ada penambahan misalnya karbohidrat untuk mengantikan karbon yang biasa diambil tanaman dari atmosfer untuk fotosintesis, senyawa organik dalam jumlah kecil seperti vitamin, asam amino, dan zat pengatur pertumbuhan. (George dan Sherington, 1984).
Vitamin
Vitamin merupakan senyawa organic yang diperlukan dalam jumlah sedikit, berperan dalam katalis metabolisme. Bagian tanaman yang dikulturkan belum mampu membuat vitamin sendiri, oleh karena itu vitamin ditambahkan secara eksogen. (George dan Sherington, 1984 ; Katuuk, 1989).
Pemberian vitamin dalam kultur jaringan merupakan keharusan. Penambahan vitamin dalam media dapat mempercepat pertumbuhan dan differensiasi kalus. (Katuuk, 1989).
Pada penelitian terdahulu kebutuhan vitamin untuk kultur jaringan dipenuhi oleh tambahan sari buah, air kelapa, ekstrak khamir, atau kasein hidrolisat. (George dan Sherington, 1984). Bahan-bahan tadi ternyata termasuk golongan vitamin B. Selain dari bahan tersebut vitamin B dapat diberikan dalam bentuk tiamin, niasin, inositol, asam pantotenat, piridoksin. (Kyte, dalam Katuuk, 1989).
Selain vitamin B, juga diperlukan vitamin H (biotin), vitamin C, serta vitamin E. (Katuuk, 1989).
Gula
Tanaman dalam kultur jaringan juga memerlukan karbon sebagai sumber energy untuk fotosintesis. Tetapi apabila hanya dicukupi oleh karbon dioksida saja pertumbuhannya akan lambat. Oleh karena itu diperlukan suplai karbohidrat secara eksogenus. Penambahan karbohidrat selain untuk sumber energy juga sebagai penyeimbang tekanan osmotic potensial minimum dalam media (Katuuk, 1989). Sukrosa merupakan karbohidrat yang secara umum digunakan untuk kultur jaringan. Secara sederhana gula pasir rumah tangga juga bisa dikatakan sebaai sumber karbon penganti sukrosa. (George dan Sherington, 1984).
Menurut Gautheret dalam George dan Sherington (1984) karbohidrat terbaik untuk kultur jaringan wortel adalah sukrosa, diikuti glukosa, maltose dan rafinosa. Fruktosa dan galaktosa kurang efektif, sedangkan manosa dan laktosa paling tidak efektif. Keunggulan sukrosa dari glukosa kemungkinan disebabkan karena sukrosa lebih efektif translokasinya ke meristem apical (Butcher dan Street, 1964 ; dalam George dan Sherington, 1984).
Pengunaan sukrosa dalam pemanasan dengan autoklaf pada temperatur 121 C selama 15 menit tidak memberikan pengaruh penghambatan yang cukup berarti. Pengaruh sterilisasi terhadap sukrosa akan menyebabkan sukrosa terhidrolisa menjadi glukosa dan fruktosa (heksosa). Gula dalam bentuk heksosa ini lebih mudah diunakan dalam tanaman. Sebaliknya untuk medium yang menggunakan fruktosa, proses sterilisasi dengan mengunakan panas kadang-kadang dapat menghambat pembentukkan dan perkembangan kalus tanaman tertentu. Hal ini disebabkan oleh karena interaksi antara fruktosa dengan senyawa-senyawa pada medium dapat menyebabkan toksik, misalnya dengan MgSO4. Senyawa-senyawa toksik ini tidak terbentuk apabila digunakan sukrosa atau glukosa. (Supraptopo, 1979; dalam Hendarko, 1982). Kadar sukrosa optimum adalah 32,86 g/l. (Hendarko, 1982).
Kadar sukrosa biasa diunakan pada konsentrasi 2 – 3 %. (Katuuk, 1989).
Chelating Agent
Chelating agent adalah sesuatu senyawa yan dapat menikat ion logam dengan beberapa ikatan kimia, menjadi sebuah kompleks cincin. Logam dapat diikat dalam larutan dengan chelating agent karena memang ion bebas tidak akan larut. Etylenediamine tetraasetic acid (EDTA) adalah salah satu senyawa yan berfunsi sebagai chelating agent, dalam kultur jaringan. (George dan Sherington, 1984).
Dalam kultur jaringan, misalnya pada medium MS biasa digunakan dalam bentuk Na2EDTA dengan konsentrasi 37,5 mg/l, bersama dengan senyawa besi. Penggunaan konsentrasi senyawa besi rendah dan ratio Fe/chelate yang rendah akan meningkatkan pertumbuhan tunas adventif. Konsentrasi Na2EDTA yang lebih tinggi lagi akan menghambat, dan konsentrasi 55 mg/l akan mencegah pembentukkan tunas (Legrand, 1975; dalam George dan Sherington, 1984).
Hormon dalam kultur jaringan
Substansi alami dalam jaringan tumbuhan (endoenus) yang mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan disebut substansi pertumbuhan tanaman atau hormon tumbuhan. Substansi ini biasanya aktif dalam konsentrasi rendah. Sedangkan zat kimia sistemik yang mempunyai aktivitas fisiologis sama dengan fitohormon disebut dengan zat penatur tumbuh. Demikian juga dengan substansi seperti ini yang ditambahkan ke dalam medium kultur jaringan disebut dengan zat pengatur tumbuh untuk menandakan bahwa zat tersebut digunakan dari luar jaringan (eksogenus).
Pada dasarnya tanaman atau bagian tanaman (eksplan) dapat memproduksi hormon sendiri, dikarenakan tanaman mempunyai informasi genetik untuk memproduksi hormon. Namun bagian tanaman ini terlalu kecil, sehingga tidak dapat mensistesis hormon sendiri. Maka perlu ditambahkan hormon dari luar (eksogenus) sebaai zat pengatur pertumbuhan (Katuuk, 1989).
Adapun macam-macam hormon yang ada adalah sebagai berikut :
I. Auksin
II. Sitokinin
III. Gibberelin
IV. Absisin
V. Etilen
Auksin dan sitokinin merupakan hormon yan paling penting untuk mengatur pertumbuhan dan morfoenesis dalam kultur jaringan dan organ tumbuhan. (George dan Sherington, 1984).
Adapun system kerja zat pengatur tumbuh dapat dikelompokkan menjadi :
1. Berpengaruh terhadap pembentangan sel
2. Berpengaruh terhadap pembelahan sel yang tidak berdifferensiasi
3. Berpengaruh terhadap pembelahan dengan differensiasi
(George dan Sherington, 1984).
Auksin
Auksin merupakan hormone yang diproduksi secara alami dalam tubuh tumbuhan (Katuuk, 1989). Banyak digunakan dalam kerja kultur jaringan dan bekerja sama dengan media nutrisi untuk menumbuhkan kalus, suspense sel atau organ dan mengatur morfogenesis terutama bila berinteraksi dengan sitokinin. Auksin juga mengontrol pertumbuhan sel dan pembentangan sel. (George dan Sherington, 1984).
1. Auksin berfunsi untuk :
2. Merangsang pertumbuhan kalus.
3. Merangsang pembesaran sel dan memicu pertumbuhan akar eksplan.
4. Mengatur morfogenesis terutama berinteraksi dengan sitokinin.
(George dan Sherington, 1984).
Auksin ditambahkan ke dalam medium dengan tujuan menginduksi kalus dari eksplan. Auksin yang sering digunakan untuk menginduksi kalus adalah 2,4-D, akan tetapi 2,4-D apabila terlalu banyak ditambahkan dalam medium akan menyebabkan terjadinya variable genetik. Oleh karena itu beberapa orang menggunakan NAA atau ISS, atau menstransfer kalus ke beberapa medium dengan salah satunya mengandung 2,4-D. (George dan Sherington, 1984).
Auksin selain berpengaruh terhadap perkembangan, juga mempengaruhi kerja enzim. Enzim-enzim akan mempengaruhi antara lain terhadap energi metabolisme, di mana metabolism ini merupakan hal penting dalam perkembangan. (Bidwell, 1979).
Sitokinin
Sitokinin merupakan hormone pertumbuhan yan cukup penting dalam mengatur pertumbuhan dan morfogenesis pada kultur jaringan. Sitokinin mengandung campuran adenine yang dapat mengatur pertumbuhan, merupakan 6-furfurilaminopurine yang diketahui sebagai kinetin (Bidwell, 1979).
Sitokinin berfungsi untuk :
1. Memacu pembelahan sel.
2. Membantu perkecambahan biji.
3. Mengurangi pembentukan daerah pengguguran pada tangkai daun dan buah.
4. Mengatur transport auksin.
5. Membantu gibberelin untuk aktif dengan jalan menghalangi pembentukkan daerah pengguguran.
6. Menunda senescen (penuaan daun) dengan jalan menghalangi penguraian klorofil, protein, asam nukleat yang ada dalam daun.
7. Memicu pertumbuhan tunas.
(Katuuk, 1989).
Bila sitokinin diberikan pada suspense sel dengan pencahayaan, maka akan mengontrol inti untuk mengkode protein penyusun plastid, dan akibatnya sitokinin dapat mempengaruhi differensisasi kloroplast. Differensiasi kloroplast terjadi karena sitokinin bekerja pada kompleks kalsium a/b yang mengikat protein (Cab) dan sedikit subunit ribulosa 1,5 bifosfat karboksilase oksigenase (Abdelghani et. Al., 1991).
Gibberelin
Gibberelin memiliki dasar rangka giban. Didapat dari jaringan tanaman dengan bermacam-macam jenis, yang mempunyai banyak aktivitas bioloi. Hanya ada dua atau tiga zat aktif yang sering diunakan untuk kultur jaringan yaitu Gibberelic acid (GA3).
Gibberelin berfungsi untuk :
Untuk mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan, dengan beberapa cara misalnya : memperpanjang batang, meningkatkan pembungaan dan pembentukkan buah. Beberapa efek dari ibberelin yaitu menyebabkan perangsangan sintesis dan aktivitas enzim spesifik dan atau merubah penggunaan auksin endogen. (George dan Sherington, 1984).
Bidwell (1979), membagi efek Gibberelin sebagai berikut :
1. Untuk pemanjangan sel (tetapi berbeda dengan cara auksin).
2. Untuk pembelahan sel.
3. Untuk pembungaan.
4. Untuk induksi kalus.
5. Untuk mematahkan dormansi.
6. Untuk menghambat pembentukan organ.
Semua nutrisi tersebut di atas dicampurkan dalam media kultur.
Pengaturan pH Medium
Keasaman serta kebasaan media merupakan factor lingkunan eksplan yang sangat menentukan. Walaupun pH media akan berunah selama pengkulturan, pH harus diatur dahulu sebelum inokulasi. Manfaat pH dalam media adalah untuk :
1. Menjaga kestabilan membrane sel.
2. Mengatur garam-garam agar tetap dalam bentuk terlarut.
3. Membantu penyerapan zat hara
4. Mengatur sifat gel agar (dalam media padat).
(George dan Sherington dalam Katuuk, 1989).
Dalam pertumbuhan kultur jaringan pH medium yang baik antara 5,0 – 6,5 dan pertumbuhan optimum pada pH sekitar 6,0. Dengan pH lebih tinggi dari 7,0 serta pH lebih rendah dari 4,5 pertumbuhan dan perkembangan akan terhenti (Pierik, 1987).
Penurunan pH dapat terjadi karena sterilisasi medium dengan autoklaf. Pemanasan dengan autoklaf dapat menurunkan pH sekitar 0,3 – 0,5 (Skirvin et. Al., 1986 dalam Pierik, 1987). Kalau terjadi penurunan pH pengaruh autoklaf, maka untuk menghendaki pH optimum sekitar 5,8 bila pengaturan pH dilakukan sebelum dimasukkan ke dalam autoklaf maka pH dibuat sekitar 6,0 sampai 6,3. (George dan Sherington, 1984).
Selain oleh karena pemanasan dengan autoklaf, pH dapat menurun pada saat penkulturan. Dengan demikian penggunaan buffer dapat dilakukan bila terjadi penurunan pH. Buffer yang dapat digunakan yaitu Na2HPO4 + KH2PO4 (Pierik, 1987), nitrat dan ion ammonium serta FeSO4.7H2O dan Ca(NO3)2.4H2O yang ada dalam medium juga berfungsi sebagai buffer. (George dan Sherington, 1984).
Hartman dan Kester (dalam Katuuk, 1989) menyatakan bahwa ada banyak jenis media yang telah dipakai dalam kultur jaringan, namun yan paling banyak digunakan adalah medium MS (Murashige dan Skoog). Hal ini disebabkan oleh karena kandungan garam utama N dalam bentuk NO3 dan NH4, gula serta vitamin.
Komposisi bahan penyusun media Murashige and Skoog adalah sebagai berikut :

Macro Element


Nama komponen
mg/l
mM
CaCl2
332,02
2,99
KH2PO4
170,00
1,25
KNO3
1900,00
18,79
MgSO4
180,54
1,50
NH4NO3
1650,00
20,61
Micro Element


Nama komponen
mg/l
µM
CoCl2.6H2O
0,025
0,11
CuSO4.5H2O
0,025
0,10
FeNaEDTA
36,70
100,00
H3BO3
6,20
100,27
KI
0,83
5,00
MnSO4.H2O
16,90
100,00
Na2MoO4.2H2O
0,25
1,03
ZnSO4.7H2O
8,60
29,91
Vitamins


Nama komponen
mg/l
µM
Glycine
2,00
26,64
Myo-inositol
100,00
554,94
Nicotinic Acid
0,50
4,06
Pyridoxine HCl
0,50
2,43
Thiamine HCL
0,10
0,30


Berikut ini adalah perbandingan komposisi beberapa media kultur jaringan,yaitu diantaranya:
1. Media Murashige and Skoog (media MS)
Media MS paling banyak digunakan untuk berbagai tujuan kultur, merupakan perbaikan komposisi media Skoog, Pertama kali unsur-unsur makro dalam media MS dibuat untuk kultur kalus tembakau, tetapi komposisi MS ini sudah umum digunakan untuk kultur jaringan jenis tanaman lain
Media MS mengandung 40 mM N dalam bentuk NO3 dan 29 mM N dalam bentuk NH4+. Kandungan N ini, lima kali lebih tinggi dari N total yang terdapat pada media Miller, 15 kali lebih tinggi dari media tembakau Hildebrant, dan 19 kali lebih tinggi dari media White.
Kalium juga ditingkatkan sampai 20 mM, sedangkan P, 1.25 mM. Unsur makro lainnya konsemtrasinya dinaikkan sedikit.
Pada tahun-tahun sesudah penemuan media MS, dikembangkan media-media lain berdasarkan media MS tersebut, antara lain media :
a) Lin & Staba,
Media ini menggunakan media dengan setengah dari komposisi unsur makro MS, dan memodifikasi : 9 mM ammonium nitrat yang seharusnya 10mM, sedangkan KH2 PO4 yang dikurangi menjadi 0.5 Mm, tidak 0.625 mM. Larutan senyawa makro dari media Lin & Staba, kemudian digunakan oleh Halperin untuk penelitian embryogenesis kultur jaringan wortel dan juga digunakan oleh Bourgin & Nitsch (1967 dalam Gunawan 1988) serta Nitsch & Nitsch (1969 dalam Gunawan 1988) dalam penelitian kultur anther.
b) Modifikasi media MS yang lain dibuat oleh Durzan et alI (1973 dalam Gunawan 1988) untuk kultur suspensi sel white spruce dengan cara mengurangi konsentrasi K+ dan NO3-, dan menambah konsentrasi Ca2+ nya.
c) Chaturvedi et al (1978) mengubah media MS dengan menurunkan konsentrasi NO3-, K+, Ca2+, Mg2+ dan SO4-2 untuk keperluan kultur pucuk Bougainvillea glabra.

2. Media Gamborg B5 (media B5)Pertama kali dikembangkan untuk kultur kalus kedelai dengan konsentrasi nitrat dan amonium lebih rendah dibandingkan media MS. Untuk selanjutnya media B5 dikembangkan untuk kultur kalus dan suspensi, serta sangat baik sebagai media dasar untuk meregenerasi seluruh bagian tanaman.. Pada masa ini media B5 juga digunakan untuk kultur-kultur lain. Media ini dikembangkan dari komposisi PRL-4, media ini menggunakan konsentrasi NH4+ yang rendah, karena konsentrasi yang lebih tinggi dari 2 mM menghambat pertumbuhan sel kedelai. Fosfat yang diberikan setelah 1 mM, Ca2+ antara 1-4 mM, sedangkan Mg2+ antara 0.5-3 mM (Gamborg et al, 1968).3. Media Schenk & Hildebrant (media SH)Merupakan media yang juga cukup terkenal, untuk kultur kalus tanaman monokotil dan dikotil (Trigiano & Gray, 2000). Konsentrasi ion-ion dalam komposisi media SH sangat mirip dengan komposisi pada media Gamborg dengan perbedaan kecil yaitu level Ca2+, Mg2+, dan PO4-3 yang lebih tinggi. Schenk & Hildebrant mempelajari pertumbuhan jaringan dari 37 jenis tanaman dalam media SH dan mendapatkan bahwa: 32 % dari spesies yang dicobakan, tumbuh dengan sangat baik, 19% baik, 30% sedang, 14% kurang baik, dan 5% buruk pertumbuhannya. Tetapi karena zat tumbuh yang diberikan pada tiap jenis tanaman tersebut berbeda. Media SH ini cukup luas penggunaannya, terutama untuk tanaman legume.4. Media WPM (Woody Plant Medium)Dikembangkan oleh Lioyd & Mc Coen pada tahun 1981, merupakan media dengan konsentrasi ion yang lebih rendah dari media MS. Media diperuntukkan khusus tanaman berkayu, dan dikembangkan oleh ahli lain, tetapi sulfat yang digunakan lebih tinggi dari sulfat pada media WPM. Saat ini WPM banyak digunakan untuk perbanyakan tanaman hias berperawakan perdu dan pohon-pohon.5. Media Nitsch & NitschMenggunakan NO3- dan K+ dengan kadar yang cukup tinggi untuk mengkulturkan jaringan tanaman artichoke Jerussalem. Penambahan ammonium khlorida sebanyak 0.1 mM, menghasilkan pertumbuhan jaringan yang menurun. Mereka mengambil kesimpulan, bahwa NH4+ sangat menunjang pertumbuhan kalus tembakau (Miller et al, (1956 dalam Gunawan 1988).6. Media KnopDapat juga digunakan untuk menumbuhkan kalus wortel. Kultur kalus, biasanya ditumbuhkan pada media dengan kosentrasi garam-garam yang rendah seperti dalam kultur akar dengan penambahan suplemen seperti glucosa, gelatine, thiamine, cysteine-HCl dan IAA (Dodds and Roberts, 1983).7. Media WhiteDikembangkan oleh Hildebrant untuk keperluan kultur jaringan tumor bunga matahari, ditemukan bahwa unsur makro yang dibutuhkan kultur tersebut, lebih tinggi dari pada yang dibutuhkan oleh kultur tembakau. Unsur F, Ca, Hg dan S, pada media untuk tumor bunga matahari ini, sama dengan media untuk jaringan normal yang dikembangkan kemudian.Konsentrasi NO3- dan K+ yang digunakan Hildebrant ini lebih tinggi dari media white, tetapi masih lebih rendah dari pada media-media lain yang umum digunakan sekarang.8. Media Knudson dan media Vacin and WentMedia ini dikembangkan khusus untuk kultur anggrek. Tanaman yang ditanam di kebun dapat tumbuh dengan baik dengan pemupukan yang hanya mengandung N dari Nitrat. SKnudson pada tahun 1922, menemukan penambahan 7.6 mM NH4+ disamping 8.5 mM NO3-, sangat baik untuk perkencambahan dan pertumbuhan biji anggrek. Penambahan NH4+ ternyata dibutuhkan untuk perkembangan protocorm.
Cara Membuat Larutan Stok
1) Larutan Stok Hara MakroSenyawa-senyawa sumber unsur hara makro diperlukan dalam jumlah yang cukup besar. Oleh karena itu sebaiknya dibuat dalam larutan stok tunggal. Selain itu anion senyawa sumber unsur hara makro tidak sama, kemungkinan hal tersebut akan mempercepat pengendapan larutan bila dibuat larutan stok campuran. Biasanya larutan stok hara dibuat beberapa macam dengan konsentrasi 10 atau 20 kali lipat konsentrasi media dan diberi nama sebagai berikut:a) Larutan stok A untuk persenyawaan NH4NO3b) Larutan stok B untuk persenyawaan KNO3c) Larutan stok C untuk persenyawaan CaCl2.2H2Od) Larutan stok D untuk persenyawaan MgSo4.7H2Oe) Larutan stok E untuk persenyawaan KH2PO4
2) Larutan Stok Hara MikroUnsur hara mikro sangat sedikit diperlukan dalam pembuatan media. Biasanya larutan hara mikro dibuat dengan kepekatan 100 atau 200 kali konsentrasi media dan bahan yang diperlukan masih cukup kecil jumlahnya. Oleh karena itu larutan stok unsur hara mikro dapat dibuat sebagai stok campuran. Stok campuran ini disebut stok F yang terdiri dari:a) MnSo4.4H2Ob) ZnSO4.7H2Oc) H3BO3d) KIe) Na2MoO4.2H2Of) CoCl2.6H2Og) CuSO4.5H2O
3) Larutan Stok Vitamin
Vitamin dan zat pengatur tumbuh merupakan bahan-bahan kimia organik yang umumnya peka terhadap suhu dan cahaya tinggi. Selain itu zat organik dalam bentuk larutan mudah mengalami perubahan, sehingga tidak awet disimpan. Oleh karena itu larutan stok vitamin dan zat pengatur tumbuh, harus disimpan dalam lemari es dan sebaiknya dalam membuatnya tidak perlu banyak-banyak agar cepat habis terpakai. Komponen larutan stok vitamin terdiri dari:a) Thiamine-HClb) Nicotinic acidc) Pyridoxine-HCld) Glycine4) Larutan Stok Zat Pengatur TumbuhZat pengatur tumbuh umumnya dibutuhkan dalam jumlah yang sedikit. Proses penimbangan zat pengatur tumbuh untuk larutan stok, sulit digeneralisasikan karena biasanya zat pengatur tumbuh merupakan perlakuan dalam media kultur jaringan. Biasanya larutan stok zat pengatur tumbuh dibuat dengan kepekatan 1 -10 mg/l. Contoh cara membuat stok ZPT auksin (IAA, NAA, IBA, 2-D) 1 mg/l sebanyak 100 ml: timbang bahan sebanyak 100 mg, kemudian tuangkan kedalam gelas piala yang berisi aquades 70 ml. Sambil diaduk-aduk ditetesi sedikit larutan NaOH 1 N hati-hati hingga bahan benar-baenar larut. Setelah larut merata, kemudian dipindahkan kedalam labu takar 100 ml dan volume ditepatkan 100 ml dengan menambah aquades.
Media Kultur Jaringan Siap Pakai Yang Terdapat Di Dalam Perdagangan
Karena untuk mengumpulkan zat-zat kimia bagi pembuatan suatu media kultur jaringan dibutuhkan biaya besar, juga untuk menimbang dan mencampur bahan-bahan tersebut ternyata cukup banyak menyita waktu, belum lagi ditambah kemungkinan terjadinya kesalahan dalam mempersiapkan kultur media tersebut, maka sekarang banyak laboratorium yang menggunakan media kultur siap pakai, yang banyak terdapat dalam perdagangan. Beberapa pabrik sekarang menjual campuran dari bahan kimia penyusun media tersebut dalam bentuk kering. (Whaterel, 1982).Sebagai hasil dari pengalaman dalam menanam materi tanaman yang cukup banyak macamnya doctor T. Murashige telah membuat sejumlah formulasi dari media untuk propagasi secara kultur jaringan yang memenuhi kebutuhan di masa sekarang. Beberapa industry sekarang telah menjual campuran mineral dan zat organic dari Murashige dan media organik, dengan atau tanpa agar. Juga berbagai formulasi Murashige yang dibuat khusus untuk spesies-spesies yang biasa dipropagasikan telah terdapat dalam perdagangan. Beberapa jenis media kultur jaringan yang lain juga bisa didapatkan. (Whaterel, 1982).Membuat media kultur dari campuran serbuk siap pakai, dilakukan dengan hanya melarutkan sejumlah tertentu air yang kualitasnya memenuhi persyaratan, lalu menyesuaikan pHnya, memasukkan ke dalam wadah-wadah, dan kemudian mensterilkannya. (Whaterel, 1982).Untuk melarutkan campuran yang mengandung agar, perlu pemanasan secukupnya. Untuk mendapatkan media-media yang sesuai, dapat dilakukan dengan membeli campuran dari formulasi dasar, kemudian ditambahkan hormone dan bahan-bahan lain yang sesuai dengan yang dibutuhkan. (Whaterel, 1982).Pembuatan media dengan cara menimbang dan mencampur bahan-bahan dasar, dilakukan bila dirasa perlu untuk mencoba-coba atau bila komposisi dari suatu formulasi yang dibutuhkan tidak tersedia dalam perdagangan. (Whaterel, 1982).
Berdasarkan wujudnya, media kultur dibedakan menjadi dua macam : 
1. Media padat adalah media dimana terdapat agar di dalamnya.
Adapun macam-macam agar yang digunakan dalam kultur jaringan untuk membuat media padat ada beberapa macam, diantaranya sebagai berikut :

Nama
Deskripsi
Penggunaan untuk per liter media
Temperatur C
pH
Kandungan abu
Agar
Agar serba guna untuk sebagian besar penelitian dan kebutuhan produksi
6 - 12 gr/ltr
33 - 34  C
7,0 - 7,5
3 - 5 %
Agar bacteriological
Agar untuk sebagian besar kerja mikrobiologi
6 - 12 gr/ltr
32 - 39  C
6,5 - 7,5
3 - 7 %
Agar purified
Agar yang tinggi kebersihannya untuk penelitian dan untuk kultur protoplast
6 - 12 gr/ltr
30 - 35 C
6,5 - 7,0
2%
Agar washed
Agar yang tinggi tingkat kebersihannya, untuk penelitian dan kultur protoplast, disiapkan melalui satu seri air murni dan cairan pencuci
6 - 10 gr/ltr
25 - 27 C
7,0 - 7,5
2,20%
Agarose
Untuk penelitian protoplast
6 - 10 gr/ltr
26 - 30 C
7,0 - 8,0
1%
Agagel
Campuran antara agar dan phytagel yang memberikan aspek positif bagi kedua produk
3,5 - 5 gr/ltr
26 - 28 C
7,2 - 7,7
4 - 5 %
Phytagel
Tidak berwarna, gelnya sangat kuat
1,5 - 2 gr/ltr
29 - 31 C
6,5 - 7,0
-


2. Media cair adalah nutrisi yang dilarutkan dalam air, tanpa agar.Media cair ini dapat bersifat tenang atau kondisi bergerak. 
Pengojok orbital (shaker orbital) merupakan alat penggojok yang putarannya konstan sesuai dengan setelan kita. Dengan putarannya, shaker mencegah terkumpulnya sisa metabolisme yang menyebabkan kontaminasi serta menghalangi terbentuknya agregat sel dalam kultur suspensi.Bagaimana Menjaga Kondisi Aseptis Dalam Kultur Jaringan
Kultur jaringan tidak akan berhasil jika tidak dilakukan dalam kondisi aseptis. Salah satu upaya mencapai kondisi aseptis adalah melalui sterilisasi bahan dan alat.
Sterilisasi fisika
1. Autoclave
Prinsip kerja autoclave adalah menggunakan suhu dan tekanan tinggi untuk membunuh mikroorganisme.
2. Radiasi sinar UV
Radiasi inar UV memiliki energi tinggi yang mampu membunuh mikrooranisme penyebab kontaminasi.Sterilisasi kimia
1. Alkohol 70 % membunuh mikroorganisme dengan cara merusak membrane sel mikroorganisme.
2. Kloroks
Kloroks menjaga eksplan agar selalu bersih sehingga tidak mengalami pencoklatan.
Selama proses kultur berlangsung, kondisi aseptis juga harus dipertahankan. Alat dan bahan yan telah disterilkan, tidak menjamin kultur akan berhasil jika prosesnya tidak dilakukan dengan hati-hati.

Tata laksana pekerjaan di Laboratorium Kultur Jaringan Tumbuhan

Tahap-tahap Perkembangan Eksplan
Jika semua prosedur dalam kultur jaringan dijalankan dengan baik, eksplan yang ditanam dalam media akan tumbuh menjadi tanaman baru melalui tahap-tahap perkembangan tertentu.
Berikut ini tahap-tahap perkembangan eksplan:
Tahap I
Oleh karena bersifat totipotensi maka eksplan dapat tumbuh menjadi jaringan atau organ lain tergantung pada perlakuan yang diberikan.
Tahap II
Eksplan tumbuh menjadi kalus yaitu kumpulan sel berbentuk tidak beraturan (amorf) yan mampu membelah terus menerus. Kalus dapat muncul di jaringan yan dilukai karena pengaruh hormon auksin dan sitokinin.
Tahap III
Kalus mengalami organogenesis yaitu proses pembentukkan organ, baik itu akar, batang, dan daun. Organogenesis melalui kalus disebut organogenesis tak langsung.
Tahap IV
Setelah mengalami organogenesis kalus menjadi plantlet, yaitu tanaman kecil yang masih tersimpan dalam botol. Plantlet perlu diaklimatisasi terlebih dahulu sebelum di tanam di tanah.


Mengenal Macam-Macam Kultur Jarinan Tumbuhan
Kultur jaringan dapat dilaksanakan dengan berbagai macam cara. Hal ini disesuaikan dengan bahan kultur yang akan digunakan dan tujuan kultur itu sendiri.
1. Dalam pelaksanaannya dijumpai beberapa tipe-tipe kultur, yakni:
Kultur biji (seed culture), kultur yang bahan tanamnya menggunakan biji atau seedling.
Kultur organ (organ culture), merupakan budidaya yang bahan tanamnya menggunakan organ, seperti: ujung akar, pucuk aksilar, tangkai daun, helaian daun, bunga, buah muda, inflorescentia, buku batang, akar dll.
2. Kultur kalus (callus culture), merupakan kultur yang menggunakan jaringan (sekumpulan sel) biasanya berupa jaringan parenkim sebagai bahan eksplannya.
Kultur suspensi sel (suspension culture) adalah kultur yang menggunakan media cair dengan pengocokan yang terus menerus menggunakan shaker dan menggunakan sel atau agregat sel sebagai bahan eksplannya, biasanya eksplan yang digunakan berupa kalus atau jaringan meristem.
3. Kultur protoplasma. eksplan yang digunakan adalah sel yang telah dilepas bagian dinding selnya menggunakan bantuan enzim. Protoplas diletakkan pada media padat dibiarkan agar membelah diri dan membentuk dinding selnya kembali. Kultur protoplas biasanya untuk keperluan hibridisasi somatik atau fusi sel soma (fusi 2 protoplas baik intraspesifik maupun interspesifik).
4. Kultur haploid adalah kultur yang berasal dari bagian reproduktif tanaman, yakni: kepalasari/ anther (kultur anther/kultur mikrospora), tepungsari/ pollen (kutur pollen), ovule (kultur ovule), sehingga dapat dihasilkan tanaman haploid.

Dari berbagai macam kultur jaringan yang tersebut di atas berikut ini adalah contoh kultur jaringan yang paling banyak digunakan.

1. Kultur Suspensi
Kultur suspense adalah kultur yang menggunakan media cair. Biasanya kultur ini dilakukan untuk mendapatkan senyawa metabolit sekunder tanaman. Bahan dasarnya adalah kalus yang sel-selnya remah sehingga mudah dipisah-pisahkan.
2. Metabolit sekunder yaitu senyawa yang diproduksi oleh tanaman akan tetapi tidak memiliki fungsi vital bagi metabolism tanaman tersebut.
Senyawa metabolit sekunder tersebut dimanfaatkan untuk tujuan konsumsi, penobatan, industry agrokimia, dan kosmetika.
Bunga Catharantus roseus dikultur untuk diambil metabolit sekundernya yaitu vinblastin yang digunakan sebagai obat anti kanker.
3. Kultur Meristem
Sesuai dengan namanya kultur meristem ini menggunakan jaringan meristem dari tanaman yang terinfeksi virus untuk mendapatkan bibit bebas virus. Kultur ini dilakukan pada media padat.
4. Kultur Kalus
Tujuan utama kultur kalus adalah untuk memperoleh kalus dari eksplan yang diisolasi dan ditumbuhkan dalam lingkungan terkendali. Kalus tersebut diharapkan dapat memperbanyak dirinya (massa selnya) secara terus menerus sehingga dapat dijadikan bahan kultur selanjutnya.

Perkembangan dari eksplan sampai membentuk tanaman dewasa

Kendala Apa Saja Yang Terjadi Dalam Kultur Jaringan Tumbuhan
Kultur jaringan tidak selalu berhasil dengan sempurna. Eksplan kadang-kadang gagal tumbuh seperti yang diharapkan.
Agar dapat mengatasi kegagalan tersebut, maka kendala-kendala yang ada perlu dibenahi dan diantisipasi.
Kendala tersebut antara lain :
1. Kontaminasi dapat disebabkan oleh adanya jamur, bakteri, virus, dan partikel debu. Kontaminan akan menyerap nutrisi di media yan harusnya diserap oleh eksplan.
2. Stagnasi ditandai dengan adanya perkembangan dari ke hari dimana kalus tidak menunjukkan pertumbuhan berarti padahal secara fisik dia masih hidup. Ini adalah tanda terjadinya stagnasi.
3. Pencoklatan dapat berakhir dengan kematian eksplan.
Kendala-kendala yang ada dalam proses kultur jaringan tersebut di atas bukanlah sesuatu yang tak bisa dihindari. Tiap-tiap kendala memerlukan upaya berbeda untuk mengatasinya.
Upaya untuk mencegah terjadinya kontaminasi yang dapat disebabkan oleh adanya jamur, bakteri, virus, dan partikel debu dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1. Pastikan semua alat dan bahan telah disterilisasi
2. Lakukan penanaman dalam laminar air flow / enkas
3. Jalankan semua proses dengan seksama, hindari sikap terburu-buru
Stagnasi dapat disebabkan oleh ketidakmampuan sel-sel dalam eksplan untuk merespon perlakuan dalam kultur atau kurangnya nutrisi dalam media.
Upaya untuk mencegah stagnasi :
1. Hindari menggunakan eksplan tanaman yang bukan juvenil dan tidak meristematis lagi.
2. Pastikan nutrisi dalam media selalu cukup.
Pencoklatan
Penyebab utama pencoklatan adalah terbentuknya senyawa fenol yang bersifat toksik bagi eksplan.
Upaya mengatasi pencoklatan :
1. Mencelupkan eksplan ke dalam larutan kloroks.
2. Menutup bekas luka pada jaringan yang dijadikan eksplan dengan paraffin.
3. Menambahkan polivinilprirolidon (PVP) dalam media.